Sabtu, 12 Mei 2012

Benarkah Negeriku Tergadai?




Tak boleh dipungkiri, sebab utama carut marut serta “panas”-nya suhu politik di republik tercinta ini karena semakin menguatnya gugatan berbagai elemen bangsa terhadap rezim penguasa. Menurut rajutan penulis dengan mencermati berbagai fenomena berkembang, gugatan publik tersebut bermuara pada tiga hal pokok, antara lain: (1) ketergantungan pemerintah terhadap pihak luar/asing; (2) sistem politik yang koruptif, dan (3) kebanyakan rakyat dan para elitnya abai geopolitik.Pertama soal ketergantungan. Ya, ketergantungan Indonesia selain terhadap impor minyak dan bahan pangan, juga tidak kalah penting ---bahkan kemungkinan pemicu inti--- adalah ketergantungan pemerintah terhadap utang yang bersumber dari lembaga-lembaga keuangan internasional seperti International Moneter Funding (IMF), Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB) dan lainnya. Hal ini membuat Indonesia jauh dari kemandirian politik, ekonomi dan lainnya.
Setiapkali jatuh tempo pembayaran atau menjelang turunnya hard cash dari lembaga-lembaga tadi, maka berbagai “order kepentingan” membonceng di banyak kebijakan dimana substansinya lebih menguntungkan asing dan kelompoknya dibanding kepentingan nasional RI. Misalnya privatisasi aset-aset BUMN dan swasta nasional, cabut subsidi, jatah konsesi SDA dan lainnya. Lebih lengkap masalah “permainan utang” silahkan dibaca buku-bukunya John Perkins, Membongkar Kejahatan Internasional dll. Betapa para pejabat yang berkompoten cenderung membiarkan, tidak mampu berbuat apa-apa bahkan larut dalam “arus” tersebut. Inilah efek riil ketergantungan pemerintah terhadap asing. Republik ini seperti tidak lagi memiliki kedaulatan, terobang-ambing oleh muatan kepentingan-kepentingan luar. Belum lagi masalah ketergantungan impor pangan, minyak dan lainnya, semakin terlihat banyak ironisasi ditemui. Bayangkan negara dengan garis pantai terpanjang di dunia tetapi justru impor garam dan ikan dari luar; atau negara dengan curah hujan tinggi namun mengimpor kedelai, beras, gula dan  lainnya?
Kedua adalah sistem yang koruptif. Hal ini bermula dari pola politik yang telah meninggalkan local wisdom para leluhur. Digantinya nilai musyawarah untuk mufakat dengan one man one vote merupakan titik awal dari segala “bencana politik” di republik ini. Pola tiga partai diubah multipartai; mekanisme melalui perwakilan di parlemen menjadi pemilihan langsung; sentralisasi menjadi otonomi daerah dan lainnya. Hal tersirat yang vital ialah diubahnya “hak bicara tokoh" (musyawarah mufakat) dengan “hak suara rakyat" (pemilihan langsung). Hal ini memiliki implikasi signifikan secara langsung terhadap dominannya pola pencitraan pada dinamika dan sistem politik. Pada gilirannya siapapun orang, apakah kompeten atau tidak, atau ia penjahat atau kyai, mumpuni atau kurang, ukuran kredibelitas di masyarakat diukur tatkala mampu menebar sembako, uang dan tancap baliho disana-sini dalam jumlah banyak, niscaya bakal terpilih. Kuatnya sinyalir bahwa pola inilah sebagai penyebab utama merebaknya korupsi di Indonesia, karena siapapun pejabat niscaya akan berpikir “bagaimana modal kampanye kembali kepada pemilik modal”, kemudian “bagaimana menimbun uang agar kelak terpilih lagi” dan lainnya.
Sudah tentu cara termudah mengembalikan modal pencitraaan ialah melalui korupsi karena peluang terbuka lebar melalui dua sisi: 1) luasnya kewenangan bupati/walikota dalam otonomi daerah sehingga menciptakan “raja-raja kecil” serta potensi munculnya abuse of power di banyak hal dalam menjalankan pemerintahan di daerah, dan 2) pola dan model (pencitraan) seperti ini yang berkuasa sesungguhnya pemilik modal karena mampu “meremot” dari kejauhan agar setiap kebijakan elit penguasa senantiasa menguntungkan bisnis atau usahanya. Dengan demikian, korupsi di Indonesia sejatinya diciptakan oleh sistem itu sendiri.
Ketiga adalah merebaknya doktrin, nilai atau isue internasional. Sudah menjadi rahasia umum bahwa isue kebebasan, demokrasi, profesionalisme, globalisasi, HAM, dan lainnya mengalahkan pemahaman bangsa dan para elitnya tentang urgensi geopolitik negaranya sendiri. Bahkan geopolitik dituduh sebagai aliran pemikiran bidang pertahanan sehingga dianggap domain militer saja. Inti tujuan agar tercitra bahwa geopolitik dinilai tidak relevan lagi di era globalisasi, terutama bagi fungsi atau institusi non militer. Ia dibuat dangkal bahkan dinihilkan dalam dinamika berbangsa dan bernegara, termasuk materi di lembaga-lembaga pendidikan tinggi? Pada sisi lain, gencarnya sosialisasi bahkan internalisasi (pendarah-dagingan) doktrin profesionalisme di tiap-tiap instansi membuat praktek birokrasi “terkotak-kotak”. Timbul ego sektoral disana-sini. Ingin hebat sendiri, maunya menangnya sendiri. Sebagai contoh dibentuknya komisi-komisi baru bahkan komisi superbody pun, atau struktur tambahan (Wakil Menteri) di era reformasi bukannya efektif, karena selain membenani APBN juga memperpanjang rantai birokrasi. Akibatnya dinamika elit dan birokrasi justru disibukkan hal-hal kecil tetapi yang besar bagi kepentingan nasional RI malah dilupakan.
Sedang geopolitik Indonesia cukup strategis, kekayaan alam (SDA) melimpah-ruah serta posisi di antara dua samudera dan dua benua sesungguhnya memiliki “peran besar” dalam interaksi global. Tetapi bangsa ini tidak mampu mengelola secara tepat dan baik atas ke-strategis-an posisi dan kekayaan yang dimiliki. Ilmu dan wawasan geopolitik di republik ini diabaikan, sehingga bangsa ini tidak memahami, tidak mensyukuri, tidak bisa mengelola dan rakyat sebagai pemilik kedaulatan justru termarginalkan dalam kelimpahan SDA dan letak geografis negaranya. 
Tengoklah Syria. Kendati minyaknya tidak sekaya Libya, Irak, Afghansitan dan lainnya namun diperebutkan berbagai adidaya dunia semata-mata geopolitic pipeline dan geostrategic possition di Jalur Sutra. Mencontoh Iran misalnya, ia mampu memaksimalkan geopolitik sehingga ketika Ahmadinejad mengancam penutupan Selat Hormuz maka hebohlah dunia, sebab banyak kepentingan adidaya dan negara lain hilir-mudik di selat tersebut. Bayangkan jika Indonesia menutup Selat Malaka, Selat Lombok atau Selat Sunda yang sering dilalui kapal-kapal asing secara gratis. Sekali lagi, betapa pentingnya pemberdayaan geopolitic leverage bahkan ia bisa diubah menjadi geopolitic weapon!
Ketika mayoritas bangsa abai terhadap geopolitiknya sendiri, maka para elit cenderung menghabiskan waktu dan energi berdebat kian-kemari dalam koridor derivatif dengan berbagai paradigma serta teori sosial politik yang ternyata telah dihegemoni. Riuh diskusi pada tataran (kulit) di permukaan mengabaikan hal-hal tersirat, melupakan what lies beneath the surface (apa yang terkandung di bawah permukaan). Nilai-nilai right or wrong is my country telah dianggap usang. Pada gilirannya debatisme berbagai elemen bangsa dirajut oleh asing dan kelompok kepentingan (komprador) menjadi sebuah “industri demokrasi” melalui manufaktur perbedaan pendapat, demonstrasi, parlemen jalanan, fabrikasi ego sektoral dan lainnya yang mengakibatkan dinamika bangsa seolah-olah gegap gempita namun semu, karena sejatinya “jalan ditempat”.
Jujur saja, selain bangsa ini telah abai terhadap geopolitiknya, selama sekian dekade terutama sejak memasuki era reformasi seperti kompak meninggalkan dogma negara dan wisdom leluhur yang terbukti telah dua kali membawa kejayaan nusantara (Sriwijaya dan Majapahit). Pemerintah justru mengakomodir nilai-nilai global dalam berbagai kebijakan dimana nilai tersebut belum teruji keampuhannya bagi perjalanan bangsa bahkan memecah-belah kesatuan melalui isue demokrasi, kebebasan, otonomi daerah dan lainnya. Sementara ketergantungan terhadap utang luar negeri dan impor baik minyak maupun beberapa komoditi pangan meletakkan Indonesia menjadi negara yang tidak mandiri baik secara ekonomi maupun politik. Inilah negeri pengimpor yang sebenarnya sangat berpotensi menjadi negara produsen karena berbagai raw material bahkan minyak pun telah tersedia namun pihak asing justru yang berpesta-pora atas kelimpahan berbagai SDA di bawah lindungan sistem dan aturan-aturan yang telah berpihak kepadanya.
Mengakhiri tulisan sederhana ini, ada beberapa rekomendasi yang disampaikan antara lain:
(1) siapapun kelak rezim yang berkuasa harus melepas ketergantungan baik terhadap utang maupun import komoditi yang seyogyanya bisa diproduksi sendiri. Indonesia mutlak harus mengubah kelemahan menjadi kekuatan, lalu memutar ketergantungan menjadi kemandirian. Cina misalnya, ia mengembargo diri sebelum diembargo negara lain, sekian tahun kemudian menjadi adidaya baru; Iran pun digempur embargo kanan–kiri oleh Barat justru semakin maju di berbagai bidang. Ya, selain mengubah mindset rakyat dan pejabatnya menjadi bangsa produsen dan bangga dengan produk lokal, untuk sementara pembiayaan pembangunan melalui utang mutlak harus ditujukan untuk pemberdayaan ekonomi kerakyatan agar mampu memenuhi kebutuhan dalam negerinya sendiri;
(2) dalam waktu dekat dan tempo sesingkat-singkatnya bangsa ini harus kembali kepada sistem politik yang berbasis kepada local wisdom leluhur dengan melakukan creative destruction (terobosan merusak) mengingat sistem yang ada justru menciptakan perilaku koruptif. Entah apa dan bagaimana ujud dari terobosan nanti, namun penulis pernah menyarankan perlunya revolusi industri di Indonesia (baca: “Menggebuk Korupsi dengan Revolusi Industri” di www.theglobal-review.com). Sudah tentu terobosan yang merusak namun guna kesinambungan bangsa dan negara tersebut harus merujuk pada upaya pelepasan negeri ini dari berbagai “jerat ketergantungan”; dan
(3) diinternalisasikan kembali nilai-nilai nasionalisme dan disemarakkan urgensi geopolitik dalam kancah global ke seluruh instansi, akademisi, masyarakat dan bangsa terutama elit politik secara gegap gempita dengan merujuk pada kepentingan nasional RI yang mutlak diutamakan.
Retorika terakhir, siapa sesungguhnya pembuat "bencana rakyat" di Bumi Pertiwi ini?
M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute

Melawan Bumerang Sanksi dengan “No”



Belum genap lima bulan berlalu sejak AS yang diamini Uni Eropa menjatuhkan sanksi baru terhadap industri minyak Iran. Alasan klise yang belum terbukti mengenai kekhawatiran penyimpangan program nuklir Iran dari tujuan sipil menjadi militer, digunakan Washington dan sekutunya untuk menekan Tehran supaya bertekuk lutut. Alih-alih menyerah, Iran hingga kini tetap tegar dengan keputusan sulit yang dipilihnya itu. Terpental di Tehran, bumerang itu mulai melesat pelan menghantam tuannya sendiri.


Di tengah pusaran krisis finansial Eropa yang semakin meradang, sejumlah perusahaan raksasa energi kawasan itu mengkhawatirkan nasib kilang minyak mereka ketika pasokan minyak dari Iran dihentikan total. Para pengamat ekonomi menilai perubahan pasokan minyak pengganti Iran akan menelan biaya yang sangat besar.
"Perubahan dan perbaikan instalasi minyak Eropa yang dibangun untuk menyuling minyak mentah Iran menelan dana jutaan dolar. Tentu saja besarnya dana tersebut akan menimbulkan kesulitan lebih besar bagi Eropa, terutama negara-negara yang dilanda krisis ekonomi, " kata Hani al-Khalil kepada CNN.
CNN memberitakan, Eropa akan lebih merasakan dampak buruk dari sanksi itu ketimbang Iran. Analis ekonomi memandang negara-negara Eropa akan kesulitan menghadapi resiko ekonomi akibat sanksi minyak terhadap Iran di tengah memburuknya perekonomian di benua itu.
Di tengah kondisi tersebut, kekhawatiran korporasi energi raksasa Eropa semakin menjadi-jadi. Pasalnya, perusahaan asuransi Eropa baru-baru ini menyatakan tidak akan menanggung kerugian kilang minyak yang mengolah minyak Iran.
Kepanikan serupa juga melanda sejumlah negara Asia yang membeli minyaknya dari Iran. Empat pembeli terbesar minyak Iran, Cina, India, Jepang dan Korea Selatan hingga kini belum menemukan pengganti perusahaan asuransi Inggris yang sebelumnya memberikan layanan asuransi untuk kilang minyak yang mengolah minyak Iran. Kini mereka mendesak pemerintah masing-masing untuk turun tangan.
Cina sendiri hingga kini terang-terangan menyatakan akan tetap melanjutkan impor minyak dari Iran. India juga demikian. Jepang dan Korea Selatan meski mengungkapkan komitmen untuk mengurangi pasokan minyaknya dari Iran, tapi hingga kini masih melanjutkan pasokannya dari Republik Islam itu.
"Kami tidak bisa melanjutkan pekerjaan tanpa pasokan minyak Iran. Untuk itu harus diambil tindakan serius," kata salah seorang pejabat teras Tokyo, mengutip koran ekonomi dan bisnis Jepang, Nikkei.
Di Eropa, Krisis ekonomi yang memburuk saat ini diperparah dengan gejolak politik yang berimbas langsung pada sektor-sektor strategis. Kini, pasar global sedang bergolak pekan ini menyusul ketidakstabilan politik di Eropa. Kondisi Yunani yang tidak memiliki pemerintah sejak pemilu Ahad lalu (6/5) semakin memperluas radius kecemasan memburuknya kondisi ekonomi.
Tampaknya, eskalasi sanksi yang dipaksakan AS terhadap sekutunya untuk menjauhi Iran justru merugikan negara-negara itu. Mungkin, mereka perlu berani mengatakan "No" terhadap dikte Washington, sebelum terlambat. Dan itu keputusan sulit dengan konsekuensi terjal dan berliku. Tapi, inilah yang ditunggu-tunggu rakyat negara-negara Eropa dari para pemimpin baru semacam Hollande. Mampukah pemimpin Sosialis itu mendahulukan kepentingan nasional rakyatnya sendiri dari pada bisikan dikte Washington. (IRIB Indonesia/PH)

