Jumat, 13 April 2012

Menelusuri Rekam Jejak Kofi Annan Hingga Konflik Suriah




Sekalipun dari sisi managerial, Kofi Annan boleh dikata termasuk sekjen PBB yang sukses, tapi ia banyak dikritik lewat kecenderungan politiknya selama menjabat sebagai sekjen PBB. Kofi Annan selama menjabat sebagai Sekjen PBB berusaha mengarahkan lembaga ini sesuai dengan kebijakan Sistem Bipolar dunia dan Globalisasi hegemoni Amerika. Ia juga menyoal prinsip-prinsip ideologi PBB dan melemahkan kemampuan lembaga internasional ini untuk mencegah munculnya konflik di dunia. Sekalipun demikian, kini Kofi Annan ditunjuk sebagai wakil khusus PBB untuk menyelesaikan krisis Suriah.
Kofi Annan, mantan Sekjen PBB menjadi wakil khusus bersama Ban Ki-moon, Sekjen PBB sekaligus pemenang hadiah Nobel Perdamaian dan Nabil al-Arabi, Sekjen Liga Arab yang ditugaskan untuk berunding mencari solusi damai krisis Suriah. Dengan mencermati latar belakang dan rapor cemerlang Kofi Annan, semua pihak menyambut terpilihnya ia untuk menengahi masalah krisis Suriah.
Tapi pertanyaan penting dalam hal ini, sebenarnya Kofi Annan, diplomat senior internasional ini mewakili siapa? Siapa saja yang mengantarkannya pada posisi saat ini? Apa kecenderungan politik Kofi Annan? Dan apa sebenarnya komitmen Kofi Annan dalam penugasan barunya ini?
Pertanyaan-pertanyaan ini tidak pernah disikapi terbuka. Semua tampak diam dan tidak ingin berbicara tentang masalah ini, demi menggambarkan sosok netral Kofi Annan dalam penugasannya ini.

Kofi Annan Dibesarkan oleh Ford Institute dan CIA
Kofi Annan dan saudari kembarnya Efua Atta lahir pada 8 April 1938 dari sebuah keluarga aristokrat di Gold Coast, daerah jajahan Inggris. Ayahnya, Henry Reginald adalah kepala suku Fante dan gubernur provinsi Asante ("Kofi Annan – The Man To Save The World?", Saga Magazine, November 2002). Sekalipun ia menentang pemerintahan Inggris, tapi tetap saja menjadi pelayan loyal kerajaan Inggris. Reginald bersama tokoh-tokoh lain ikut dalam gerakan anti kolonialisme Inggris, tapi ia menatap kebangkitan Qiwam Nakromeh dengan penuh keragu-raguan.
Tapi upaya yang dilakukan Qiwam Nekromeh berhasil memerdekakan negaranya dari Inggris pada 1957 dengan nama negara Ghana. Pada waktu itu Kofi Annan berusia 19 tahun. Sekalipun ia tidak punya peran dalam kemenangan revolusi Ghana, tapi ia terpilih sebagai wakil "Forum Nasional Mahasiswa". Sejak itulah ia telah diawasi dengan serius oleh pemburu bakat senior Ford Institute dan mereka mulai memperkenalkan Kofi Annan sebagai "Pemimpin Muda". Dari sini, Kofi Annan diundang untuk kuliah selama satu semester di Universitas Harvard. Ketika Ford Institute menyaksikan ketertarikan Kofi Annan kepada Amerika, mereka akhirnya memutuskan untuk membiayai kuliahnya hingga selesai. Pada awalnya Kofi Annan kuliah ekonomi di Macalester College di Minnesota, kemudian ia menyelesaikan S2 jurusan hubungan internasional di Graduat Institute Of International Studies di Jenewa. Pasca berakhirnya Perang Dunia II, Ford Institute telah berubah menjadi alat tidak resmi kebijakan luar negeri Amerika dan aktivitas terselubung CIA ("Ford Foundation, a philanthropic facade for the CIA," Voltaire Network, 5 April 2004, and "Pourquoi la Fondation Ford subventionne la contestation," by Paul Labarique, Réseau Voltaire, 19 April 2004).
Periode pendidikan Kofi Annan di luar negeri (1959-1961) bersamaan dengan tahun-tahun paling sulit gerakan hak-hak sipil warga kulit hitam Amerika, yakni dimulainya perjuangan Martin Luther King. Dalam pandangan Kofi Annan, gerakan ini sama dengan gerakan anti Kolonialisme Ghana, tapi kembali lagi Kofi Annan ternyata tidak ikut dalam gerakan ini. (Who is Kofi Annan? The United Nations "Peacekeeper" Handpicked by the CIA, Thierry Meyssan, March 31, 2012)
Para mentor Kofi Annan yang mengetahui perilaku keberhati-hatian politiknya mulai membuka pintu-pintu Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuknya dan dengan demikian Kofi Annan memulai profesi resminya. Setelah tiga tahun bekerja di WHO ia diangkat menjadi Komisaris Ekonomi Afrika di Addis Ababa. Tapi ternyata Kofi Annan tidak mampu menunjukkan kapabilitasnya untuk bekerja di PBB, akhirnya ia kembali ke Amerika untuk melanjutkan studinya pada jurusan managemen di Massachusetts Institute of Technology (MIT) dari tahun 1971 hingga 1972. Setelah berupaya keras, ia kembali ke negaranya dan diangkat menjadi Kepala Pengembangan Pariwisata, namun Kofi Annan kembali lagi ke PBB pada 1976 karena bermasalah dengan pemerintah militer Ghana.

Sebuah Keberhasilan dengan Tragedi Kegagalan
Kofi Annan memiliki banyak posisi di PBB, termasuk penugasan di UNEF II (pasukan perdamaian untuk mengawasi proses gencatan senjata antara Mesir dan Israel pasca Perang Oktober 1973). Setelah itu ia diangkat menjadi Komisaris Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR).
Pada masa ini, ia berkenalan dengan Nane Lagergren Master, isteri keduanya dan kemudian menikahinya. Nane adalah seorang pengacara Swedia dan berasal dari keluarga Raoul Wallenberg dan penah menjadi utusan khusus Swedia di Budapest pada Perang Dunia II. Wallenberg memiliki hubungan khusus dengan orang-orang Yahudi dan juga menjadi anggota OSS, dinas rahasia Amerika sebelum berganti menjadi CIA. Perkawinannya dengan Nane Lagergren Master boleh dikata berhasil dan membuka banyak pintu bagi Kofi Annan, padahal sebelumnya ia tidak mampu melewatinya, khususnya pintu-pintu organisasi Yahudi.
Javier Perez de Cuellar, Sekjen PBB waktu itu menunjuk Kofi Annan sebagai Asisten Sekjen PBB dan Manager Sumber Daya Manusia, Keselamatan dan Keamanan Karyawan PBB dari tahun 1987-1990. Dengan menggabungkan Kuwait ke Irak, sekitar 900 karyawan PBB tinggal di negara ini. Kofi Annan berhasil melakukan perundingan dengan rezim Saddam Husein agar membebaskan karyawan PBB. Keberhasilan ini meningkatkan popularitas Kofi Annan di PBB. Setelah itu Kofi Annan menjadi penanggung jawab anggaran PBB dari tahun 1990-1992. Kofi Annan juga ikut dalam operasi-operasi perdamaian di masa Boutros Boutros-Ghali (1993-1996) dan dalam waktu singkat ia menjadi utusan khusus PBB di Yugoslavia.
Menurut Jenderal Romeo Dallaire, Komandan Pasukan Perdamaian PBB di Rwanda yang berasal dari Kanada, Kofi Annan tidak menjawab permintaannya yang disampaikan berkali-kali dan menjadi orang paling bertanggung jawab terkait pembersihan etnis sekitar 800 ribu orang penduduk negara ini. (Shake Hands with the Devil : The Failure of Humanity in Rwanda, by Roméo Dallaire, Arrow Books Ltd, 2004)
Skenario yang sama juga dilakukan Kofi Annan ketika 400 pasukan penjaga perdamaian PBB ditawan oleh pasukan Serbia. Kofi Annan tidak peduli dengan permintaan berkali-kali Jenderal Bernard Janvier dan mengizinkan pembantian yang semestinya dapat dicegah itu terjadi.

Kofi Annan Mengaku Kesalahan dan Terpilih
Di akhir tahun 1996, Amerika memveto pemilihan kembali Boutros Boutros-Ghali sebagai Sekjen PBB dan berhasil mengantarkan kandidat yang diinginkannya menjadi sekjen PBB. Pribadi ini tidak lain adalah Kofi Annan. Kegagalannya di Rwanda dan Bosnia dicitrakan sedemikian rupa sehingga menjadi kelebihan Kofi Annan. Karena ia sendiri mengaku kesalahan itu dan berjanji akan melakukan perbaikan dalam sistem PBB agar dapat mencegah terjadinya peristiwa semacam itu. Dengan demikian ia terpilih sebagai Sekjen PBB pada Januari 1997.

Sekjen PBB
Pasca terpilihnya sebagai sekjen PBB, Kofi Annan langsung menggelar pertemuan tertutup selama dua hari yang diselenggarakan khusus hanya untuk 15 orang wakil negara-negara anggota PBB. Pertemuan yang diselenggarakan secara tertutup di Pocantico Conference Center ini ternyata disponsori oleh Rockefeller Brothers Fund. Bertentangan dengan tata tertib PBB, ternyata reformasi yang disampaikannya hanya dibicarakan dengan wakil-wakil negara yang diyakininya akan mendukungnya.

