Kamis, 01 Maret 2012

Salafi-Wahabi: Khawarij Gaya Baru???


Rijal Mumazziq Z







“Keterangan tentang pengikut Muhammad Ibn Abdil Wahab, kaum Khawarij pada masa kita. Sebagaimana terjadi pada masa kita, pada pengikut Ibn Abdil Wahab yang keluar dari Najd dan berupaya keras menguasai dua tanah suci. Mereka mengikuti madzhab Hanabilah. Akan tetapi mereka meyakini bahwa ajaran mereka saja kaum muslimin. Sedangkan orang yang berbeda dengan keyakinan mereka adalah orang-orang musyrik. Dan oleh sebab itu mereka menghalalkan membunuh Ahlussunnah dan para ulama’nya sampai akhirnya Allah memecah kekuatan mereka, merusak negeri mereka, dan dikuasai oleh tentara kaum muslimin ada tahun 1233 H” (al-Imam Muhammad Amin Affandi/ Ibn Abidin, Hasyiyah Radd al-Mukhtar ala durr al-Mukhtar, juz 4, hal. 262 )

------

Kutipan di atas sengaja penulis cantumkan untuk membuka review buku Sejarah Berdarah Sekte Salafi-Wahabi: Mereka Membunuh Semuanya, Termasuk Para Ulama, karena cukup relevan dengan kondisi di Tanah Air, dimana terdapat sebuah kelompok yang dengan mudah memusyrikkan, mengkafirkan, --dan bahkan menghalalkan darah dan harta—kaum muslimin yang tak sepaham dengan pemahamannya. Takfir dan istihlal dima’ wa amwal al-mukhalifin (pengkafiran dan penghalalan darah dan harta kaum muslimin di luar alirannya) inilah yang tampaknya relevan dengan komentar Ibn Abidin di atas, bahwa penganut ajaran Ibn Abdil Wahab adalah Khawarij gaya baru; baju berbeda, modus operandi tetap sama.

Di Tanah Air sendiri, keberadaan kelompok ini secara massif memang tampak pasca reformasi 1998, dimana segala kebebasan berpendapat dan berserikat, dijamin oleh negara. Hingga akhirnya, jaminan kebebasan ini menjadi kecambah munculnya kelompok-kelompok eksklusif yang memperkeruh ukhuwah islamiyah dengan melakukan aksi pembusukan kaum muslimin dari dalam. Baik dilakukan dengan tindakan ekstrem (bunuh diri, misalnya), maupun hanya sebatas “dakwah dengan cara militan”. Dakwah secara militan inilah yang seringkali salah ditafsirkan serampangan dengan cara memusyrikkan dan mengkafirkan saudara-saudara seiman yang tak sepaham dengan mereka.

Dan, berdasarkan pola pergerakannya, pemahaman kelompok-kelompok eksklusif ini bermuara pada Muhammad Ibn Abdil Wahab. Sosok kunci yang menjadi arsitek revolusi pemahaman keagamaan masyarakat (yang berdarah-darah) di Tanah Hijaz, yang efeknya diekspor ke luar negeri melalui berbagai cara dengan dukungan dana melimpah dari kerajaan Saudi pada era sekarang. Dalam konteks internasional, dukungan dana yang melimpah ini membuat dakwah Wahabi kian militan, sistematis, dan dogmatis.

Proses ekspor paham ini memang lebih dahsyat setelah terjadinya booming efek emas hitam (baca:minyak) sejak tahun 1970-an. Di Indonesia, gejala ini bisa ditangkap pasca reformasi 1998, dimana terdapat masjid atau pesantren “tiban” (tiba-tiba ada). Masjid atau pesantren yang dibangun oleh orang luar (bukan penduduk desa), cepat berdiri karena dukungan dana melimpah, serta mengajarkan Islam yang berbeda dengan paham keIslaman masyarakat sekitarnya. Santri penghuninya pun “drop-dropan” dari luar daerah. Mereka cenderung eksklusif dan menutup diri dari pergaulan dengan masyarakat sekitar. Kasus terbaru pesantren model demikian adalah yang “pesantren” Umar Ibn Khattab yang ada di Lombok, yang tempo hari terbukti mengajarkan “kekerasan” kepada segelintir santrinya.