Kamis, 10 Mei 2012

Howard Zinn, Sejarawan dan Profil Inteketual Progresif


Penulis : Mark Feeney


Howard zinn, sejarawan universitas boston dan aktivis politik, yang sejak awal telah menjadi oposisi terhadap keterlibatan Amerika di Vietnam dan kritikus terkemuka terhadap Rektor universtas boston, John Silber, meninggal karena serangan jantung hari ini di Santa Monica, Calfornia, saat sedang dalam perjalanan, demikian keterangan keluarganya. Ia meninggal pada usia 87 tahun.
"Tulisan-tulisannya telah merubah kesadaran satu generasi, dan membantu membuka jalan baru dalam memahami serta memberikan makna yang penting bagi hidup kita," demikian menurut Noam Chomsky, aktivis sayap-kiri dan dosen di MIT. "Saat aksi telah diserukan, seseorang haruslah yakin berada di garis depan, memberikan contoh yang dapat dijadikan teladan dan kepercayaan."
Bagi Dr. Zinn, aktivisme merupakan pembongkaran alamiah saja bagi pembaruan sejarah yang dia ajarkan. Ia menulis buku yang sangat terkenal, "Sejarah Rakyat Amerika" (1980), yang mengunggulkan rakyat sebagai pahlawan ketimbang bapak-bapak pendiri bangsa--yang sebagian besar adalah para pemilik budak, yang sangat terikat erat pada kemapanan, sebagaimana sering dengan segera dikatakan oleh Dr.Zinn--atau pahlawannya adalah kaum tani yang melakukan Pemberontakan Shay dan para aktivis serikat buruh pada tahun 1930-an.
Sebagaimna ia menuliskannya dalam oto-baografinya, "You Can't Be Neutral on a Moving Train" (Kau Tak Bisa Netral terhadap Kereta yang Bergerak) (1994), "Sejak awal, apa yang aku ajarkan dimaknai juga oleh sejarah hidupku. Aku harus mencoba selalu jujur terhadap pandangan-pandangan yang berbeda, tapi aku ingin lebih dari sekadar mengajarkan 'obyektivitas'; aku ingin mahasiswa-mahasiswaku meninggalkan kelas bukan saja sekadar mendapatkan informasi yang lebih baik, tapi lebih siap menghancurkan kebisuan, lebih siap untuk berbicara, lebih siap bertindak melawan ketidakadilan di mana pun mereka temukan itu. Hal tersebut, tentunya, merupakan resep untuk mengatasi berbagai masalah." 
Benar, itulah resep yang menyebabkan kebencian antara Dr. Zinn dan Dr. Silber. Dr. Zinn lah yang dua kali mendorong pemungutan suara untuk menghentikan rektor Universitas Boston, yang menyebabkan dr. Zinn dituduh sebagai penghasut (tuduhan yang dengan segera dicabut kembali) dan dijadikan acuan sebagai contoh dari dosen yang "meracuni sumur dunia akedemik".
Dr, zinn adalah wakil ketua komite pemogokan saat dosen-dosen Universitas Boston meninggalan sidang akedemik. Saat pemogokan telah dilancarkan, dia dan 4 koleganya dituduh melanggar kontrak ketika mereka menolak menghentikan pemogokan para sekretaris. Tapi tuduhan terhadap "Sang lima dari Universitas Bosoton" akhirnya dibatalkan.
Dr. Zinn lahir di kota New York, 24 Agustus, 1922, anak dari keluarga imigran Yahudi, edward Zinn, seorang pelayan, dan Jennie (Rabinowitz) Zinn, ibu rumah tangga. Ia murid sekolah negeri New York dan bekerja di Brooklyn Navy Yard , sebelum bergabung di Angkatan Udara selama perang Dunia II. Ia bekerja sebagai pembom di Angkatan Udara Divisi ke-18, dan dia "dianugerahi" tanda jasa dan pangkatnya naik menjadi letnan dua.
Setelah perang, Dr. Zinn bekerja serabutan hingga akhirnya mendaftarkan diri ke Universitas New York dalam usia 27 tahun. Ia, yang menikahi Roslyn Shechter pada tahu 1944, bekerja sebagai supir truk angkutan gudang untuk membiayai kuliahnya. Ia menerima gelar sarjana mudanya dari uiversitas New York, kemudian mendaftarkan diri pada program S1 dan doktoral bidang sejarah di Universitas Colombia.
Dr Zinn adalah instruktur di Upsala College dan dosen di Brooklyn College sebelum bergabung di fakultas Spelman College di Atlanta, pada tahun1956. Dia juga bekerja untuk lembaga penelitian sejarah perempuan kulit hitam sebagai ketua departemen sejarah. Di antara muridnya adalah novelis Alice Walker, yang menyebutnya sebagai "guru terbaik yang pernah ia miliki," dan juga Marian Wright Edelman, yang kemudian menjadi ketua lembaga bantuan pendanaan untuk anak-anak.
Selama saat-saat tersebut, dr. Zinn begitu aktif dala gerakan hak-hak sipil. Ia bekerja sebagai komite eksekutif pada Komite Koordinasi Mahsiswa Anti-kekerasan, organisasi yang paling progresif pada saat itu, dan ia juga terlibat dalam berbagai demonstrasi.
Dr. Zinn kemudian menjadi dosen pembantu dalam bidang ilmu politik Universitas Boston pada tahun 1964 dan menjadi dosen penuh pada tahun 1966.
Aktivisme yang paling menjadi fokusnya adalah menentang perang Vietnam. Dr. Zinn, tak terhitung bayaknya, berbicara pada berbagai aktivitas protes, dan mendapatkan perhatian nasional ketika dia, dengan beberapa aktivis anti-perang terkemuka, seperti pendeta Daniel Berrigan, pergi ke Hanoi pada tahun 1968 untuk menerima pengembalian tentara-tentara amerika yang ditahan Vietnam Utara.
Keterlibatan Dr.Zinn dalam gerakan anti-perang mendorong ia menerbitkan dua bukunya: "Vietnam: The Logic of Withdrawal" (Vietnam, Logika Menghentikan Perang) (1967) dan "Disobedience and Democracy" (Ketidakpatuhan dan demokrasi) (1968). Sebelumnya, ia juga menerbitkan "LaGuardia in Congress" (LaGuardia dalam Kongres) (1959), yang mendapatkan penghargaan American Historical Association's Albert J. Beveridge Prize; "SNCC: The New Abolitionists" (SNCC: Gerakan penghapusan perbudakan Baru) (1964); "The Southern Mystique" (Mistik Selatan) (1964); dan "New Deal Thought" (Pemikiran Gagasan Baru) (1966). dr. Zinn juga penulis "The Politics of History" (Politik sejarah) (1970); "Postwar America" (Amerika Pasca-perang) (1973); "Justice in Everyday Life" (Keadilan dalam kehidupan sehari-hari) (1974); dan "Declarations of Independence" (Deklarasi Kemerdekaan) (1990).
Pada tahun 1988, dr. Zinn mengajukan pensiun dini agar bisa berkonsentrasi untuk berbicara di mana-mana dan menulis. Aktivitasnya yang terakhir-terakhir adalah menulis naskah-naskah drama, seperti:" Emma," yang bercerita tentang pimpinan kaum anarkis Emma Goldman, dan "Daughter of Venus" (Anak Perempuan Venus)."
Dr. Zinn, atau tulisan-tulisannya, setelah diolah sedemikian rupa, dijadikan film berjudul "Good Will Hunting" (Memburu kehendak Baik), yang karakternya dimainkan oleh Matt Damon, guna memberi pujian bagi bukunya "A People's History" (Sejarah rakyat), dan mendorong aktor pemainnya, Robin Williams, membacanya. Damon, sebagai pembantu penulisan skenarionya, adalah tetangga dalam lingkungan Dr. Zinn tumbuh. 
Damon kemudian terlibat dalam vesi televisi buku Dr. Zinn, "The People Speak" (Rakyat Bicara), yang ditayangkan dalam History Channel (saluran sejarah) pada tahun 2009. Damon adalah juga pengisi narasi film dokumenter biografi dr. Zinn pada tahun 2004: "Howard Zinn: You Can't Be Neutral on a Moving Train. (Howard Zinn: Kau tak Bisa Netral terhadap Kereta yang sedang Bergerak)".
Pada hari terakhirnya di Univesitas Boston, ia berhenti mengajar 30 menit sebelum waktunya, dan bergegas bergabung dengan pemogokan dan menyerukan apada 500 mahasiwa untuk menghadiri diskusi yang diselenggarakan dalam pemogokan tersebut. 100 orang mahasiswa menghadirinya.  (Boston Globe, 27 Januari, 2010)

Selama Kekayaan Alam Dirampok Asing Indonesia Akan Terus Miskin



Penulis : A Nizami


Redaksi The Global Review menilai artikel ini masih relevan dan layak untuk diketahui.  Simak ulasan lengkapnya. Kenapa Pesawat dan Helikopter TNI Indonesia sering jatuh sehingga lebih dari 150 orang tewas di tahun 2008-2009? Kenapa 11,5 juta rakyat Indonesia menderita busung lapar atau gizi buruk?
Kenapa 120 juta rakyat Indonesia hidup dalam kemiskinan (versi Bank Dunia)?
Kenapa meski SD-SMP gratis tapi SMU dan Perguruan Tinggi Negeri justru mahal dan tidak terjangkau bagi rakyat miskin?
Kenapa pelayanan kesehatan umum di Indonesia sangat mahal dan

tidak terjangkau?
Kenapa korupsi merajalela di Indonesia?
Kenapa rel kereta api dan kabel telpon dicuri?
Kenapa penculikan anak sering terjadi, begitu pula perampokan yang tak jarang menimbulkan korban jiwa?
Kenapa Hutang Luar Negeri Indonesia terus meningkat dari Rp 1.200 trilyun di tahun 2004 jadi Rp 1.600 trilyun di tahun 2009?
Kenapa Indonesia selalu bergantung pada Investor Asing dan jika tak ada Investor Asing datang maka pembangunan tidak berjalan?
Jawaban dari semua pertanyaan di atas adalah karena Indonesia tidak punya cukup uang. Kenapa tidak punya cukup uang? Karena kekayaan alam Indonesia dikuras asing dan perekonomiannya dikuasai asing. Contohnya untuk tambang emas dan perak di Papua, Freeport dapat 99% sementara 230 juta rakyat Indonesia harus puas dgn 1% saja. Bagaimana Indonesia tidak miskin?
Akibatnya, mayoritas rakyat Indonesia hidup dalam kemiskinan. Sebagian dari mereka terpaksa mencuri, menculik, merampok dan sebagainya untuk mendapatkan uang. Seorang anggota Kapak Merah yang didor polisi berkata, “Biarlah saya ditembak mati. Habis saya cuma lulus SD. Cari kerja susah. Jadi merampok guna mendapatkan uang”
Pemerintah tidak bisa membeli pesawat dan helikopter baru untuk menggantikan pesawat dan helikopter lama yang umurnya sudah 30 tahun lebih. Pemerintah hanya bisa memberi bantuan Rp 100 ribu/bulan untuk kurang dari 40 juta rakyat Indonesia. Itu pun BLT tidak bisa berjalan rutin setiap bulan. Pemerintah tidak bisa membiayai penuh pendidikan dan kesehatan sehingga mayoritas rakyat Indonesia meski tergolong miskin versi Bank Dunia harus membayar mahal untuk pendidikan dan kesehatan.
Dengan mahalnya biaya pendidikan di SMU dan Perguruan Tinggi Negeri, maka jika zaman ORBA mayoritas rakyat lulusan SMA, maka dalam 5-10 tahun mendatang jika kebijakan Ekonomi tidak berubah rata-rata pendidikan hanya lulus SMP saja.
Karena pemerintah tidak punya cukup uang, maka terpaksa harus berhutang dan menggantungkan pada datangnya Investor Asing. Jika tidak, pembangunan tidak akan jalan. Menurut penganut paham Ekonomi Neoliberalisme tanpa hutang tidak mungkin ada pembangunan. Padahal kalau hutang sudah membukit dan si peminjam sampai mendikte bangsa Indonesia untuk menyerahkan kekayaan alam dan menjual BUMN yang dimiliki serta menaikkan berbagai harga yang menyengsarakan rakyat, itu sudah tidak sehat lagi.
Hutang Indonesia yang sudah mencapai 68% dari GNP jelas sudah sangat besar dibanding Singapura yang hanya 14%, Arab Saudi 11%, Iran 8%, atau bahkan Malta yang 0%! Jangan “Besar Pasak daripada Tiang!” begitu kata-kata yang bijak dari nenek moyang kita.
Korupsi merajalela di negara kita karena gaji pejabat dan pegawai negeri di Indonesia sangat kecil. Menurut seorang staf Bappenas, GAJI POKOK pejabat tertinggi hanya Rp 3 juta. Padahal di AS, gaji pengantar Pizza saja yang menurut ukuran sana miskin, mencapai Rp 14 juta. Itu pun belum termasuk Tips!
Gaji Presiden Indonesia kurang dari Rp 70 juta/bulan. Kekayaan Presiden SBY “hanya” RP 8,5 milyar! Padahal gaji CEO Chevron (satu perusahaan migas asing yang beroperasi di Indonesia) mencapai US$ 7,8 juta/tahun atau Rp 7,1 milyar/bulan. Artinya dalam 30 tahun masa kerja, CEO perusahaan migas asing ini pendapatannya mencapai  Rp 2,5 trilyun! Itu baru satu orang. Kalau Direksi ada 5 orang dan komisaris ada 5 orang, semuanya bisa mendapat Rp 12 trilyun. Darimana uang untuk menggaji mereka sebesar itu? Di antaranya ya dari minyak dan gas Indonesia!
Coba anda bayangkan, jika Dirut perusahaan migas asing total gajinya mencapai Rp 2,5 trilyun, sementara Dirut BUMN Pertamina hanya Rp 100 juta/bulan atau Rp 36 milyar, mana yang lebih banyak mengambil uang dari kekayaan alam Indonesia? Tentu Dirut perusahaan asing bukan? Bahkan seandainya Dirut BUMN itu korupsi Rp 1 trilyun pun tetap saja lebih banyak uang yang diambil Dirut perusahaan asing dari bumi Indonesia dengan gaji raksasanya yang “legal.”

Indonesia di Ambang Krisis Pangan



Lahan-lahan pertanian terus menyusut akibat pengalihan fungsi menjadi perumahan dan industri. Padahal, tahun 2030, Indonesia butuh setidaknya 15 juta hektare lahan pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan 280 juta penduduk. Krisis pangan menanti jika konversi lahan pertanian tak dicegah.
Data Badan Pertanahan Nasional (BPN) menyebutkan, dalam kurun waktu 2004-2009, alih fungsi lahan pertanian di Indonesia mencapai 15.999,60 hektare atau rata-rata seluas 3.199,92 hektare per tahun. "Untuk industri dan perumahan mencapai sekitar 6.000 hektare," kata Deputi Kepala BPN Bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan, Yuswanda, kepada GATRA.
Secara umum, dalam kurun waktu 30 tahun belakangan, Indonesia telah kehilangan sekitar dua juta hektare lahan pertanian. Pada 1981-1999 saja, sebanyak 1,6 juta hektare sawah beralih fungsi, dengan satu juta hektare di antaranya terjadi di Pulau Jawa. Sementara itu, pada 1999-2002, konversi sawah mencapai 563.000 hektare. Sebagian besar lahan sawah itu beralih fungsi menjadi perumahan (58,7%), non-sawah (21%), dan lainnya (19,5%).
Peneliti pada Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Institut Pertanian Bogor (PSP3-IPB), Ivanovic Agusta, mengatakan bahwa semakin cepatnya laju konversi lahan pertanian itu terjadi akibat pertanian yang kian terabaikan. Sejak tahun 1991, pertanian tak lagi menjadi prioritas pembangunan. "Arah prioritas pembangunan pemerintah adalah industri," katanya.
Perubahan suatu negara dari agraris menjadi negara industri, menurut guru besar ekonomi pertanian IPB, Hermanto Siregar, sebenarnya merupakan hal yang lumrah. "Secara alamiah, negara maju pasti mengarah pada industri," ujarnya. Celakanya, Indonesia kurang cepat dalam mengantisipasi hal ini. "Indonesia kurang cepat dalam pengembangan mekanisme industri sektor pertanian," tambahnya.
Alhasil, upaya pemerintah menghambat laju alih fungsi lahan persawahan dengan cara menerbitkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang PLPB terasa percuma. Apalagi, secara teknis, aturan ini harus ditindaklanjuti daerah-daerah hingga tingkat kabupaten dalam bentuk perda. Hal itu jelas tak mudah direalisasikan dalam waktu cepat.