"Global Compact" Intervensi Atas Nama PBB
Inovasi paling penting Kofi Annan adalah sebuah program yang disebut "Global Compact" yang tujuannya adalah memobilisasi masyarakat sipil untuk dunia yang lebih baik. Berdasarkan program ini, para pemilik modal, organisasi dan lembaga swadaya masyarakat berkumpul untuk membicarakan masalah hak asasi manusia, standar buruh dan lingkungan hidup. Lihat: (http://www.unglobalcompact.org/aboutthegc/thetenprinciples/index.html)
Program ini pada kenyataannya merupakan upaya untuk melemahkan kekuatan pemerintah sebuah negara dan meningkatkan kemampuan perusahaan-perusahaan multi nasional dan organisasi-organisasi yang secara lahiriah "non pemerintah", tapi dananya didukung secara sembunyi-sembunyi oleh kekuatan-kekuatan besar. Kofi Annan pada hakikatnya telah mengubur Piagam San Francisco (Piagam PBB) dengan memperkuat para pelobi sebagai partner PBB. Karena tujuan pembentukan PBB adalah mencegah perang tapi yang dilakukan Kofi Annan saat itu bukan lewat pengakuan kesamaan hak antara bangsa kecil dan besat, tapi mendukung kebersamaan demi kepentingan pribadi.
Pada dasarnya Global Compact merupakan penyelewengan dari logika tapi diterima oleh dunia berdasarkan manfaat umum dari aturan internasional menuju logika Anglo Saxon, dimana manfaat umum hanya khayalan. Sementara managemen yang baik adalah mengumpulkan paling banyak jumlah kepentingan khusus.
Selama periode kepemimpinan Kofi Annan di PBB (1997-2006) merupakan refleksi dari kenyataan sebuah era sejarah di mana telah terbentuk dunia dengan sistem Bipolar dan ketaatan terhadap globalisasi hegemoni Amerika menjadi alasan tumbangnya kekuatan pemerintah di negara-negara atau pribadi-pribadi yang menjadi wakil rakyatnya.
Strategi program Global Compact sama seperti lembaga National Endowment for Democracy (NED) yang bertentangan dengan slogan yang dimilikinya justru berusaha memanipulasi proses demokrasi demi kepentingan CIA. (http://www.voltairenet.org/a166549). Mereka yang berkepentingan dari penerapan globalisasi melihat akan mendapat keuntungan bila ikut dalam program  Global Compact. Karena dengan demikian mereka dengan mudah melemahkan posisi pemerintah dan rakyat. Kini perdamaian sudah bukan menjadi tujuan pertama PBB. Karena Dunia Bipolar memiliki polisi dan itu adalah Amerika. Dengan demikian, PBB dapat menarik segala bentuk protes ke dalam dirinya guna membuktikan instabilitas dunia dan kenyataan ini dengan sendirinya menjusfitikasi agresi Amerika dan hegemoninya.

Doktrin Kofi Annan
Kofi Annan dalam pidatonya pada 20 September 1999 di Majelis Umum PBB menyinggung pengalamannya selama bertugas di Rwanda dan Bosnia lalu menyatakan bahwa banyak negara yang tidak berhasil melaksanakan tugasnya membela rakyat. Annan kemudian mengambil kesimpulan bahwa kedaulatan sebuah negara merupakan prinsip mendasar Piagam PBB, tapi telah menjadi penghalang untuk melindungi HAM. Doktrin Kofi Annan ini pada hakikatnya merupakan justifikasi bagi intervensi negara-negara besar dan itu dengan mudah disaksikan pada operasi-operasi militer yang dilakukan tahun 2011 di Libya ("UN security council resolution 1973 in favour of a no-fly zone in Libya," Voltaire Network, 17 March 2011) dan juga telah membuka jalan untuk mencampuri urusan Suriah.

Program Oil For Food
Di masa kepemimpinan Kofi Annan di PBB dan di antara tahun 1996-2003 ia mengusulkan program Oil for Food (Minyak untuk Makanan) terkait Irak dan diterapkan oleh PBB. Tujuan dari program ini adalan memberikan jaminan bahwa hasil penjualan minyak hanya akan dipakai untuk kebutuhan rakyat Irak, dan bukan untuk membiayai kegilaan Saddam. Sekalipun Irak telah diembargo dunia dan diawasi langsung oleh Kofi Annan, tapi program ini akhirnya digunakan oleh Amerika dan Inggris untuk memeras Irak hingga waktu serangan ke negara ini tiba. ("Annan: Génocide en Iraq et Paix en Syrie?," by Hassan Hamade, As-Safir (Lebanon), Réseau Voltaire, 22 March 2012). Rakyat Irak selama bertahun-tahun mengalami gizi buruk dan menderita akibat tidak adanya obat-obatan. Beberapa pejabat dalam program ini menyebutnya sebagai "Kejahatan Perang" dan akhirnya mengundurkan diri dari jabatannya. Di antara mereka ada Hans Von Sponeck, Asisten Denis Halliday menyebut program ini menjadi faktor pembersihan etnis 1,5 juta rakyat Irak termasuk sedikitnya 500 ribu anak. ("United Nations implications in war crimes," by Silvia Cattori, Voltaire Network, 23 March 2007)

Upaya Kofi Annan di Kenya
Setelah menjabat selama 10 tahun sebagai sekjen PBB, Kofi Annan masih melakukan aktivitasnya di lembaga-lembaga swasta.
Pada bulan Desember 2007, pemilu Kenya berubah menjadi konflik dalam negeri. Mwai Kibaki dalam pemilu presiden Amerika berhasil mengalahkan Raila Odinga, calon yang dijagokan Washington. Ada yang mengatakan bahwa Odinga masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Barack Obama, Senator Amerika. Sementara Senator John McCain menyoal hasil pilpres Kenya dan mengajak warga dengan revolusi pesan pendek (SMS). Hanya dalam beberapa hari 1000 orang tewas dan 300 ribu warga Kenya menjadi pengungsi. Madeleine Albright mengusulkan agar Oslo Center Peace Human Rights menjadi mediator. Lembaga ini segera mengirim dua wakilnya;  Kjell Magne Bondevik, mantan Perdana Menteri Norwegia dan Kofi Annan, dimana keduanya adalah angggota komisaris Oslo Center.
Menyusul mediasi ini, presiden Kenya yang terpilih akhirnya menyerah pada keinginan Amerika. Ia mengamandemen UUD dan sebagian dari kekuasaannya harus diberikan kepada perdana menteri dan setelah itu Raila Odinga diangkat sebagai Perdana Menteri Kenya.
Kofi Annan saat ini memiliki dua jabatan penting. Pertama sebagai Presiden The Africa Progres Panel (APP). Lembaga ini dibentuk oleh Tony Blair, mantan Perdana Menteri Inggris setelah dilaksanakannya pertemuan kelompok G-8 di Gleeneagles dengan tujuan menjamin akses media Kementerian Pembangunan Internasional Inggris. Lembaga ini menunjukkan aktivitas yang tidak seberapa untuk memperbaiki kondisi Afrika.
Kedua, Kofi Annan menjabat Presiden Alliance for a Green Revolution in Africa (AGRA). Tujuan dari lembaga ini adalah mencari solusi pangan lewat teknologi bagi benua Afrika. Pada dasarnya lembaga ini tidak lebih dari lembaga lobi yang didirikan oleh Bill Gates dan Rockefeller Institute guna mendistribusikan produk hasil rekayasa genetika yang diproduksi oleh Monsanto, DuPont, Dow, Syngenta dan perusahaan-perusahaan lain. Banyak pakar independen yang meyakini bahwa menggunakan produk hasil rekayasa genetika yang tidak dapat diproduksi ulang, selain merusak lingkungan hidup, juga membuat para petani untuk selamanya bergantung pada supplier dan perlahan-lahan yang terjadi adalah jenis lain dari kolonialisme manusia.

Kofi Annan di Suriah
Dengan mencermati latar belakang Kofi Annan, pertanyaannya adalah mengapa diplomat senior ini harus datang ke Suriah? Mengapa bukan Ban Ki-moon, Sekjen PBB saat ini sendiri yang harus pergi ke Suriah? Harus diketahui bahwa Ban Ki-moon saat ini semakin buruknya akibat sikapnya yang tunduk pada Amerika dan masih dihadapkan sejumlah skandal ("An Open Letter to the dishonorable Ban Ki-moon," by Hassan Hamade, As-Safir (Lebanon), Voltaire Network, 27 January 2012). Sementara sekalipun melihat latar belakang Kofi Annan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, tapi sampai saat ini citranya masih positif.
Kofi Annan menerima tugasnya sebagai utusan khusus dari PBB dan Liga Arab dengan melihat ada harapan yang saling kontradiktif. Sebagian analis melihat Kofi Annan diutus bukan untuk menciptakan perdamaian, tapi rencananya ia akan menjadi penghias perdamaian yang telah disepakati oleh kekuatan-kekuatan besar dunia. Sementara sebagian lainnya berharap Kofi Annan akan mengulangi kembali pengalamannya di Kenya dan tanpa menimbulkan jatuhnya banyak korban, ia dapat melakukan perubahan di Suriah.
Selama beberapa pekan lalu, Kofi Annan terlihat fokus menyampaikan peran yang dibawanya. Peran ini pada intinya naskah revisi dari usulan Sergei Ivanov, Wakil Perdana Menteri Rusia. Usulan itu kemudian diperbaiki oleh Kofi Annan agar dapat diterima oleh Amerika dan sekutunya. Selain itu, Kofi Annan mengumumkan dirinya berhasil meyakinkan Bashar Assad agar mengirim Farouk al-Sharaa berunding dengan kelompok oposisi. Begitu juga ia menyebut sejumlah program lain yang telah berhasil direalisasikannya. Masalah ini berarti Suriah telah memberikan konsensi kepada Dewan Keamanan Teluk Persia (P-GCC).
Pada intinya, Bashar Assad selama setahun ini menjadi ketua perundingan, tapi Arab Saudi dan Qatar menolaknya. Menurut mereka, karena Bashar Assad adalah seorang Alawi maka ia harus mengundurkan diri dan kekuatan harus diberikan kepada wakilnya yang sunni. Dengan dasar ini, tampaknya utusan khusus PBB dan Liga Arab ini tengah berusaha menyusun jalan bagaimana negara-negara yang tidak menyetujui Bashar Assad agar dapat menyerang Suriah dan menerapkan legenda sebuah revolusi demokratik yang selalu banjir darah.
Bagaimanapun juga, dua wajah Kofi Annan dengan mudah dapat disaksikan. Ketika bertemu dengan Bashar Assad di Damaskus, ia menyatakan kepuasannya, tapi begitu menjejakkan kakinya di Jenewa, Annan ganti mengatakan putus asa akan sikap Bashar Assad. Dan seperti biasanya, tidak ada juga yang menanyakan niat sebenarnya Kofi Annan. IRIB Indonesia