Sebagai “garis keras”, pesantren seperti ini juga mengharamkan hormat kepada bendera, haram memakai (sebagian) hukum Indonesia karena dinilai hukum kufur, serta tak wajib taat kepada pemerntah RI yang dinilai sebagai thaghut (setan), pencangkokan ajaran Islam yang tanpa dikontekstualisasikan dengan realitas sosial, serta seringkali terjebak pada “alienasi” kebenaran (kelompok ini merasa terasing karena dirinya “benar”).

Pemahaman seperti ini akhirnya tak melahirkan apa yang kita sebut sebagai tanwir al-‘uqul (pencerahan akal) dan tanwir al-qulub (pencerahan hati), dua pemahaman yang komprehensif, sublim, dan subtil untuk memahami dan melaksanakan ajaran agama. Pemahaman keagamaan seperti di atas hanya akan melahirkan sikap ekslusif, mengklaim kebenaran sendiri, dan sering menyalahkan mereka yang tak sepaham dengan dirinya.

Lihatlah, bagaimana aksi Muhammad Syarif—La’natullah alaih—saat meledakkan bom bunuh diri di Masjid Polres Cirebon, beberapa bulan lalu. Dengan asumsi “berjihad” meledakkan masjid dhirar, ia membunuh dirinya. Ia merasa berjihad, meski mayoritas umat melaknat. Pola pemahaman demikian inilah yang, dalam pemahaman saya, juga dianut oleh Imam Samudera, Amrozi, dan Noordin M. Top, dll.

Mutamaslif?
Jika dilacak secara terminologi, istilah salaf atau salafi merupakan bentuk penisbatan kepada as-salaf, yang secara bahasa bermakna orang-orang yang mendahului kita atau hidup zebelum zaman kita. Secara spesifik, as-salaf yang mengacu pada sabda Rasulullah tentang khairul qurun (era keemasan) yakni pada masa Sahabat, Tabiin, hingga Tabiut Tabiin.
 
Awal munculnya penisbatan pengikut ajaran Ibn Abdil Wahab ini dengan mencantolkan namanya pada Salaf(i), merupakan bentuk kerikuhan kelompok ini saat kaum muslimin menyebutnya sebagai Wahabi (yang dinisbatkan pada pendiri kelompok ini). Meski beda istilah, sebenarnya keduanya adalah laksana dua sisi pada sekeping mata uang. Demi efektifitas dakwahnya, mereka juga sering mengklaim diri sebagai Ahlus Sunnah (tanpa dibarengi kata al-Jamaah). Prof. Said Ramadan al-Buthy, menilai bahwa Wahabi mengubah namanya menjadi “Salafi” karena banyak mengalami kegagalan dan merasa tersudut dengan panggilan Wahabi. Tak heran jika ulama ahlussunnah waljamaah menjuluki mereka sebagai Mutamaslif (salafi palsu).

Garis besar pemahaman saudara-saudara kita ini adalah sikap ghuluw (ekstrem) dalam beragama, jumud (statis) dalam sikap beragama, serta harfiyah dalam pemaknaan nash. Lebih ekstrem lagi, sekte ini terlibat dalam penyebaran virus takfir (pengkafiran), tasyrik (pemusyrikan), tabdi’ (pembid’ahan), dan tasykik (upaya menanamkan keraguan) terhadap para ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Jadi, kalau banyak para du’at (dai) dan umat berusaha mengislamkan mereka yang belum bersyahadat, kelompok ini malah memusyrikkan, dan bahkan mengkafirkan umat yang sudah bersyahadat dengan entengnya.