Tren Impor Bakal Terus Naik
Berdasarkan data Tim Koordinasi Pemantauan Luas Sawah tahun 2011, luas lahan sawah di Indonesia saat ini hanya 8,1 juta hektare.
Berpegang pada data ini, Indonesia masih membutuhkan setidaknya tujuh juta hektare lahan baru agar kebutuhan pangan tahun 2030 tercukupi. Jika tidak, diperkirakan skenario krisis pangan akan terjadi. Pasalnya, alih-alih menggenjot, Indonesia malah terus kehilangan lahan pertaniannya. "Laju alih fungsi lebih cepat dari pembukaan lahan baru," kata Sumarjo Gatot Irianto, Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian.
Padahal, untuk mengejar target cadangan beras 10 juta ton pada 2014 saja, pemerintah mencanangkan pencetakan 200.000 hektare lahan sawah baru. "Tahun ini, targetnya 100.000 hektare lebih," kata Gatot. Dana yang dikucurkan untuk program ini mencapai Rp 1 trilyun. Sayangnya, realisasi program ini baru mencapai 25%-30% alias baru tercetak 25.000-30.000 hektare sawah baru.
Said Abdullah, pengamat masalah pangan dari Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan, mengatakan bahwa dengan asumsi tingkat konversi lahan 110.000 hektare per tahun, diperkirakan pada 2014 Indonesia berpotensi kehilangan 2,5 juta ton gabah atau setara dengan 1,58 juta ton beras. "Itu dengan asumsi produktivitas sawah per hektare mencapai 5 ton," katanya.
Dengan demikian, tekad pemerintah memiliki cadangan beras 10 juta ton akan sulit tercapai, kecuali dengan meningkatkan impor. Karena itu, tren impor pangan juga diperkirakan akan naik. Tahun lalu saja, pada semester pertama, Indonesia mengimpor beras 1,9 juta ton, dengan nilai setara Rp 8,5 trilyun. Itu hanya untuk beras, padahal pertanian pangan lain, seperti jagung, kedelai, bawang putih, dan bawang merah, selama ini juga mengandalkan impor.
Saat ini, sekitar 65% kebutuhan pangan nasional dipenuhi lewat impor. Bahkan, menurut Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Pusat, Martin Hutabarat, angka impor pangan Indonesia pada 2011 secara total mencapai Rp 125 trilyun. (IRIB Indonesia/Gatra/Media Indonesia/Antara/Vivanews)

Rabu, 09 Mei 2012

Amerika di Balik Kejatuhan Para Pemimpin Negara di Dunia

BUKU

Pengarang : Hendrajit dkk - Dirensensi oleh Yudha P Sunandar 

Akhirnya, selesai juga saya membaca buku “Tangan-Tangan Amerika: Operasi Siluman AS di Pelbagai Belahan Dunia” karya mas Hendrajit dari Global Future Institue. Kesan frontal yang terlintas, ternyata dunia ini tak lepas dari kekuasaan Amerika. Jujur, saya merasa sedikit takut dan resah dengan fakta ini. Meskipun begitu, saya merasa masih punya harapan dunia terbebas dari belenggu neo-liberalisme ini.
Amerika memulai berbagai operasi intelijen usai perang dunia kedua. Umumnya, operasi ini bertujuan menggulingkan pemimpin-pemimpin negara di dunia yang bertentangan pola ekonomi neo-liberalis yang dianut Amerika. Bahkan, bila tidak digulingkan, pemimpin negara tersebut mengancam aset perusahaan Amerika di negara bersangkutan.

Proses kolonialisasi gaya baru Amerika ini dimulai ketika Harry Truman menjabat sebagai presiden Amerika pada 1947. Ketika itu, Truman mencanangkan kebijakan bernama containment policy (strategi pembendungan). Kebijakan ini diterapkan Truman guna mencegah meluasnya pengaruh komunisme di dunia yang kala itu didominasi oleh Uni Soviet dan China.
Ketika itu, Amerika memberikan 2 opsi kepada negara-negara di dunia, “Bergabung dengan Kami” atau “Anda Adalah Musuh Kami”, dan tidak ada kata tidak memilih. Tak heran bila gerakan Non-Blok yang dianut oleh Indonesia dan banyak negara di Asia-Afrika lainnya, tidak disukai Amerika. Lebih dari itu, gerakan Non-Blok adalah ancaman bagi Amerika.

Meskipun berjudul membendung komunis, tetapi yang digulingkan justru negara-negara dengan pemimpin bergaya nasionalis kerakyatan. Umumnya, pemimpin nasionalis kerakyatan ini mempunyai kebijakan-kebijakan yang pro-rakyat seperti tanah untuk rakyat, nasionalisasi perusahaan asing, pendidikan gratis hingga universitas, dan undang-undang tenaga kerja yang pro-buruh.

Amerika dan beberapa negara-negara Eropa yang memiliki aset di bidang perminyakan dan pertambangan di berbagai negara Asia-Afrika, merasa terancam dengan kebijakan para pemimpin berhaluan nasionalis kerakyatan ini. Jalan satu-satunya bagi Amerika untuk melanggengkan kekuasaannya adalah dengan menggulingkan para pemimpin berhaluan nasionalis kerakyatan dan menggantinya dengan orang-orang yang menguntungkan Amerika.

Beberapa pemimpin berhaluan nasionalis kerakyatan yang berhasil tumbang oleh Amerika, di antaranya adalah presiden Indonesia Soekarno, presiden Cile Salvador Allende, presiden Guatemala Jacobo Arbenz Guzman, dan perdana menteri Iran Muhammad Mossadeq.

Adapun mereka yang mampu bertahan dari gelombang penumbangan Amerika adalah presiden Venezuela Hugo Chavez dan presiden Mesir Gamal Abdel Nasser. Dari pemaparan penyusun buku, saya suka dengan kedua pemimpin negara ini.
Gamal Abdel Nasser misalnya. Dirinya berani merebut dan menasionalisasikan Terusan Suez yang melintasi wilayahnya. Keputusan ini tentu saja membuat Inggris, Perancis, dan Israel berang yang membuahkan Perang Enam Hari pada 1967 dan Operasi Kadesh pada Oktober 1956.

Nasser memiliki kelugasan bertindak dan kelihaian berpolitik. Berkawan dengan Uni Soviet dan tidak menghapus Amerika dari peta persahabatannya, tetapi Nasser punya pendirian terhadap nasib negaranya. Bahkan, ketika dibujuk menandatangani pakta antikomunis di Timur Tengah oleh John Foster Dulles, menteri luar negeri Amerika Serikat, Nasser menolak.

“Bagaimana mungkin saya akan bilang kepada rakyat Mesir bahwa saya mengabaikan Inggris yang jaraknya hanya sekitar 60 mil dari negara kami di Terusan Suez, dan mencemaskan ancaman bahaya dari Soviet yang jaraknya 500 mil dari negara kami,” papar Nasser kepada Dulles. Dalam buku ini, Nasser digambarkan sebagai pemimpin negara yang pandai memainkan kartunya.

Sedangkan Hugo Chavez, saya suka karena di abad milenium ini, masih tersisa pemimpin negara yang mampu melawan hegemonisasi Amerika di bidang politik dan ekonomi. Hebatnya, Chavez, beserta presiden Bolivia Evo Moralez dan presiden Kuba Fidel Castro, melakukan gerakan anti-Amerika di “halaman belakang” Amerika.

Meskipun begitu, ada juga pemimpin negara yang awalnya didukung Amerika, tetapi diturunkan juga oleh Amerika. Beberapa di antaranya yang dibahas di buku ini adalah Saddam Husein dari Irak dan Ferdinand Marcos dari Filipina.

Saddam Husein memimpin Irak sejak 1979 hingga 2003, ketika Amerika menginvasi Irak. Dirinya melakukan kontak dengan agen-agen CIA ketika melarikan diri ke Mesir pada 1959 setelah terjadi pembunuhan atas presiden Irak ketika itu, Abdul Karim Qasim.

Pada 1980, Irak menjadi kaki-tangan Amerika dalam memerangi Iran yang ketika itu baru saja melakukan revolusi Islam. Amerika membantu Irak dengan berbagai persenjataan buatan Amerika. Fungsinya agar asupan minyak dari Iran bisa mengalir lagi ke Inggris dan Amerika.