HARTA SOEKARNO



Si ompung, TD Pardede , tokoh pengusaha asal Medan jaman dulu yang dekat dengan Bung Karno, jika masih hidup pasti teringat saat suatu hari dia dipanggil mendadak ke Jakarta. Setelah ngobrol ngobrol bersama menteri lainnya, Presiden Republik Indonesia itu mengajak TD Pardede ke pojok ruangan.
“Pardede, bisa kau pinjamkan aku uang ? “
Gelagapan karena langsung ditodong oleh penguasa negeri. Mengetahui betapa miskinnya sang Presidennya, TD Pardede merogoh saku saku janya dan memberikan seribu dollar dari kantongnya. Namun Bung Karno hanya mengambil secukupnya dan mengembalikan sisanya skepada Pardede.
Lain cerita salah satu ajudan terakhir, Putu Sugianitri seorang bekas Polisi wanita yang juga harus pensiun tanpa kejelasan. Suatu saat setelah tidak menjadi presiden, Bung Karno jalan jalan keliling kota dan tiba tiba ingin buah rambutan. ” Tri , beli rambutan “.
” Uangnya mana ? ” tanya si polwan asal Bali itu.
” sing ngelah pis ” kata Bung Karno dalam bahasa Bali yang artinya ” saya tak punya uang “.
Jadilah sang ajudan memakai uang pribadinya untuk mantan presiden yang tidak memiliki uang.
Ada juga cerita dari Bang Ali Sadikin.
Saat ia menjabat Menko Maritim. Ia ditanya oleh Bung karno apakah ia bisa membantu bisnis mertua Bung Karno yang berkaitan dengan perijinan pelabuhan.
Setelah dipelajari Ali Sadikin mengatakan tidak bisa. Peraturan mengatakan demikian.
“ Ya sudah,  kalau tidak bisa “ kata Bung Karno.
Bang Ali berpikir. Luar biasa ini manusia. Padahal sebagai Presiden ia bisa memaksakan memberi perintah. Yang mengagumkan Bung Karno selanjutnya tidak pernah dendam, bahkan kelak mengangkat May. Jend KKO Ali Sadikin sebagai Gubernur Jakarta.
Dari cerita tersebut diatas, kita tahu Bung Karno tidak pernah peduli dengan uang atau harta. Ketika turun dari kekuasaan kita tak pernah tahu bahwa Bung Karno dan keluarganya meninggalkan kekayaan yang melimpah ruah.
Saat mendapat surat dari Jenderal Soeharto, bahwa Bung Karno harus meninggalkan Istana Merdeka sebelum tanggal 16 Agustus 1967. Maka teman teman Bung Karno yang mengetahui rencana itu segera menawarkan dan menyediakan 6 rumah untuk tempat tinggal dan putera puteri Bung Karno.
Mendengar hal itu Bung Karno seketika marah, bahwa ia tidak menghendaki rumah rumah itu. Ia menginginkan semua anak anaknya pindah ke rumah Ibu Fatmawati.
“ Semua anak anak kalau meninggalkan Istana tidak boleh membawa apa apa, kecuali buku buku pelajaran, perhiasan sendiri dan pakaian sendiri. Barang barang lain seperti radio , televisi dan lain lain tidak boleh dibawa ! “ Demikian Bung Karno memerintahkan.
Guntur – putera tertua – setelah mendengar penjelasan itu merasa kecewa, karena ia sudah terlanjur menggulung kabel antenna TV yang akhirnya tidak boleh dibawa pergi.
Sementara Ibu Fatmawati mengeluh karena kamar di rumahnya tidak cukup.
Tak berapa lama datang truk dari Polisi yang membawa 4 tempat tidur dari kayu yang bersusun, dengan kasur dan bantalnya tapi tanpa sprei dan sarung bantal. Juga beras 6 karung.
“ Anak anakku semua disuruh tidur di tempat tidur susun dari kayu, tanpa sprei dan sarung bantal “
Konon Ibu Fat, marah marah kepada utusan yang membawa perlengkapan itu.
Bung Karno keluar dari istana dengan mengenakan kaos oblong cap cabe dan celana piyama warna krem. Baju piyamanya disampirkan ke pundak, dan ia memakai sandal bata yang sudah usang. Tangan kanannya memegang kertas Koran yang digulung, berisi bendera pusaka merah putih. Bendera yang dijahit oleh istrinya sendiri, ibu Fatmawati ketika masa proklamasi kemerdekaan dahulu.
Tak ada voor ridjer, pengawalan atau penghormatan seperti ketika Presiden Soeharto – yang diantar Jenderal Wiranto sampai ke mobil Mercedes – meninggalkan Istana Merdeka setelah menyerahkan jabatannya kepada Habibie.
Ia meninggalkan istana dengan mobil VW kodok yang dikendarai seorang supir asal kepolisian. Salah seorang anggota kawal pribadinya membawakan ovaltine, minuman air jeruk, air teh, air putih, kue kue serta obat obatan Bung Karno.
Itulah seluruh harta yang dimiliki Bung Karno ketika meninggalkan Istana.
Selebihnya ditinggalkan.
Kelak harta kekayaan Soekarno yang ditinggal di Istana didata oleh pihak penguasa dengan dibuatkan berita acara. Barang barang itu mulai dari logam emas batangan, lukisan lukisan, buku buku, pakaian, minyak wangi, bolpen, uang dollar yang semuanya bernilai tidak sedikit.
Dan semua itu tidak pernah diserahkan kepada Bung Karno atau keluarganya. Tidak jelas siapa yang mewarisi.
Pada akhirnya tidak penting juga mewarisi sebuah kekayaan. Karena dia bukan berhala harta. Hanya sebuah janji yang tersisa yang wajib kita jaga, untuk sebuah Indonesia yang bersatu dan bermartabat.
Tidak ada juga deal deal khusus dengan Soekarno. Beda suasana "treatment" terhadap Soeharto. Di bulan Januari tahun 2008, Pemerintah mengajukan konsep penyelesaian di luar pengadilan. Diantaranya, keluarga Soeharto harus membayar 4 trilyun kepada negara. Ini sepertiga dari tuntutan Pemerintah, yakni US $ 420 juta dan Rp 185 milyar plus ganti rugi immaterial Rp 10 trilyun atas Yayasan Supersemar . Mbak Tutut dan adik adiknya hanya terdiam mendengar angka yang diajukan Pemerintah “
Walaupun demikian, yang tersisa saat itu dari diri sosok Soekarno, hanya sebuah persetujuan dalam segenggam bait puisi Chiril Anwar. Janji itu terus melintas jaman. Sampai kapanpun.
Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh
( Persetujuan dengan Bung Karno – Chairil Anwar )

Trik Yunani Mengatasi Krisis Ekonomi, Cerdik atau Sadis?



Yunani, satu di antara sejumlah negara Eropa dengan kondisi ekonomi paling terpuruk, menggunakan setiap celah meski kecil guna mencegah agar tidak semakin terperosok dan bangkrut. Penghematan bukan hal baru lagi bagi Yunani, karena masih banyak kebijakan lebih ekstrim pemerintah Athena untuk memperketat belanja. Pada saat yang sama, pemerintah Yunani berusaha mengubah setiap peluang menjadi uang.

Kebijakan terbaru pemerintah Yunani dalam hal ini mengejutkan banyak pihak. Mulai sekarang polisi Yunani akan mematok harga untuk jasa yang diberikannya. Selasa (10/4), ditetapkan bahwa setiap polisi akan menerima imbalan sebesar 30 € untuk setiap jasa sederhana yang ditawarkan.
"Jasa sederhana" yang dimaksud termasuk pengawalan dan relokasi bahaya seperti relokasi bahan-bahan berbahaya, uang, karya seni sangat berharga, penjagaan sidang dan acara publik. Untuk pengawalan dengan menggunakan kendaraan polisi, pengguna jasa akan dikenai biaya tambahan € 40 per jam dan 20 € untuk pengawalan dengan menggunakan motor polisi.
Untuk operasi berskala besar, kapal patroli polisi dapat disewa dengan harga 200 € dan helikopter dengan ongkos 1.500 euro per jam.
Thanassis Kokkalakis, juru bicara Polisi Yunani mengatakan, "Pendapatan dari layanan tersebut akan digunakan untuk mendanai perlengkapan polisi dan meningkatkan anggaran negara." Kokkalakistidak bisa mengelak bahwa keputusan ini diambil setelah negara tengah berjuang dengan krisis utang yang terus menumpuk dan dalam rangka mencegah kebangkrutan.
"Kami akan memberikan layanan ini hanya untuk kasus luar biasa dan jika ada aset maupun staf yang siap. Pertama kami akan memastikan bahwa tidak ada warga yang kehilangan perlindungan polisi," tambahnya.
Sekilas ketetapan tersebut adalah cara cerdik untuk meningkatkan pendapatan kas negara. Akan tetapi perlu digarisbawahi juga kekhawatiran yang muncul bahwa kebijakan tersebut memberatkan orang yang tidak mampu untuk menyewa seorang polisi dan ini akan berdampak pada keberpihakan polisi hanya kepada golongan masyarakat kaya saja. Dengan kata lain, pemerintah dan polisi membiarkan kalangan lemah untuk berurusan sendiri dengan berbagai ancaman kriminal.
Perekonomian Yunani merupakan yang terparah di antara 17 negara anggota zona euro dan hingga kini Dana Moneter Internasional (IMF) telah mengucurkan dana talangan hingga 11 milyar euro. Itu saja belum cukup karena pemerintah Athena masih memerlukan 130 milyar euro lagi agar tetap bertahan hidup. Akibatnya, warga dan pemerintah sedang dihadapkan dengan berbagai kesulitan.
Pada tahun 2011, angka pertumbuhan Yunani minus 6,91 persen.
Singkat kata, Yunani seakan tidak punya pilihan lain kecuali harus mengunyah buah simalakama. Di satu sisi, buruknya kondisi perekonomiannya memaksa sejumlah negara Uni Eropa, khususnya Perancis dan Jerman menekan Yunani agar lebih ketat menghemat belanjanya. Di sisi lain, politik penghematan tersebut dinilai warga Yunani sangat ekstrim, dan memaksa mereka berdemo.
Demonstrasi warga Yunani yang umumnya berujung pada tindakan anarkis itu, sedemikian meluas sehingga memaksa pemerintahan mantan perdana menteri George Papandreou, mengundurkan diri yang langsung diganti oleh pemerintahan koalisi pimpinan Lucas Papademos.
Seburuk apa kondisi Yunani saat ini? Untuk mengetahuinya kita simak saja keterangan yang dirilis oleh Dewan Kota Athena berikut ini;
"Kota bersejarah ini dan sejumlah wilayah menghadapi perluasan berbagai jenis kriminalitas dan kekerasan, ketidakamanan, pelanggaran hukum, serta kemiskinan yang merata baik di kalangan penduduk lokal maupun warga negara asing, prostitusi ilegal dan perdagangan narkotika." 
IRIB Indonesia/MZ
 

Ada CIA Dibalik Kampanye Feminisme





“Pada 1960-an, media elit menciptakan feminisme gelombang kedua sebagai bagian dari agenda elit untuk meruntuhkan peradaban dan mendirikan New World Order.”Sejak menuliskan kata-kata ini minggu lalu (tulisan ini dibuat Januari 2004. red), saya menemukan bahwa sebelum menjadi seorang pemimpin kaum feminis, Gloria Steinem adalah orang bekerja untuk CIA. Tugas utamanya adalah memata-matai mahasiswa Marxist di Eropa dan mengacaukan pertemuan mereka. Gloria pun menjadi anak kesayangan media berkat koneksi dekatnya dengan CIA. Ms. Magazine, sebuah majalah perempuan di mana dia bekerja sebagai editor selama bertahun-tahun pun didanai secara tak langsung oleh CIA. 



Namun menariknya adalah Steinem selalu berpura-pura dirinya adalah mahasiswi radikal. Kepada Susan Mitchell tahun 1887, ia pernah berkata, “Saya kuliah di era McCarthy dan itu menjadikan saya seorang Marxis.” (Icons, Saints and Divas: Intimate Conversations with Women Who Changed the World, 1997, hal. 130) Uraian singkat biografinya dalam Ms. Magazine Juni 1973 menyatakan: “Gloria Steinem telah menjadi penulis lepas sepanjang kehidupan profesionalnya. Ms. Magazine merupakan pekerjaan penuh waktu pertamanya yang menghasilkan gaji untuknya.”


Semuanya itu tidak benar! Dibesarkan dalam keluarga berantakan yang melarat di Toledo Ohio, Steinem entah bagaimana berhasil kuliah di Smith College yang elit, almamater Betty Friedan. Setelah lulus tahun 1955, Steinem mendapat “Chester Bowles Student Fellowship” untuk belajar di India. Anehnya, setelah mencari di Internet tidak ada data yang berhasil ditemukan selain beasiswa itu khusus hanya diberikan kepada Steinem.


Pada 1958, Steinem direkrut oleh Cord Meyers dari CIA untuk mengatur “sekelompok aktivis informal” bernama “Independent Research Service”. Lembaga ini adalah bagian dari “Congress for Cultural Freedom” milik Meyer, yang mendirikan majalah-majalah seperti Encounter dan Partisan Review untuk mempromosikan kebaikan kelompok liberal sayap kiri untuk melawan Marxisme. Steinem, yang menghadiri festival-festival pemuda di Eropa yang disponsori Komunis, menerbitkan sebuah suratkabar dan berperan banyak dalam membantu memprovokasi sebuahkerusuhan.


Salah seorang kolega Steinem di CIA adalah Clay Felker. Pada awal 1960-an, Cley menjadi editor di Esquire dan mempublikasikan artikel-artikel karangan Steinem yang mengukuhkannya sebagai suara pembebasan perempuan. Pada 1968, sebagai penerbit New York Magazine, Clay mempekerjakannya sebagai contributing editor, dan kemudian editor Ms. Magazine pada 1971. Warner Communications menyediakan hampir semua uang walaupun hanya menguasai 25% sahamnya. Penerbit pertama Ms. Magazine sendiri adalah Elizabeth Forsling Harris. Ia adalah seorang eksekutif humas yang memiliki koneksi dengan CIA sekaligus yang merencanakan rute iring-iringan mobil John Kennedy di Dallas. Meski memiliki citra anti penguasa, Ms. Magazine memasang iklan dari korporat terbaik Amerika. Ia memasang iklan ITT pada waktu yang bersamaan dengan penyiksaan tahanan politik perempuan di Chile oleh Pinochet, setelah sebuah kudeta yang dibangkitkan oleh konglomerat AS dan CIA.


Hubungan pribadi Steinem juga mengingkarkan sikapnya yang berpura-pura anti penguasa. Dia menjalin hubungan selama sembilan tahun dengan Stanley Pottinger, asisten jaksa agung di masa Nixon-Ford, yang memperlambat penyelidikan FBI dalam pembunuhan Martin Luther King, dan dengan mantan Menteri Luar Negeri Chile Orlando Latelier. Pada 1980-an, dia berkencan dengan Henry Kissinger.


Gloria Steinem Agen CIA


Kesalahpahaman utama kita tentang CIA adalah bahwa CIA melayani kepentingan AS. Nyatanya, ia selalu menjadi instrumen dinasti elit minyak dan perbankan internasional (Rothschild, Rockefeller, Morgan) yang dikoordinasi oleh Royal Institute for Internal Affairs di London dan cabang mereka di AS, Council for Foreign Relations. Lembaga ini didirikan dan diisi oleh orang-orang berdarah biru dari penguasa perbankan New York dan lulusan perkumpulan pagan rahasia, “Skull and Bones”.


Fungsi dari komplotan internasional ini adalah melemahkan institusi-institusi dan nilai-nilai di AS demi mengintegrasikannya ke dalam negara global yang akan mereka atur lewat PBB. Dalam Piagam Pendiriannya tahun 1947, CIA dilarang terlibat dalam aktivitas dalam negeri. Namun ini tak pernah menghentikannya dari mengobarkan perang psikologis terhadap rakyat Amerika. Rekan “Congress for Cultural Freedom” di dalam negeri adalah “American Committee for Cultural Freedom”. Memakai yayasan-yayasan sebagai saluran, CIA mengendalikan diskursus intelektual pada 1950-an dan 1960-an, dan saya yakin ia masih berbuat demikian hingga hari ini. Dalam The Cultural Cold War, Francis Stonor Saunder memperkirakan bahwa seribu buku diproduksi di bawah terbitan berbagai pers komersial dan universitas, dengan subsidi tersembunyi.


“Proyek Mockingbird” CIA melibatkan infiltrasi langsung ke dalam media, ya sebuah proses yang acapkali meliputi pengambilalihan langsung media-media besar. “Pada awal 1950-an,” tulis Deborah Davis dalam bukunya, Katherine the Great, “CIA menguasai anggota-anggota terhormat New York Times, Newsweek, CBS, dan sarana komunikasi lain, plus wartawan lepas, yang totalnya berjumlah empat ratus sampai enam ratus [wartawan lepas].”


Kemudian pada tahun 1982, CIA mengaku bahwa reporter-reporter dalam daftar gaji CIA bertindak sebagai petugas kasus (case officer) untuk agen lapangan. Philip Graham, penerbit Washington Post, yang menjalankan operasi hingga dia “bunuh diri” pada 1963, membual bahwa “Anda bisa mendapatkan jurnalis yang lebih murah daripada gadis panggilan cantik, dengan [upah] beberapa ratus dolar sebulan.”


Saya lahir pada tahun 1949. Orang-orang idealis di generasi orangtua saya kecewa saat impian persaudaraan universal yang dicanangkan Komunis ternyata merupakan kedok untuk [mendirikan] despotisme brutal. Generasi saya sendiri mungkin menemukan bahwa insting terbaik kita juga telah dimanipulasi dan dieksploitasi. Ada bukti bahwa budaya kedai narkoba tahun 1960-an, pergerakan hak-hak sipil, dan pergerakan anti perang, seperti feminisme, diatur oleh CIA. Contohnya, CIA telah mengakui mendirikan National Student Association (NSA) sebagai kedok pada tahun 1947 (www.cia-on-campus.org ). Pada awal 1950-an, NSA menentang upaya House Un American Activities Committee untuk membasmi mata-mata Komunis. Menurut Phil Agee Jr., petugas-petugas NSA berpartisipasi dalam aktivitas SNCC, kelompok hak sipil militan, dan Students for a Democratic Society, kelompok perdamaian radikal.


Menurut Mark Riebling, CIA juga mungkin telah menggunakan Timothy Leary. Sudah pasti dinas tersebut mendistribusikan LSD (lysergic acid diethylamide), sebuah narkoba halusinogenik yang sangat kuat kepada Leary dan pembuat opini lainnya di tahun 1960-an. Leary membuat satu generasi Amerika berpaling dari partisipasi aktif di masyarakat dan mencari kepuasan “di dalam” diri mereka sendiri. Dalam contoh lain penggunaan narkoba oleh CIA untuk mencampuri politik dalam negeri, Gary Webb menggambarkan bagaimana pada 1980-an CIA membanjiri kawasan-kawasan minoritas kulit hitam dengan kokain.


Saya tak akan berusaha menganalisa motivasi CIA selain mengatakan apa persamaan di antara mereka: Mereka mendemoralisasi, mengasingkan, dan memecah-belah warga Amerika. Elit beroperasi dengan memupuk perpecahan dan konflik di dunia. Jadi, kita tidak menyadari siapa musuh sesungguhnya. Untuk alasan yang sama, CIA dan yayasan milik elit juga mendanai keberagaman dan pergerakan multikultur.


Feminisme telah menimbulkan kerusakan parah. Tak ada hubungan yang lebih fundamental, tapi halus, di masyarakat selain hubungan antara pria dan wanita. Padanya keluarga, sel darah merah masyarakat, bersandar. Tak ada orang yang memperhatikan kepentingan masyarakat yang mau mencoba memecah-belah pria dan wanita. Tapi kebohongan bahwa pria mengeksploitasi wanita telah menjadi opini resmi.


Pria mencintai wanita. Insting pertamanya adalah memelihara (“husband”) (arti kata husbandry adalah pertanian/peternakan/pemeliharaan sumber daya—penj) dan melihatnya tumbuh. Ketika bahagia, wanita tampak cantik. Tentu, beberapa pria bersifat kasar. Tapi mayoritas menopang dan menuntun keluarga mereka selama bermilenium-milenium.


Kaum feminis berkeras hati memajukan ide bahwa karakteristik bawaan pria dan wanita kita, yang krusial untuk pertumbuhan kita sebagai manusia, hanyalah “stereotipe”. Ini fitnah keji terhadap semua masyarakat heteroseksual, [yang mengisi] 95% populasi. Berbicara tentang kebencian! Tapi diajarkan kepada anak-anak sekolah dasar! Digaungkan di media. Lesbian seperti Rosie O’Donnell dimajukan sebagai role model.


Semua ini dikalkulasi untuk menciptakan kebingungan pribadi dan menebarkan chaos di antara masyarakat heteroseksual. Alhasil, jutaan pria Amerika dilemahkan dan dipisahkan dari hubungannya dengan keluarga (dunia dan masa depan). Wanita Amerika diperdaya hingga mencurahkan diri dalam karir keduniaan ketimbang dalam kasih-sayang tiada akhir kepada suami dan anak-anaknya. Banyak wanita sudah tak layak untuk menjadi isteri dan ibu. Orang-orang, yang terisolasi dan sendirian, terhalangi [pertumbuhannya] dan lapar akan kasih sayang, mudah sekali dibodohi dan dimanipulasi. Tanpa pengaruh sehat kedua orangtua yang mencintai, begitulah anak-anak mereka jadinya.


Feminisme adalah penipuan besar-besaran yang dilakukan terhadap masyarakat oleh elit pemerintahnya. Itu dirancang untuk memperlemah struktur sosial dan budaya Amerika dalam rangka mengenalkan New World Order sebagai sebuah fasisme yang ramah. Para pendukungnya adalah orang-orang berlagak suci yang menjadi kaya dan berpengaruh darinya. Mereka meliputi golongan pendusta dan timpang moral yang bekerja untuk elit dalam beragam kapasitas: pemerintahan, pendidikan, dan media. Para penyamar ini harus dibongkar dan dicemooh.


Penindasan terhadap wanita adalah kebohongan. Pembagian peran berdasar jenis kelamin tak pernah sekaku yang dipropagandakan kaum feminis. Ibu saya sukses menjalankan bisnis impor tali arloji dari Swiss pada tahun 1950-an. Saat pendapatan ayah saya meningkat, dia bersedia berhenti dan berkonsentrasi mengurus anak-anak. Wanita bebas mengejar karir jika mereka mau. Bedanya, dahulu peran mereka sebagai isteri dan ibu dipahami, dan disahkan secara sosial, sebagaimana mestinya. HinggaGloria Steinem dan CIA datang bersama-sama.


“Pada tahun 2000, saya harap kita akan membesarkan anak-anak kita untuk meyakini potensi manusia, bukan Tuhan.”


“Mempercayai sesuatu yang ada sekarang sebagai ganti kehidupan setelah mati adalah luar biasa menipu, jika Anda membayangkannya. Bahkan korporasi-korporasi dengan semua sistem penghargaannya tidak mencoba menjadikannya hadiah anumerta.”

(Gloria Steinem, aktivis hak-hak perempuan)

Rabu, 11 April 2012

Berita Hoax Tentang Perang, Bumerang Bagi Amerika



Berita hoax tentang perang telah menjadi bumerang, bagi Amerika. Khususnya tentang "Kepercayaan terhadap Media". Contoh : Berita Khaddafi ternyata masih Hidup. (libya SOS). "Gaddafi masih hidup dan sehat, menelepon Raja Kerajaan Pantai Gading, menyatakan Aboqilh Ambah wartawan Asad, penulis media komunikasi "Libby independen" dalam siaran pers khusus untuk negara dan dunia pers.
Tampaknya Muammar Gaddafi, bahkan mengangkat kontroversi di antara Libya mengenai apakah hidup, mati, kembali dalam adegan meningkatkan harapan warga Libya yang meragukan kematiannya, informasi yang dipublikasikan untuk pertama kali sejak pembunuhan Qaddafi Dikatakan bahwa Raja Jean Gervais Chevy raja bola di Pantai Gading, mengatakan telah menerima telepon dari Raja segala raja sebagai tradisional di Afrika dipanggil untuk Muammar Gaddafi, mengatakan ia baik-baik saja dan sehat dan sangat bahagia dan akan kunjungi segera, dan itu sangat berharga menyebutkan bahwa Raja Jean Gervais Gaddafi bertanggung jawab untuk Balacharf forum regional di antara raja-raja, sultan, pangeran, syekh dan walikota Afrika."

Bung Hatta Membedah Dampak Kolonialisme Modal



Apakah kita harus bangga sebagai negara tujuan modal asing? Konon, Indonesia masuk 20 besar tujuan investasi asing. Lalu, modal asing sudah menguasai 60% asset perbankan Indonesia, menguasai 60% aset BUMN, dan mengusai sekitar 70-90% eksplorasi tambang di Indonesia.
Kenyataan itu tidak lepas dari andil pemerintah. Sejak orde baru hingga sekarang, pintu ekonomi kita memang dibuka sangat “liberal”. Bahkan, sejak pemberlakuan UU PMA tahun 2007, modal asing tidak lagi dibatasi alias bisa 100%.
Pemerintah menganggap hal itu positif. Gita Wirjawan, salah seorang jubir rezim neoliberal di Indonesia, mengatakan, investasi asing itu bisa menciptakan lapangan pekerjaan baru, meningkatkan pendapatan pajak, standar hidup, memberikan transfer teknologi dan pengetahuan, serta mendorong perkembangan sektor turunan lainnya.
Argumentasi Gita Wirjawan itu sudah usang. 80-an tahun yang lalu, tepatnya tahun 1930-an, Bung Hatta sudah mematahkan argumentasi semacam itu. Dulu, argumentasi semacam itu sangat kuat disuarakan oleh kolonialis Belanda.
Pada tahun 1931, Gubernur Jenderal Belanda yang baru, De Jonge, menyampaikan pidato di depan Volksraad. Isi pidato De Jonge persis dengan argumentasi Gita Wirjawan: perusahaan barat di Indonesia memberi pekerjaan kepada buruh Indonesia, menambah pajak untuk kas negara, dan menghasilkan barang-barang yang bisa dijual ke luar negeri.
Pendek kata, bagi De Jonge, kalau perusahaan barat itu diganggu, maka rumah-tangga negeri dan kehidupan rakyat akan kocar-kacir. Karena itu, perusahaan barat itu jangan diganggu, jangan ditimpai dengan belasting (pajak) yang berat, dan janganlah ada gerakan kemerdekaan.
Saat itu, kata Hatta, goncangan terhadap perusahaan barat itu memang sangat berpengaruh pada penghidupan rakyat. Sebab, pemerintah kolonial Belanda—seperti juga pemerintahan SBY sekarang—suka melemparkan beban krisis ekonomi ke pundak massa rakyat. Bung Hatta mencontohkan, ketika perusahaan asing itu terkena imbas krisis, sehingga setoran pajak ke kas negara berkurang, maka pemerintah kolonial melakukan penghematan. Akan tetapi, ironisnya, yang menjadi sasaran penghematan bukan belanja militer, gaji tentara atau polisi, melainkan belanja atau anggaran untuk kesejahteraan rakyat.
Saat itu, kira-kira tahun 1930-an, dunia memang sedang dilanda krisis malaise. Orang-orang Indonesia menyebutnya “jaman meleset”. Akibat merosotnya permintaan di pasar internasional, banyak perusahaan asing di dalam negeri turut merugi. Ekspor dan impor menyusut. Akibatnya, pemasukan kas negara kolonial dari pajak dan cukai merosot drastis.
Lantas apa dampak modal kolonial di Indonesia?
Bung Hatta memulai penggeledahannya dari pra-masuknya kolonialisme. Sebelum masuknya kolonialisme, kata Bung Hatta, rakyat Indonesia hidup sederhana: konsumsinya seimbang dengan kemampuan berproduksi. Bangsa kita punya penghasilan yang cukup buat dimakan, punya perniagaan sendiri dengan bangsa asing, dan punya kapal sendiri yang melayari lautan besar dan menyinggahi pelabuhan dari Jepang hingga Persia.
Begitu kolonialisme masuk, perdagangan dan pelayaran dimusnahkan; pertanian rakyat dipaksa menghasilkan barang yang dikehendaki kolonialis. Sampai-sampai, untuk mencegah persaingan perdagangan, penguasa kolonial memusnahkan penduduk Pulau Banda. Belum lagi, bangsa Indonesia makin dirusak kehidupannya oleh praktek cultuurstelsel.
Seusai era cultuuralstelsel datanglah era politik etis. Di sini terjadilah apa yang disebut Bung Hatta sebagai peralihan dari staatexploitatie menjadi particulierexploitatie. Di sini, rakyat Indonesia berhadapan dengan penindas baru, yaitu kapitalis swasta.
Bung Hatta berusaha merinci perbedaan pendapatan antara majikan (pemodal asing) dengan rakyat pekerja Indonesia. Yang pertama, kaum majikan, sanggup mengeluarkan dividen sampai berpuluh-puluh persen, memberi royalti kepada administrator kolonial sampai beratus ribu rupiah setahun, sanggup memberi royalti kepada personil rendah kolonial belanda lebih dari separuh gaji setahun. Sedangkan yang kedua, pekerja Indonesia—yang menghasilkan untung beratus juta kepada majikan—harus bersabar untuk mendapatkan hanya 40 sampai 50 sen sehari. Nasib kaum tani yang dipaksa menyewakan tanahnya tak kurang menderitanya.
Lebih jauh, Bung Hatta menjelaskan, situasi itu diperburuk oleh kenyataan bahwa sebagian besar modal asing itu bergerak di industri pertanian. Maklum, modal asing itu masuk dengan memilih jenis atau sektor usaha yang diminatinya. Asalkan bisa memberi keuntungan.
Bagi Bung Hatta, seperti juga dinyatakan Bung Karno, industri kolonial belanda yang sebagian besar pertanian itu tidak memerlukan tenaga kerja banyak. Ini berbeda, tentu saja, dengan keadaan industri di eropa. Tipikal kapital pertanian ini, kata Bung Hatta, bisa digambarkan sebagai berikut: memerlukan ruang (tanah) yang luas, tetapi hanya membutuhkan sedikit tenaga.
Akibat perkembangan industri itu, banyak petani kehilangan sawah dan tanah-tanahnya. Seharusnya, jika mengikuti perkembangan industri di Eropa, para petani yang kehilangan tanah ini terserap atau beralih ke industri di kota-kota. Akan tetapi, industri kolonial saat itu hanya memerlukan tenaga kurang lebih 2 juta orang—sebab, kebanyakan industri pertanian.
Dengan demikian, industri kolonial itu hanya menyerap sebagaian kecil dari rakyat Indonesia. Namun, dampaknya yang ditimbulkannya sangat dahsyat. Kenapa bisa demikian? Hatta menjelaskan alasannya: (1) karena barisan penganggur sangat banyak, maka upah buruh Indonesia yang diterima bekerja pun bisa ditekan hingga serendah mungkin. (2) kehancuran pertanian dan perampasan tanah rakyat memicu kesengsaraan pada mayoritas luas penduduk.
Dalam banyak kasus, supaya petani tetap untung maka berasnya pun dijual ke luar negeri yang membeli lebih mahal. Akan tetapi, situasi itu memicu kekurangan beras di dalam negeri. Akibatnya, rakyat pekerja yang sudah berkurang upahnya pun terpaksa membeli harga beras yang mahal. Pendek kata, rakyat secara keseluruhan menjadi susah.
Dengan demikian, Bung Hatta menyimpulkan, kerusakan yang ditimbulkan oleh perusahaan-perusahaan besar itu berpuluh-puluh kali lipat lebih besar dibanding “jasa” yang dihasilkannya. Ia pun menggunakan ungkapan sederhana: “manisnya dimakan oleh kaum kapitalis barat; sampahnya menimpa rakyat kita.”
Pendapat Bung Hatta tentang dampak negatif modal asing itu terus dipertahankannya. Bahkan, dalam salah satu tulisannya di buku “Beberapa Fasal Ekonomi, Hatta malah menulis lebih tajam seperti ini:
“Soal kapital menjadi halangan besar untuk memajukan industrialisasi di Indonesia. Rakyat sendiri tidak mempunyai kapital. Kalau industrialisasi mau berarti sebagai jalan untuk mencapai kemakmuran rakyat (cetak miring sesuai aslinya), mestilah kapitalnya datang dari pihak rakyat atau pemerintah. Karena, kalau kapital harus didatangkan dari luar, tampuk produksi terpegang oleh orang luaran.
Pedoman bagi mereka untuk melekatkan kapital mereka di Indonesia ialah keuntungan. Keuntungan yang diharapkan mestilah lebih dari pada yang biasa, barulah berani mereka melekatkan kapitalnya itu. Supaya keuntungan itu dapat tertanggung, maka dikehendakinya supaya dipilih macam industri yang bakal diadakan, dan jumlahnya tidak boleh banyak. Berhubung dengan keadaan, industri agraria dan tambang yang paling menarik hati kaum kapitalis asing itu.
Dan, dengan jalan itu, tidak tercapai industrialisasi bagi Indonesia, melainkan hanya mengadakan pabrik-pabrik baru menurut keperluan kapitalis luar negeri itu saja. Sebab itu, Industrialisasi Indonesia dengan kapital asing tidak dapat diharapkan. Apalagi mengingat besarnya resiko yang akan menimpa kapital yang akan dipakai itu. Industrialisasi dengan bantuan kapital asing hanya mungkin, apabila pemerintah ikut serta dengan aktif, dengan mengadakan rencana yang dapat menjamin keselamatan modal asing itu.”
KUSNO

Rekam Jejak Frank Carlucci, Pemain Kunci Dalam Operasi Siluman AS di Pelbagai Belahan Dunia



Franc Carlucci. Sosok ini tak setenar George W Bush, Donald Rumsfeld atau Paul Wolfowitz. Namun Carlucci diyakini berbagai kalangan sebagai pemain utama yang merancang terjadinya pemboman gedung World Trade Center dan gedung Pentagon pada September 2001. Dari penelusuran pustaka yang saya lakukan, Carlucci yang tercatat pernah mengelola the Carlyle Group, sebuah perusahaan investasi yang punya kedekatan khusus pada setidaknya dua Presiden Amerika Serikat dari Partai Republik: Ronald Reagan dan George Herbert Walker Bush. 
Dari penelusuran pustaka yang saya lakukan, Carlucci yang tercatat pernah mengelola the Carlyle Group, sebuah perusahaan investasi yang punya kedekatan khusus pada setidaknya dua Presiden Amerika Serikat dari Partai Republik: Ronald Reagan dan George Herbert Walker Bush. 
Bersama Wakil Presiden Dick Cheney, Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld, dan Wakil Menteri Luar Negeri Richard Armitage, Carlucci diyakini berbagai kalangan telah bersekongkol sebagai otak atau sutradara terjadinya pembiaran terjadinya pemboman WTC dan Pentagon pada September 2001. 
Beberapa catatan membuktikan betapa Carlucci dan teman dekatnya Richard Armitage, sedari awal memang punya sejarah yang cukup fantastis sebagai ahlinya dalam soal operasi siluman(Covert Operation). 
Melacak masa lalu Carlucci, selain akrab dengan jaringan pebisnis dan kuasa politik yang berada dalam lingkaran the Carlyle Group, Carlucci juga punya jalinan kedekatan dengan Arab Saudi melalui The Saudi Arabian Oil Industry. Carlucci sendiri kemudian memimpin dan mengelola BDM International dan Vinnell Corporation. 
Nah, melalui aktivitasnya di BDM International inilah, terlacak adanya hubungan khusus dengan Barry McDaniel, Wakil Presiden alias orang kedua Carlucci di perusahaan tersebut. Tapi yang layak untuk ditelusur lebih dalam, pada perkembangannya kemudian ketika McDaniel keluar dari BDM, lalu jadi Direktur oprasi sebuah perusahaan kontraktor keamanan bernama Stratesec. Kabarnya perusahaan ini dapat order yang lumayan banyak terkait berbagai sarana dan faslitas untuk memungkinkan terjadinya Aksi pemboman gedung WTC. 
Lalu, apa kerja Carlucci saat terjadinya pemboman WTC? Pada 11 September 2001, Carlucci mengadakan pertemuan dengan beberapa investor dari Carlyle Group di Hotel Ritz Carlton, di Washington. Menariknya, di pertemuan ini juga hadir saudaranya Osama bin Laden. Sementara McDaniel ketika itu, merupakan mitra bisnis dari Bruce Bradley, sahabat karib dari Wakil Presiden Dick Cheney. 
Sejarah Hidup Frank Carlucci
Satu fakta penting pertama, Carlucci merupakan sahabat karib Rumsfeld yang ketika terjadinya pemboman WTC dan Pentagon, menjabat Menteri Pertahanan. Keduanya pernah satu kamar ketika sama sama jadi mahasiswa di Universitas Princeton. Adalah Rumsfeld yang merekrut Carlucci untuk bergabung di pemerintahan federal, The Office of Economic Oppurtunity(OEO). Kemudian Carlucci meneruskan karirnya sebagai Wakil Presiden di Nixon Office of Management and Budget (OMB). Perjalanan karirnya semakin cerah ketika di masa kepresidenan Gerald Ford, ditunjuk sebagai Duta Besar AS untuk Portugal. 
Satu catatan penting untuk memahami Carlucci, sejatinya dia merupakan “Calo Politik” atau Power Broker di pemerintahan federal Amerika, sehingga dirinya mampu menjalin komunikasi lintas partai dan lintas afiliasi politik. Satu talenta yang pas untuk dimainkan pemerintahan Bush, yang dari sejak awal mempunyai karakterisitik sebagai kekuatan siluman/komunitas rahasia dan menggunakan modus operandi jaringan laba laba. 
Karena itu bukan hal yang mengagetkan ketika di masa kepresidenan Jimmy Carter, Carlucci dipercaya sebagai Wakil Direktur CIA pada 1977. Padahal, kalau melihat jaringan kelompok yang membina dan mengkader Carlucci, justru dari jaringan kaum republikan berhaluan neo konservatif. 
Benar, sepertinya sejarah hidup Carlucci selalu diwarnai oleh operasi operasi terselubung yang penuh darah. London Times, pernah mengangkat berita bahwa Carlucci pernah terlibat dalam merancang pembunuhan terhadap Presiden Kongo Patrice Lumumba pada 1961 dan penggulingan Presiden Chile Salvador Allende pada 1973. Dan yang tak kalah mengagetkan, Carlucci juga sempat dituding terlibat dalam merancang penculikan dan pembunuhan Perdana Menteri Italia, Aldo Moro. Bahkan sewaktu menjabat sebagai Duta Besar AS di Portugal, Carlucci juga dianggap memainkan peran penting dalam menjinakkan revolusi berhaluan kiri di Portugal. 
Masuk akal juga karena pada masa 1974-1976, terjadi pergolakan di Timor Timur, menyusul adanya revulusi bunga pada 1974. Dan ketika itu pula, Fretelin sebagai kelompok pro kemerdekaan Timtim, sempat mendapat angin. Namun pada 1975, setelah Presiden Ford dan Menlu Henry Kissinger berkunjung ke Indonesia, disepakati bahwa Presiden Suharto akan segera melancarkan invasi militer ke Timtim. 
Dan itu terjadi, hanya selang dua hari setelah kunjungan Ford dan Kissinger ke Jakarta. Meski dirinya sempat membantah semua tudingan tersebut, namun mencuatnya berita semacam ini semakin memperkuat dugaan bahwa Carlucci memang aktor penting dalam berbagai operasi siluman dan kerja kerja kotor yang dirancang CIA maupun Gedung Putih. 
Nampaknya hal ini tak lepas dari keterlibatan Carlucci sebagai pemain kunci di CIA. Kedekatannya dengan Ted Shackley, sosok yang berada di pusat jaringan siluman di luar organ intelijen resmi CIA. Dan dari kedekatannya dengan Ted Shackley inilah, Carlucci dikader sebagai seorang yang mumpuni dalam operasi operasi terselubung dan kerja kerja kotor. 
Dan Carlucci mulai berada dalam pembinaan Shackley dan rekannya Thomas Clines, sejak Carlucci terlibat dalam operasi siluman penggulingan Allende pada 1973. Waktu itu Carlucci masih bekerja di OMB, dan melalui instansi inilah Carlucci menggalang dana untuk biaya operasi siluman menggusur Allende. 
Tak pelak lagi Carlucci merupakan kadernya Ted Shackley. Karena melalui Shackley inilah, setelah direstui oleh George Herbert Walker Bush, kemudian dibawa ke posisi yang cukup strategis sebagai Wakil Direktur CIA pada 1977. 
Rupanya selain Carlucci, Armitage pun, yang semasa Georg W Bush jadi presiden, menjabat Wakil Menlu bidang politik, juga merupakan kadernya Shackley. 
Dalam kapasitasnya sebagai Wakil Direktur CIA inilah, pada 1978, Carlucci terlibat dalam operasi rahasia bekerja sama dengan badan intelijen Pakistan Inter Service Intelligence(ISI), melatih dan mendanai sekitar 100 ribu sukarelawan bersenjata untuk melawan pendudukan Pasukan Uni Soviet. Dan bantuan CIA dan ISI berlangsung hingga 1992.
Dari rekam jejak ini saja, terlihat jelas bahwa Carlucci tahu banyak mengenai anatomi kelompok Mujahidin, dan juga tentunya yang kelak terkenal dengan Al Qaeda, elemen elemen perlawanan Afghanistan binaan CIA, untuk melawan pasukan pendudukan Soviet. Jadi kalau Al Qaeda kemudian dikambing hitamkan atas keterlibatannya dalam pemboman di WTC dan Pentagon, saya kira Carlucci sejatinya merupakan orang yang paling tahu bahwa Al Qaeda merupakan kelompok rekaan dan ciptaan CIA dan Pentagon.
 Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute

Selasa, 10 April 2012

JAS MERAH ala Bung Karno



 
(JAngan Sekali-kali MElupakan sejaRAH) yang dulu diajarkan oleh presiden pertama kita, Ir. Soekarno, kini telah ditanggalkan. Ianya tergantung di balik pintu belakang dekat dapur dan perkakas “kanca wingking” lainnya. Pemilik jas hanya mengingatnya selama 10 menit di tanggal 10 november di setiap tahunnya, ironis! Padahal kerap kali guru PPKn menggembar-gemborkan kepada siswa-siswinya tentang satu kalimat yang dari tahun-ketahun telah digemborkan kepada siswa-siswinya tedahulu. “Anak-anak, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawan,” petuah Sang Guru.

Bisa jadi sistem pengajaran yang hanya mengedepankan ranah kognitif ini menjadi salah satu penyebab lunturnya penghargaan terhadap pahlawan. Siswa-siswi dijejali dengan tanggal-tanggal dan nama-nama tokoh tanpa dijelaskan hakikat dari mempelajari sejarah itu sendiri. Tapi tunggu! Jangan hanya menghakimi pak guru! Media dan kepedulian masyarakat sebenarnya ikut andil besar dalam hal ini.
Berapa banyak media yang menyoroti kepahlawanan seseorang? Sering kali pemberitaan tentang hari pahlawan hanya setakat laporan tentang rutinitas upacara dan acara mengheningkan cipta (dengan penuh kasak-kusuk) yang di lakukan oleh beberapa instansi penting atau orang-orang penting saja, ianya menjadi headline dengan foto-foto orang-orang penting yang sedang mengadakan seremonial peringatan tahunan tersebut dan ya, tentu saja, tak ketinggalan adanya foto-foto beliau-beliau saat acara tabur bunga di makam pahlawan nasional.
Liputan tentang kepahlawanan seseorang demi bertahan untuk hidup dan mengajak orang lain untuk hidup dengan semangat, hanya dimasukkan dalam selingan tak lebih dari lima belas menit, itupun pada waktu yang salah, saat semua orang tengah sibuk bekerja atau tengah sibuk ngiler dalam mimpi tujuh cerita. Selebihnya band-band pesolek dan plagiator versi boy band dan girl band gencar sekali ditayangkan. Hal-hal "ngrasani" yang tak penting seperti halnya ngrasani para selebritis dan politikus mandul yang haus publikasi, justru ditempatkan pada jam-jam istirahat. Weh lha dalah...
Satu lagi, dunia perfilman dan persenitronan yang cenderung bangga dengan menambahkan demit-demit dan setan-setan kurang mutu, plus paha mulus dan maaf, susu montok, dipaksakan untuk menggiring kesalahkaprahan persepsi masyarakat terhadap tontonan wagu untuk menjadi tuntunan. Bah!
Pun rasa kepedulian yang sangat kecil dari kelompok masyarakat, seolah menjadi jawaban bahwa tidak ada keuntungan baik moril maupun materil jika mengenal para pahlawan. Pahlawan hanya dijadikan alat untuk mendapatkan nilai dan menjadi dongeng pengantar tidur. Sikap tidak merasa memiliki ini adalah kesalahan bersama. Pengajaran, media, kepedulian masyarakat juga dari kesalahan system (kepemerintahan yang tidak menunjang) yang pada akhirnya membuat masyarakat kehilangan kebanggaannya terhadap para pahlawan.
Kalau sudah begini, akan semakin banyak anak bangsa ini yang kehilangan identitas nasionalismenya. Semakin banyak anak bangsa kehilangan kebanggaannya sebagai orang Indonesia. Kebanggaan akan kehebatan masa lalu hanyalan imajinasi yang sulit digapai oleh ketiadaan sumber dan media yang membuktikannya. Pendekatan ilmiah seolah mengaburkan sisi-sisi pendekatan sederhana yang harus disampaikan dan dikembangkan sejak dini.
Seyogyanya beberapa pembenahan segera di lakukan. Pembenahan dalam sistem pengajaran dengan, memperkenalkan pahlawan bisa dilakukan dengan berbagai cara secara terintegrasi akan menghasilkan persepsi positif bagi siswa.
Media yang ikut andil dalam menyorot kepahlawanan seseorang yang berbentuk apapun yang bisa menginspirasi dan menumbuhkan rasa cinta pada setiap pembacanya jugapun sebuah tindakan tentang bagaimana melakukan kreatifitas dan kebijakan lokal untuk memperkenalkan para pahlawannya.
Era otonomi daerah harusnya sudah dapat menjangkau sisi-sisi sejarahnya. Kebesaran suatu daerah jangan hanya diukur oleh jumlah bangunan megah, jumlah pusat belanja, dan aneka tempat wisata. Apresisasi terhadap para pahlawan adalah salah satu cara menunjukkan kebesaran suatu daerah, dan ya benar, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya.
Gelar pahlawanpun tak hanya teruntuk pada mereka yang telah gugur di medan laga demi memerdekakan Indonesia tetapi juga kepada sesiapapun yang berhasil membuat perubahan (menuju ke arah yang lebih baik) dan menginspirasi orang lain untuk berbuat suatu kebajikan/kebaikan demi kemajuan bersama. Sudah waktunya setiap daerah memberikan penghargaan kepada orang-orang yang berjasa di daerahnya masing-masing. Penghargaan yang tak harus melulu di tunjukkan dengan uang dan upacara penyerahan piala atau piagam atau penyematan tanda jasa yang tak urung jatuhnya pada pengeluaran sekian dana demi kelangsungan upacara tersebut, penghormatan yang dengan lebih menekankan pada pengakuan akan prestasi dan karya dirinya bagi kemaslahatan umat manusia dalam skala sekecil apapun.
Hal seperti ini (penghormatan kepada pahlawan) masih langka adanya di Indonesia. Lebih banyak yang menginginkan kemerdekaan pribadi dan mendapat gelar, maaf, “pahlawan sesuatu yang beralamat palsu” yang hanya muncul ketika suatu musibah itu berakhir daripada menjadi inspirator atau pemikir atau pelaksana pendongkrak perubahan positif yang tentu saja dalam tanda petik “tanpa pamrih terselubung dan tanpa korupsi”.
Sudah saatnya untuk memakai kembali jas merah kita, di setiap hari setiap saat, setiap musim, setiap mimpi, dan setiap suasana.


Sumber :babungeblog

Senin, 09 April 2012

Hugo Chavez, Presiden Sayang Rakyat



ULFA ILYAS, Berdikari Online
BBM nya termurah di dunia, rumah rakyat pun digratiskan. Pemerintah yang sayang pada rakyatnya: Venezuela Mensubsidi 100% Perumahan Rakyatnya. Di Indonesia, negeri tempat kita berpijak, pemerintah sedang sibuk- sibuknya mendorong penghapusan subsidi untuk rakyat. Alasannya, kata jubir-jubir pemerintah, anggaran subsidi sudah terlampau membebani APBN. Tersinggung dengan pernyataan pemerintah ini, seorang teman saya bergumam, “kok ada negara yang pelit terhadap rakyatnya sendiri”.
Di Venezuela, negeri yang sedang menjalankan revolusi, pemerintah disana sedang gencar-gencarnya mensubsidi rakyat. Yang terbaru, Presiden Hugo Chavez memastikan bahwa setiap keluarga di Venezuela, khususnya yang pendapatan rendah, bisa memiliki rumah dengan disubsidi 100% oleh pemerintah. Ini bukan kebijakan Chavez secara pribadi. Kebijakan ini merupakan perintah dari UU perumahan Venezuela yang baru. Di salah satu pasalnya, tepatnya pasal 22, diatur ketentuan: setiap warga negara berhak mengakses perumahan yang layak dan sesuai dengan standar hidup sehat dan adil.
Di dalam UUD itu juga ada kewajiban negara untuk memberi perlakuan khusus kepada rakyat yang tidak punya pendapatan, pendapatan rendah, atau sektor-sektor sosial yang selama ini terpinggirkan. Juga, di luar itu, ada perlakuan khusus terhadap orang lanjut usia, cacat, dan atau karena status penyakit. UU ini juga menjamin hak masyarakat adat untuk mendapatkan rumah layak.
Selain itu, pada pasal 13 UU perumahan itu terdapat ketentuan tentang standar perumahan yang disebut “layak”: sehat, dilengkapi fasilitas dasar, dekat dengan komunitasnya, dan lain-lain. UU perumahan ini sudah dirancang sejak awal tahun 2011. Saat itu, Chavez menerima proposal dari gerakan yang disebut gerakan “keluarga tanpa rumah”. Setelah melalui pendiskusian panjang, proposal ini dibawa ke Majelis Nasional (parlemen Venezuela). Subsidi Sosial Menurut Chavez, UU perumahan itu hendak mengikuti prinsip sosialis: setiap orang bekerja sesuai kemampuan dan mendapatkan sesuai kebutuhan.
Kebijakan subsidi perumahan ini dikritik oleh oposisi. Di mata oposisi, program semacam itu tidaklah masuk akal. Akan tetapi, Chavez segera membalas, “langkah semacam itu memang tidak mungkin terjadi di dalam sistim kapitalisme, tetapi sangat mungkin terjadi di bawah sosialisme.” “Tentang subsidi,” kata Chavez, “kaum borjuis menganggap langkah itu sangat tidak bertanggung jawab, sebab hanya menghambur-hamburkan uang dan tidak lebih dari langkah populisme.”
Akan tetapi, bagi Chavez, negara dibentuk memang untuk melayani rakyat. Sehingga, apapun yang menjadi kebutuhan rakyat, negara harus siap memberikan pelayanan terbaiknya. Chavez yakin, program semacam ini akan memastikan seluruh keluarga di Venezuela bisa mengakses rumah layak. Sementara itu, menjelang pemilu presiden pada tahun 2012 mendatang, Chavez mengingatkan
agar rakyat mempertahankan kemajuan saat ini. Termasuk dalam persoalan perumahan. Chavez mengingatkan, jika sampai kaum borjuis bisa menang pemilu dan berkuasa di Istana Miraflores (istana kepresidenan), maka program perumahan akan hancur berantakan. Pasalnya, kaum borjuis menuntut agar negara tidak mengatur ekonomi, termasuk soal perumahan. Mereka menuntut agar urusan ini diserahkan kepada swasta. “Jangan lupakan ini compatriot.
Anda tidak akan pernah punya rumah lagi,” kata Chavez, di Istana Miraflores, sesaat sebelum berangkat ke Kuba untuk menjalani pengobatan. Chavez berjanji akan terus melanjutkan program-program sosialnya. Akan tetapi, pada sisi yang lain, ia meminta kepada aparatus negara untuk melakukan efisiensi alias mengurangi belanja- belaja yang tidak penting. Tahun lalu, pemerintahan Chavez sibuk memaksimalkan pembangunan perumahan. Ia bertekad membangun 2 juta rumah hingga 2017. Semua itu untuk memastikan seluruh rakyat Venezuela bisa punya rumah layak. 

Penggeseran Dolar Amerika dari Pasar ALBA



(IRIB Indonesia/MZ)
Menjelang konferensi tingkat tinggi negara-negara anggota Aliansi Bolivaria untuk Negara-Negara Amerika (ALBA), masalah pembentukan mata uang kolektif regional di Amerika Latin kembali mencuat dan menjadi perhatian. Para pemimpin negara-negara ALBA berencana pada sidang mereka Selasa (10/4), akan membahas dua masalah penting yang akan berpengaruh kuat pada posisi global dolar Amerika Serikat. Di satu sisi, menurut rencana negara-negara ALBA mengagendakan pembahasan penetapan mata uang regional baru yang akan diberi nama Sucre dan juga soal reduksi tingkat transaksi dengan dolar. Terealisasinya dua target tersebut, sangat menyakitkan bagi Amerika Serikat karena kawasan itu adalah "halaman belakang" Negeri Paman Sam.
Berbeda dengan setengah abad lalu, dolar Amerika Serikat yang sangat dominan dan berkuasa, kini sebagian negara dunia dan blok-blok regional justru berlomba-lomba menghindari penggunaannya dan bahkan berupaya membentuk mata uang kolektif baru.
Setelah Eropa membentuk mata uang Euro, kini giliran wilayah Amerika Latin yang mengincar penetapan mata uang baru. Meski banyak persyaratan yang harus dipenuhi agar kekuatan mata uang Amerika Latin setingkat dengan Euro, akan tetapi tekad negara-negara di kawasan untuk menggeser dolar Amerika Serikat dari sektor perdagangan mereka membuktikan melemahnya pengaruh Negeri Paman Sam dalam perekonomian global.
Dalam beberapa tahun terakhir, posisi dolar Amerika Serikat semakin merosot bak terjun bebas. Betul bahwa dulu dolar adalah milik sebuah negara terkuat dan terkaya di dunia yang bahkan mampu berperan sebagai kas dunia. Akan tetapi kini, Amerika Serikat telah berubah menjadi negara dengan utang terbanyak di dunia. Jumlah kredit Amerika Serikat telah mencapai 15 trilyun dolar dan defisit bujetnya telah melampaui angka 1,5 trilyun  dolar.
Pada saat yang sama, Amerika Serikat juga mengalami defisit pertukaran perdagangan dengan sebagian besar negara dunia dan rakyat AS alih-alih memproduksi dan memberikan layanan jasa, justru menjadi konsumen produk negara-negara lain.
Dalam kondisi ini, logika ekonomi menggarisbawahi bahwa dolar Amerika Serikat tidak dapat diandalkan untuk menjadi mata uang dalam simpanan devisa negara. Akan tetapi, jika dolar Amerika Serikat tetap digunakan, ini membuktikan peran kekuatan politik dan militer Amerika Serikat dalam mendikte kehendaknya kepada negara-negara dunia.
Poin lainnya adalah bahwa dunia secara gradual menyadari pentingnya untuk segera melepas ketergantungannya terhadap dolar Amerika Serikat. Oleh karena itu, banyak negara yang kini melirik mata uang baru atau menetapkan paket yang terdiri dari sejumlah valuta asing dalam transaksi perdagangan mereka. Paket valuta asing itu adalah untuk mengantisipasi kerugian jika nilai tukar dolar Amerika Serikat anjlok. 

Apa Untungnya Menjadi Anggota PBB?



Persepsi yang ada, sebuah negara, jika tidak menjadi anggota PBB, akan banyak mengalami kesulitan. Bakal terkucil atau dikucilkan. Sebaliknya menjadi anggota PBB seakan-akan berada dalam perkumpulan elit dunia. PBB merupakan sebuah organisasi eksklusif, prestisius dan powerfull . Derajat sebuah bangsa, dengan sendirinya terangkat.Mayoritas negara di dunia menjadi anggota PBB. Fakta inilah yang mungkin membuat banyak negara berpendapat menjadi anggota badan dunia tersebut adalah sangat penting.
Persepsi yang ada, sebuah negara, jika tidak menjadi anggota PBB, akan banyak mengalami kesulitan. Bakal terkucil atau dikucilkan. Sebaliknya menjadi anggota PBB seakan-akan berada dalam perkumpulan elit dunia. PBB merupakan sebuah organisasi eksklusif, prestisius dan powerfull . Derajat sebuah bangsa, dengan sendirinya terangkat.
Faktor ini kemungkinan yang mendorong Palestina ingin menjadi anggota ke -194 badan dunia tersebut. Padahal kalau berfikir lebih rasional, belajar secara kritis dari berbagai peristiwa di dunia, postur PBB tidaklah sehebat seperti yang diperkirakan. Tanpa menjadi anggota PBB-pun sebuah negara akan tetap survive. Tidak ada jaminan postur Palestina otomatis akan jauh lebih baik sekiranya sudah menjadi anggota PBB.
Swiss merupakan contoh faktual. Negara yang terletak di jantung Eropa ini tetap memilih menjadi negara netral di dunia. Swiss tidak menjadi anggota PBB tetapi menyewakan lahannya di Jenewa untuk Markas Besar PBB terbesar setelah New York.
Contoh ekstrim lainnya, Irak ketika di bawah pimpinan Saddam Hussein, berstatus anggota PBB. Tapi ketika Amerika Serikat sudah membenci Saddam Hussein, dia diserang pasukan sekutu, pasukan koalisi dari berbagai negara anggota PBB. Sehingga yang menjatuhkan Saddam Hussein sejatinya adalah pasukan PBB. Wajarkah itu?
Hal yang mirip, terjadi pada Libya. Sekalipun yang menyerang Libya unsur-unsur pasukan NATO, akan tetapi keterlibatan NATO tidak lepas dari peran PBB. Sebab Resolusi PBB yang dijadikan dasar oleh NATO untuk membombardir Libya.
Secara logika, apa yang terjadi pada Libya semakin memperkuat argumen, bahwa menjadi anggota PBB, tidak menjamin akan memperoleh keuntungan. Bahkan keterlibatan NATO, organisasi yang didominasi Amerika Serikat semakin membuktikan, NATO plus PBB atau sebaliknya hanya menjadi semacam alat oleh Amerika Serikat.
Bahkan jika disimak lebih jauh, hampir semua resolusi yang dikeluarkan Dewan Keamanan PBB, didominasi oleh Amerika Serikat. Sehingga situasi ini memberi gambaran bahwa PBB hanya dijadikan sebagai \'alat penekan\' oleh Amerika Serikat.
Resolusi Dewan Keamanan PBB yang memberi sanksi embargo kepada Libya berujung dengan pemboman oleh pesawat-pesawat NATO atas berbagai instalasi penting dan infra struktur negara itu, merupakan pelanggaran moral dan etik serius. PBB didirikan seusai Perang Dunia Kedua dan Perang Pasifik. Tujuannya mencegah terulangnya peperangan serupa.
Itu sebabnya di depan Markas Besar PBB NewYork, sebuah statue atau patung sengaja didirikan di situ. Patung dengan simbol seseorang sedang menembak pistol ke arah depan, tetapi pistol itu tidak bisa berfungsi. Moncong pistol yang sudah melepuh melambangkan, PBB tidak menghendaki penggunaan senjata dalam setiap persoalan, sekalipun hanya dengan pistol atau senjata genggam.
Dalam konteks Palestina, kalaupun diterima menjadi anggota penuh, Palestina tidak otomatis menjadi sebuah negara kuat. Dari kasus Libya, Palestina pun bisa mengalami hal yang sama. Palestina masih terbelah dua Al-Fatah dan Hamas. Yang menjadi Presiden Palestina adalah Mahmoud Abas dari Al-Fatah. Dialah yang tampil dalam perjuangan Palestina menuju ke PBB.
Tetapi secara konstitusional yang memimpin atau berkuasa di Palestina adalah kelompok Hamas, fraksi pemenang Pemilu 2006 yang ditentang serta tidak diakui Amerika Serikat. Bisa terjadi sekalipun Palestina sudah menjadi anggota PBB tetapi bila Amerika Serikat berkehendak, dia pun bisa merekayasa "penghancuran" Palestina seperti yang dilakukannya terhadap Moamme Khadafy (Libya) ataupun Saddam Hussein dari Irak.
Saat ini Palestina didukung oleh sekitar 130 negara. Namun iika timbul peperangan Palestina dengan Israel, belum tentu ke-130 negara konsisten membantu Palestina. Artinya dukungan pada Palestina, tidak tetap dan berkelanjutan. Bisa saja terjadi negara sahabat itu mendukung Palestina, tetapi hanya terbatas pada soal keanggotaan PBB.
Indonesia pun punya pengalaman pahit dengan PBB. Dalam kasus Timor Timur (sekarang Timor Leste), adalah Amerika Serikat yang mendorong Indonesia untuk menganeksasi wilayah bekas jajahan Portugal itu.
Atas dorongan Amerika Serikat tersebut pada Desember 1975 Indonesia mengirim pasukan dan menduduki Timor (Portugis). Kepentingan Washington pada era Perang Dingin itu, Timor harus bebas dari inflitrasi komunis.
Tapi di Dewan Keamanan PBB, Amerika Serikat bersikap pasif. Sebab aneksasi Timor ditentang oleh dua negara komunis terbesar di dunia, Uni Sovyet (Rusia) dan RRC yang sama-sama menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB.
Akibatnya selama 24 tahun menjadi bagian dari wilayah NKRI, Timor Timur tidak pernah mendapat pengakuan PBB. Dan PBB pula yang mendorong diselenggarakannya jajak pendapat di Timor Timur pada tahun 1999. Hasil jajak pendapat akhirnya sangat merugikan Indonesia. Sehingga yang memetik keuntungan atas hadirnya PBB, sebetulnya, hanya Amerika Serikat.
Demikian dominannya Amerika Serikat di PBB, sehingga dosa-dosa Amerika Serikat di berbagai belahan dunia, tidak jarang berubah menjadi "dosa putih". Yang mengubahnya PBB, sebab kalau ada unsur yang sensitif, maka yang ditampilkan bendera PBB. PBB benar-benar digunakan oleh Amerika Serikat.
Oleh sebab itu jika ingin melihat manfaat menjadi anggota PBB, maka peran dan dominasi Amerika Serikat harus dikurangi. Misalnya Markas Besar PBB harus direlokasi ke luar wilayah Amerika Serikat. Kekuatan Hak Veto ditangan lima anggota tetap Dewan Keamanan perlu ditinjau termasuk jumlah anggotanya. Jika tidak, PBB selama-lamanya hanya akan menjadi alat penekan Amerika Serikat.
 [Islam Times/on/inilah.com]