Lebih ekstrem lagi, jangankan dengan kaum muslimin yang berbeda paham, dengan sesama Salafi-Wahabi saja mereka saling memusyrikkan, mengkafirkan, melaknat dan mencaci maki dengan kejamnya. Kelompok Salafi Yamani (yang berafiliasi kepada syekh-syekh Yaman dan Saudi Arabia) bertengkar hebat dengan kelompok Salafi Haraki (salafi yang menerapkan system pengkaderan atau organisasi/ haraki). Di dalam buku ini, misalnya, dengan mengutip sumber orisinil, tampak secara jelas Abu Dzulqarnain Abdul Ghafur al-Malanji (yang pro Umar Sewed), mencaci maki secara “dahsyat” kelompok al-Jawwas. Kedua nama terakhir ini adalah tokoh terkemuka Salafi Wahabi Indonesia (hal. 55-56). Juga terjadi perseteruan antara al-Jawwas (dengan yayasan al-Shohwahnya) dengan ja’far Umar Thalib (Panglima Laskar Jihad). Lebih detail lagi, kelompok ini sesungguhnya telah banyak terpecah belah di tingkat internasional. Di Saudi Arabia, misalnya terjadi friksi antara kelompok yang pro Ibn Bazz, Utsaimin, versus Salman Ibn Fahd al-Audah, Safar al-Halawi, Aidh al-Qarni (yang berporos Yayasan al-Muntada di London), sedangkan di Yaman antara Rabi Ibn Hadi dkk, versus Abul Hasan al-Ma’rawi dkk, di Yordania antara Salim I’ed al-Hilali dkk, versus Sulaiman al-Asyqar dkk.

Ada beberapa hal yang menarik bagaimana kelompok ini “mengembangkan sayapnya” melalui proses “marketing” yang bombastis. Pertama, penggunaan istilah-istilah yang “wah” untuk memompa ghirah kaum muslimin. Istilah Jihad, Ijtihad, Syahid, Penegakan Syariat Islam, dll, saya setuju, asal dipergunakan sesuai dengan konteks masing-masing, dan dipergunakan secara proporsional. Jika tidak, penggunaan istilah-istilah mulia ini malah mereduksi dan menjadi antiklimaks dengan tujuan sebenarnya. Potongan Surat al-Maidah ayat 44, “waman lam yahkum bimaa anzala Allaahu faulaa-ika humu alkaafiruun” Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir (QS. Al-Maidah : 44), seringkali dipakai untuk menjustifikasi kebenaran versi mereka untuk mengkafirkan orang lain. Padahal ayat inilah yang dulunya menjadi slogan Khawarij, yang setelah dimodifikasi menjadi berbunyi La Hukma Illa Lillah. Menurut al-Syahrastani dalam al-Milal wa al-Nihal, yang pertama kali mengucapakan semboyan itu adalah seorang laki-laki dari Bani Sa’ad bin Manat bin Tamim, dari kalangan Bani Tamim yang bernama al-Hajjaj bin Ubaidullah yang dikenal dengan julukan al-Barq. Lihat dalam Abu al-Fath Muhammad bin Abd al-Karim ibn Abi Bakar Ahmad al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, Juz I (Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt. hal. 117). Abdullah Ibn Umar, ikut mensifati kelompok Khawarij engan meriwayatkan sebuah hadits dari Rasulullah saw. yang berbunyi:  “Mereka yang menggunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir, lantas mereka terapkan untuk menyerang  orang-orang beriman.”

Lebih lanjut saya jadi ingat dengan komentar Sayyidina Ali kr., “Kalimat benar tapi disalahgunakan (kalimatu haqqin urida biha bathilun), saat menantu Baginda Rasulullah ini melihat kelompok Khawarij membuat semboyan La Hukma Illa Lillah (tidak ada hukum selain dari Allah). Sebuah slogan yang sangat menarik dan memikat namun dipakai untuk menghalalkan darah mereka yang tidak sepaham dengan paham Salafi-Wahabi.