Meskipun begitu, pada 1990, Irak menginvasi Kuwait. Kejadian ini membuat Amerika berang. Puncaknya, Amerika menginvasi Irak pada 2003 dengan dalih Irak memiliki senjata pemusnah masal. Meskipun pada akhirnya alasan tersebut tidak terbukti.

Amerika sebagai sebuah negara adidaya tidak dapat dipungkiri memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan berbagai negara di dunia. Ada yang mampu bertahan dari gempurannya, tetapi tidak sedikit yang akhirnya kalah dan terjajah secara ekonomi dan politik.
Indonesia adalah salah satunya. Soekarno digulingkan oleh Soeharto melalui Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada 1966 yang disusul penyerahan kekuasaan pada 12 Maret 1967 melalui parlemen. Sababiah penggulingan ini adalah Gerakan 30 September (G30S) yang mengakibatkan 6 perwira tinggi dan seorang perwira pertama angkatan darat dibunuh.

Buku ini memaparkan bahwa Soeharto merupakan orang yang dipersiapkan Amerika untuk menggantikan Soekarno. Soeharto sendiri mulai dididik Amerika melalui Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad) di Bandung ketika hampir dipecat oleh jenderal Abdul Haris Nasution gara-gara terlibat penyelundupan gula di Semarang.

Orang-orang yang terlibat dalam G30S pun disinyalir binaan Amerika dan dekat dengan Soeharto. Brigjen Suparjo misalnya. Pembawa maut perwira tinggi angkatan darat ini tercatat pernah mengenyam pendidikan kemiliteran di Fort Bragg, Amerika Serikat, dan Okinawa Jepang. Begitu pun dengan Letnan Kolonel Untung dan Kolonel Latif yang sama-sama terlibat dalam G30S.

Selain dari unsur kemiliteran, agen-agen perubahan yang dipersiapkan Amerika untuk Indonesia juga datang dari kalangan perguruan tinggi. Amerika memberikan beasiswa mahasiswa pascasarjana Indonesia untuk sekolah di berbagai perguruan tinggi di Amerika seperti Berkeley University, Massachusetts Institute of Technologi (MIT), dan Harvard University. Pada gilirannya, alumnus ini dikenal dengan Mafia Berkeley.

Amerika juga menggunakan yayasan-yayasan nirlaba untuk melancarkan aksinya di Indonesia. Tercatat beberapa yayasan menjadi sarana operasi terselubung CIA, seperti Ford Foundation, Asia Foundation, USAID, dan Fullbright Foundation.

Usai Orde Lama tumbang dan Orde Baru berkuasa, Indonesia memulai babak baru penjajahan neo-liberalisme gaya Amerika. Berbagai sumber daya alam Indonesia dikuasai oleh Amerika. Salah satunya adalah pertambangan emas di Irian yang dikuasai Freeport dan beberapa pengeboran minyak yang dikuasai oleh beberapa perusahaan milik Amerika.

Kebijakan politik dan ekonomi Indonesia pun menjurus pada terciptanya padangan yang sejalan dengan Amerika. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, seperti yang terjadi di berbagai negara “jajahan” Amerika, terjadi juga di Indonesia. Pada akhirnya, negara ini adalah negara boneka Amerika, meskipun reformasi telah terjadi 12 tahun lalu.

Di bagian akhir buku ini, mas Hendrajit dan kawan-kawan merekomendasikan beberapa hal terkait masalah invasi terselubung Amerika terhadap negara-negara di dunia. Dari beberapa rekomendasi, tampaknya rekomendasi untuk memasukan informasi tentang keterlibatan pemerintah Amerika di Indonesia ke dalam kurikulum pelajaran di sekolah di Indonesia, lebih masuk akal untuk saya dibandingkan rekomendasi lainnya.

Kartini Mati Dibunuh: Membongkar Hubungan Kartini dan Freemason


BUKU

Pengarang : Efatino Febriana  

Penerbit : Navila Idea Yogyakarta
Cetakan : 1, 2011 
Tebal : 128 halaman


Tradisi surat-menyurat merupakan tradisi manusia modern pada abad ke-19 dan ke-20. Dari surat-menyurat itulah, peradaban Eropa dirakit hingga begitu hebatnya. Tradisi surat-menyurat menjadikan sebuah peradaban maju menggapai spirit pengetahuan. Itulah yang telah dilakukan Kartini untuk menunjukkan eksistensi kemodernannya. Kartini tak pernah menulis buku, tetapi dia selalu berkorepondensi bersama para bangsawan cerdik yang memberikan informasi dan pengetahuan yang besar terhadap Kartini. Tak disangka, arsip surat-menyurat yang tersimpan itu diterbitkan. Nama Kartini kemudian menjadi perbincangan besar yang membuatnya sebagai tokoh perempuan yang dikagumi pada zamannya, bahkan sampai sekarang.
Ketekunan Kartini dalam surat-menyurat inilah yang mengantarkannya dikenal banyak kalangan pejabat Belanda. Sebagai anak seorang Bupati Jepara, Kartini tentu mendapat perhatian serius dari pejabat Belanda sehingga surat-suratnya membuat Kartini juga harus terlibat dalam konspirasi penjajah yang sedang mencari celah dalam menaklukkan Nusantara. Dari sinilah, Kartini sebenarnya tidak sadar bahwa tradisi surat-menyuratnya justru dimanfaatkan Belanda dalam rangka politik konspirasi. Inilah yang coba diurai penulis buku bertajuk Kartini Mati Dibunuh: Membongkar Hubungan Kartini dan Freemason.
Sejak kecil, Kartini sudah bergaul banyak dengan orang Eropa. Ini karena sejak kecil, Kartini dimasukkan ke sekolah elite orang-orang Eropa, Europese Lagere School (ELS) dari tahun 1885-1892. Pergaulan semasa belia tentu tak banyak membekas, tetapi sosok Kartini sebagai anak bupati mendapatkan perhatian dari Belanda. Makanya ketika sudah remaja, Kartini kemudian dikenalkan dengan JH Abendanon (Direktur Departemen Pendidikan, Agama, dan Kerajinan, Hindia Belanda) dan istrinya Ny Abendanon Mandri (wanita berdarah Puerto Riko-Yahudi).
Ny Abendanon sebenarnya yang berperan sangat krusial dalam korespondensi dengan Kartini. Ny Abendanon ditugasi pemerintah Hindia Belanda untuk mengawasi gerak-gerik Kartini. Otak di balik semua gerakan Hindia Belanda ini adalah seorang orientalis bernama Snouck Hurgronje, penasihat pemerintahan Hindia Belanda. Snouck dikenal sebagai orang cerdas yang menyukseskan agenda penjajahan Belanda di Indonesia, khususnya yang mengatur strategi kolonialisasi dalam menaklukkan umat Islam. Bukan saja Ny Abendanon yang ditugaskan Snouck, melainkan juga beberapa tokoh, antara lain Estella H Zeehandelar, perempuan yang sering dipanggil Kartini dalam suratnya dengan nama Stella. Stella adalah wanita Yahudi pejuang feminisme radikal yang bermukim di Amsterdam. Selain sebagai pejuang feminisme, Estella juga aktif sebagai anggota Social Democratische Arbeiders Partij (SDAP).
Tokoh lain yang berhubungan dengan Kartini adalah HH Van Kol (orang yang berwenang dalam urusan jajahan untuk Partai Sosial Demokrat di Belanda), Conrad Theodore van Daventer (anggota Partai Radikal Demokrat Belanda), KF Holle (seorang humanis), Tuan HH Van Kol, Ny Nellie Van Kol, Ny MCE Ovink Soer, EC Abendanon (anak JH Abendanon), dan Dr N Adriani (orang Jerman yang diduga kuat sebagai evangelis di Sulawesi Utara). Kepada Kartini, Ny Van Kol banyak mengajarkan tentang Bibel, sedangkan kepada Dr N Adriani, Kartini banyak mengkritik soal zending Kristen, meskipun dalam pandangan Kartini semua agama sama saja.
Hubungan akrab ini memang diciptakan oleh Snouck untuk membentuk Kartini sebagai sosok feminis yang akrab dengan pemikiran Barat. Kartini selalu mendapatkan buku baru dari teman korespondensinya. Tak salah kemudian kalau Kartini berpikir begitu progresif, melampaui kebudayaan Jawanya. Bahkan, Kartini masuk dalam pola pemikiran teosofi yang digerakkan kaum Yahudi dalam membangun jejaring konspirasi global. Snouck menginginkan agar Kartini menjadi tokoh perempuan yang tercerahkan lewat pemikiran Barat, bukan dari akar budayanya sendiri. Dengan begitu, maka Belanda seolah berjasa dalam pembentukan nalar anak bangsa. Ini wajar karena saat itu Belanda sedang menjalankan program politik etis.
Jejaring yang dibangun Snouck itulah jejaring Yahudi yang juga terlibat dalam kelompok rahasia bernama Freemason; sebuah aliran misterius kaum Yahudi yang memandang baik dan buruk dari nuraninya sendiri. Freemason merupakan aliran misterius yang tidak bisa terlacak. Yang tahu adalah para anggotanya sendiri. Dalam novel-novel karya Dan Brown dan Orhan Pamuk, Freemason banyak dikupas sebagai gerakan misterius yang mengguncang peradaban Barat. Freemason inilah yang merepotkan jejaring global dalam membangun perdamaian karena anggota Freemason selalu menebarkan virus misterius yang sulit dimengerti.
Pengaruh konspirasi Yahudi terlihat jelas dalam surat-surat Kartini. Lihat saja suratnya kepada EC Abendanon, 15 Agustus 1902, "Tuhan kami adalah nurani, neraka dan surga kami adalah nurani. Dengan melakukan kejahatan, nurani kamilah yang menghukum kami. Dengan melakukan kebajikan, nurani kamilah yang memberi kurnia." Surat ini hampir sama dengan surat Kartini kepada Ny Nellie Van Kol, 20 Agustus 1902, "Kebaikan dan Tuhan adalah satu." Surat ini jelas mengindikasikan Kartini masuk dalam jaringan pemikiran teosofi Freemason.
Dari surat-surat inilah, apakah konspirasi Yahudi-Freemason juga menikam Kartini pada usia mudanya sehingga ia meninggal sesaat setelah melahirkan? Pertanyaan ini masih digantung oleh penulis sehingga pembaca diajak mengembara mencari sendiri. Yang pasti, Snocuk memang mengagendakan untuk "menjebak" perempuan bernama Kartini untuk menenggelamkan tokoh perempuan Indonesia yang lain, seperti Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Dewi Sartika, dan Rohana Kudus. Kartini sejatinya ingin bersama-sama kaum perempuan Indonesia berjuang memberdayakan kaum hawa, tetapi Snouck tak ingin gemuruh gerakan perempuan membuat Belanda panik dengan kekuasaannya. (KOMPAS.com)
*Pustakawan, Krapyak Yogyakarta.

Harta Rakyat Indonesia Sirna Oleh Rekomendasi G20



“Considering this statement, which was written and signed in Novemver, 21th 1963 while the new certificate was valid in 1965 all the ownership, then the following total volumes were just obtained.”
Itulah sepenggal kalimat yang menjadi berkah sekaligus kutukan bagi bangsa Indonesia hingga kini. Kalimat itu menjadi kalimat penting dalam perjanjian antara Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy dengan Soekarno pada 1963.


Soekarno dan John F. Kennedy
Banyak pengamat Amerika melihat perjanjian yang kini dikenal dengan nama “The Green Hilton Agreement” itu sebagai sebuah kesalahan bangsa Amerika. Tetapi bagi Indonesia, itulah sebuah kemenangan besar yang diperjuangkan Bung Karno. Sebab volume batangan emas tertera dalam lembaran perjanjian itu terdiri dari 17 paket sebanyak 57.150 ton lebih emas murni.
Bahasa lain yang sering dikemukakan Bung Karno kepada rekan terdekatnya, bahwa ia ingin harta nenek moyang yang telah dirampas oleh imprealisme dan kolonialisme dulu bisa kembali. Tetapi perjanjian yang diteken itu, hanya sebatas pengakuan dan mengabaikan pengembaliannya. Sebab Negeri Paman Sam itu mengambilnya sebagai harta pampasan perang dunia I dan II. Konon cerita, harta itu dibawa ke Belanda dari Indonesia, kemudian Belanda kalah perang dengan Jerman, maka Jerman memboyong harta itu ke negaranya. Lalu dalam perang dunia kedua, Jerman kalah dengan Amerika, maka Amerika membawa semua harta itu ke negaranya hingga kini.
Perjanjian itu berkop surat Burung Garuda bertinta emas di bagian atasnya yang kemudian menjadi pertanyaan besar pengamat Amerika. Yang ikut serta meneken dalam perjanjian itu tertera John F. Kennedy selaku Presiden Amerika Serikat dan William Vouker yang berstempel “The President of The United State of America” dan dibagian bawahnya tertera tandatangan Soerkarno dan Soewarno berstempel “Switzerland of Suisse.” Yang menjadi pertanyaan kita bersama adalah, mengapa Soekarno tidak menggunakan stempel RI. Pertanyaan itu sempat terjawab, bahwa beliau khawatir harta itu akan dicairkan oleh pemimpin Indonesia yang korup, kelak.
Perjanjian yang oleh dunia moneter dipandang sebagai pondasi kolateral ekonomi dunia hingga kini, menjadi perdebatan panjang yang tak kunjung selesai pada kedua negara, Indonesia dan Amerika. Banyak para tetua dan kini juga anak muda Indonesia dengan bangganya menceritakan bahwa Amerika kaya karena dijamin harta rakyat Indonesia. Bahkan ada yang mengatakan, Amerika berhutang banyak pada rakyat Indonesia, karena harta itu bukan punya pemerintah dan bukan punya negara Indonesia, melainkan harta rakyat Indonesia. Tetapi, bagi bangsa Amerika, perjanjian kolateral ini dipandang sebagai sebuah kesalahan besar sejarah Amerika.

The Green Hilton Agreement 1963
Barangkali ini pulalah penyebab, mengapa Bung Karno kemudian dihabisi karir politiknya oleh Amerika sebelum berlakunya masa jatuh tempo The Green Hiltom Agreement. Ini berkaitan erat dengan kegiatan utama Soeharto ketika menjadi Presiden RI ke-2. Dengan dalih sebagai dalang PKI, banyak orang terdekat Bung Karno dipenjarakan tanpa pengadilan seperti Soebandrio dan lainnya. Menurut tutur mereka kepada pers, ia dipaksa untuk menceritakan bagaimana ceritanya Bung Karno menyimpan harta nenek moyang di luar negeri. Yang terlacak kemudian hanya “Dana Revolusi” yang nilainya tidak seberapa. Tetapi kekayaan yang menjadi dasar perjanjian The Green Hilton Agreement ini hampir tidak terlacak oleh Soeharto, karena kedua peneken perjanjian sudah tiada.
Kendati perjanjian itu mengabaikan pengembaliannya, namun Bung Karno mendapatkan pengakuan bahwa status koloteral tersebut bersifat sewa (leasing). Biaya yang ditetapkan Bung Karno dalam perjanjian sebesar 2,5% setahun bagi siapa atau bagi negara mana saja yang menggunakannya. Dana pembayaran sewa kolateral ini dibayarkan pada sebuah account khusus atas nama The Heritage Foundation yang pencairannya hanya boleh dilakukan oleh Bung Karno sendiri atas restu yang dimuliakan Sri Paus Vatikan. Namun karena Bung Karno “sudah tiada” (wallahuallam), maka yang ditunggu adalah orang yang diberi kewenangan olehnya. Namun sayangnya, ia hanya pernah memberikan kewenangan pada satu orang saja di dunia dengan ciri-ciri tertentu. Dan inilah yang oleh kebanyakan masyarakat Indonesia, bahwa yang dimaksudkan adalah Satria Piningit yang kemudian disakralkan, utamanya oleh masyarakat Jawa. Tetapi kebenaran akan hal ini masih perlu penelitian lebih jauh.
April 2009, dana yang tertampung dalam The Heritage Foundation sudah tidak terhitung nilainya. Jika biaya sewa 2.5% ditetapkan dari total jumlah batangan emasnya 57.150 ton, maka selama 34 tahun hasil biaya sewanya saja sudah setera 48.577 ton emas. Artinya kekayaan itu sudah menjadi dua kali libat lebih, dalam kurun kurang dari setengah abad atau setara dengan USD 3,2 Trilyun atau Rp 31.718 Trilyun, jika harga 1 gram emas Rp 300 ribu. Hasil lacakan terakhir, dana yang tertampung dalam rekening khusus itu jauh lebih besar dari itu. Sebab rekening khusus itu tidak dapat tersentuh oleh otoritas keuangan dunia manapun, termasuk pajak. Karenanya banyak orang-orang kaya dunia menitipkan kekayaannya pada account khusus ini. Tercatat mereka seperti Donald Trump, pengusaha sukses properti Amerika, Raja Maroko, Raja Yordania, Turki, termasuk beberapa pengusaha besar dunia lainnya seperti Adnan Kassogi dan Goerge Soros. Bahkan Soros hampir menghabiskan setengah dari kekayaannya untuk mencairkan rekening khusus ini sebelumnya.
Pihak Turki malah pernah meloby beberapa orang Indonesia untuk dapat membantu mencairkan dana mereka  pada account ini, tetapi tidak berhasil. Para pengusaha kaya dari organisasi Yahudi malah pernah berkeliling Jawa jelang akhir 2008 lalu, untuk mencari siapa yang diberi mandat oleh Bung Karno terhadap account khusus itu. Para tetua ini diberi batas waktu oleh rekan-rekan mereka untuk mencairkan uang tersebut paling lambat Desember 2008. Namun tidak berhasil.
Usaha pencairan rekening khusus ini bukan kali ini saja, tahun 1998 menurut investigasi yang dilakukan, pernah dicoba juga tidak berhasil. Argumentasi yang diajukan tidak cukup kuat. Dan kini puluhan  bahkan ratusan orang dalam dan luar negeri mengaku sebagai pihak yang mendapat mandat tersebut. Ada yang usia muda dan ada yang tua. Hebatnya lagi, cerita mereka sama. Bahwa mereka mengaku penguasa aset rakyat Indonesia, dan selalu bercerita kepada lawan bicaranya bahwa dunia ini kecil dan dapat mereka atur dengan kekayaan yang ia terima. Ada yang mengaku anak Soekarno. lebih parah lagi, ada yang mengaku Soekarno sunggguhan tetapi kini telah berubah menjadi muda. Wow.
Padahal, hasil penelusuran penulis. Bung Karno tidak pernah memberikan mandat kepada siapapun. Dan setelah tahun 1965, Bung Karno ternyata tidak pernah menerbitkan dokumen-dokumen atas nama sipulan pun. Sebab setelah 1963 itu, owner harta rakyat Indonesia menjadi tunggal, ialah Bung Karno itu sendiri. Namun sayang, CUSIP Number (nomor register World Bank) atas kolateral ini bocor. Nah, CUSIP inilah yang kemudian dimanfaatkan kalangan banker papan atas dunia untuk menerbitkan surat-surat berharga atas nama orang Indonesia. Pokoknya siapapun, asal orang Indonesia berpassport Indonesia dapat dibuatkan surat berharga dari UBS, HSBC dan bank besar dunia lainnya. Biasanya terdiri dari 12 lembar, diantaranya ada yang berbentuk Proof of Fund, SBLC, Bank Guransi, dan lainnya. Nilainya pun pantastis. rata-rata diatas USD 500 juta. Bahkan ada yang bernilai USD 100 milyar.
Ketika dokumen tersebut dicek, maka kebiasaan kalangan perbankan akan mengecek CUSIP Number. Jika memang berbunyi, maka dokumen tersebut dapat menjalani proses lebih lanjut. Biasanya kalangan perbankkan akan memberikan bank Officer khusus bagi surat berharga berformat ini dengan cara memasan Window Time untuk sekedar berbicara sesama bank officer jika dokumen tersebut akan ditransaksikan. Biasanya dokumen jenis ini hanya bisa dijaminkan atau lazim dibuatkan rooling program atau privcate placement yang bertempo waktu transaksi hingga 10 bulan dengan high yeild berkisar antara 100 s/d 600 % setahun. Uangnya hanya bisa dicairkan untuk proyek kemanusiaan. Makanya, ketika terjadi musibah tsunami di Aceh dan gempa besar lainnya di Indonesia, maka jenis dokumen ini beterbangan sejagat raya bank. Tapi anehnya, setiap orang Indonesia yang merasa nama tercantum dalam dokumen itu, masih miskin saja hingga kini. Mengapa? Karena memang hanya permainan banker kelas kakap untuk mengakali bagaimana caranya mencairkan aset yang terdapat dalam rekening khusus itu.
Melihat kasus ini, tak heran bila banyak pejabat Indonesia termasuk media massa Indonesia menyebut “orang gila” apabila ada seseorang yang mengaku punya harta banyak, milyaran dollar Amerika Serikat. Dan itulah pula berita yang banya menghiasi media massa. Ketidakpercayaan ini satu sisi menguntungkan bagi keberadaan harta yang ada pada account khusus ini, sisi lain akan membawa bahaya seperti yang sekarang terjadi. Yakni, tidak ada pembelaan rakyat, negara dan pemerintah Indonesia ketika harta ini benar-benar ada.
Kasih sedih itu terjadi. Presiden SBY ikut serta dalam pertemuan G20 April silam. Karena Presiden SBY tidak pernah percaya, atau mungkin ada hal lain yang kita belum tau, maka SBY ikut serta menandatangani rekomendasi G20. Padahal tanda tangan SBY dalam sebuah memorandum G20 di London itu telah diperalat oleh otoritas keuangan dunia untuk menghapuskan status harta dan kekayaan rakyat Indonesia yang diperjuangkan Bung Karno melalui kecanggihan diplomatik. Mengapa, karena isi memorandum itu adalah seakan memberikan otoritas kepada lembaga keuangan dunia seperti IMF dan World Bank untuk mencari sumber pendanaan baru bagi mengatasi keuangan global yang paling terparah dalam sejarah ummat manusia.
Atas dasar rekomendasi G20 itu, segera saja IMF dan World Bank mendesak Swiss untuk membuka 52.000 rekening di UBS yang oleh mereka disebut aset-aset bermasalah. Bahkan lembaga otoritas keuangan dunia sepakat mendesak Vatikan untuk memberikan restu bagi pencairan aset yang ada dalam The Heritage Foundation demi menyelamatkan ummat manusia. Memang, menurut sebuah sumber terpercaya, ada pertanyaan kecil dari Vatikan, apakah Indonesia juga telah menyetujui? Tentu saja, tandatangan SBY diperlihat dalam pertemuan itu. Berarti sirnalah sudah harta rakyat dan bangsa Indonesia. Barangkali inilah “dosa SBY” dan dosa kita semua yang paling besar dalam sejarah bangsa Indonesia. Sebab, bila SBY dan kita sepakat untuk paham akan hal ini, setidaknya ada geliat diplomatik tingkat tinggi untuk mencairkan aset sebesar itu. Lantas ada pertanyan; Sebodoh itukah kita?


Senin, 07 Mei 2012

Banyak Pengkhianat di Sekeliling Bung Karno



Diawal kejatuhannya Bung Karno membentuk Kabinet Dwikora/Kabinet Dwikora yang di sempurnakan, dimana Anggota Kabinet itu terdapat 100 Menteri. 
Dan Suharto ada di dalam Kabinet tersebut sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat pasca Supersemar yang misterius itu, sebelum ahirnya Suharto di lantik sebagai PJS Presiden Republik Indonesia pada tanggal 13 Maret 1967 bersamaan dengan UU No 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA). 
Jadi sebelum Bung Karno membuat Kabinet Dwikora, dimana Ibnu Sutowo sebagai Menteri Perminyakan di kabinet itu. Ibnu Sutowo sudah teken kontrak dengan Amerika serikat tanpa sepengetahuan BUng Karno sebagai Perdana Mentri/Presiden terkait Penambangan yang ahirnya melahirkan UU No 1 tahun 1967 tentang PMA.