Kedua, melalui proses “labelisasi” dan mistifikasi. Labelisasi di sini terjadi saat sekte ini menisbatkan amaliah mereka kepada generasi Salaf, yang kemudian dipakai symbol sekte ini menyebut diri sendiri, yang secara tak langsung menjustifikasi bahwa kelompok di luar mereka bukan bagian dari pengamal ajaran salafus shalih. Sedangkan mistifikasi terjadi tatkala mereka mengagungkan Muhammad Ibn Abdil Wahab sebagai mujaddid, pemberantas kemusyrikan, penegak kalimat tauhid, dll.

Maka tak heran jika dua strategi di atas memakan korban yang tak ternilai. Tak hanya kaum muslimin yang tak sejalan dengan mereka yang menjadi korban “purifikasi” barbarian ini, bangunan-bangunan bersejarah peninggalan rasulullah dan para sahabat juga mereka luluh lantakkan, pembakaran manuskrip berharga dan kitab-kitab yang dianggap tak sejalan dengan paham Wahabi juga terjadi atas nama pemurnian Tauhid. Dengan referensi kitab-kitab pokok karya ulama Wahabi--yang dengan bangga mengakui perbuatan biadab di atas--Syekh Idahram dalam buku ini menyodorkan beberapa hadits shahih, dimana Rasulullah saw, jauh-jauh hari memprekdisikan munculnya kaum yang ciri-cirinya identik dengan sekte Wahabi.
Maka, tak heran jika banyak ulama Ahlussunnah Waljamaah yang menolak eksistensi dan paham keagamaan sekte ini. Selain Sulaiman Ibn Abdul Wahab (yang notabene kakak Muhammad Ibn Abdil Wahab), para ulama berhasil menguak borok dan penyimpangan kaum Wahabi ini. Di antaranya Sayyid Ahmad Ibn Zaini Dahlan, al-Allamah al-Kautsari, al-Allamah al-Qusyairi, Mufti Mesir al-Syekh Ali Jum’ah, al-Muhaddits Sayyid Muhammad al-‘Alawi al-maliki, Syekh  Hasan Ibn Ali Assegaf, al-Hafidz Ahmad al-Ghimari, Syekh Abdullah al-Harrari, dan banyak lagi para ulama yang menolak paham Wahabi ini.

Secara blak-blakan, buku ini merekam jejak berdarah kaum Wahabi, kutipan-kutipan “menyimpang” dari literatur Wahabi serta disertai berbagai pendapat ulama yang menggugat ajaran Wahabi, dijelaskan dengan detail oleh Syekh Idahram. Berikut pemaparan lengkap berbagai redaksi hadits rasulullah yang memprekdisikan kemunculan kaum yang ciri-cirinya identik dengan sekte ini. Membaca buku ini terasa lengkap jika dilengkapi dengan sekuelnya, Mereka Memalsukan Kitab-Kitab Karya Ulama Klasik: Episode Kebohongan Publik Sekte Salafi-Wahabi, serta serial terakhirnya berjudul Ulama Sejagat Menggugat Salafi Wahabi.

Membaca buku ini adalah membaca kengerian yang ditimbulkan saat dalih agama dipakai dalil pembenaran pembunuhan, perusakan, pembumihangusan keilmuan  serta pelecehan kemanusiaan. Sungguhpun buku ini hanya setebal 276 halaman, namun disajikan dnegan dukungan data dan fakta yang lengkap. 

Semoga kehadiran buku-buku semacam ini bisa membuka pemahaman umat terhadap keberadaan sekte baru yang masih berusia kurang lebih 300 tahun, namun telah menimbulkan gelombang negatif yang tak tepermanai. Tak heran jika penulis buku ini menggunakan nama samara Syekh Idahram. Sebab, jika menggunakan nama asli, nyawa penulis buku ini pasti dihukum “bunuh”, sebagaimana beberapa abad silam Khawarij dengan mudahnya membunuh Sayyidina Ali. Bagi (Neo) Khawarij, siapapun yang mengusik pemahaman keagamaan mereka, maka siap-siaplah dihalalkan darahnya. Yang menarik, Syekh Idahram sengaja mengumpulkan dalam satu bab, hadis-hadis sahih prediksi Rasulullah tentang kemunculan sekte Wahabi ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar