Senin, 27 Februari 2012

Amerika Serikat Di Belakang Kartosoewirjo

Roso Daras

Soekarno & Kartosoewiryo

Nekolim, neo kolonialisme dan imperialisme … kolonialisme dan imperialisme wajah baru, sejatinya sudah dari dulu menjadi musuh bangsa. Bahkan sejak tahun 60-an, Bung Karno sudah memberi peringatan kepada bangsa ini untuk senantiasa waspada. Bukan hanya memberi peringatan, lebih dari itu, Bung Karno juga menunjukkan garis politik nekolim. Karena itu, sebelum mengajak bangsa ini mewaspadi dan membentengi diri dari bahaya nekolim, Bung Karno pun memberi rujukannya.


Atas dasar politik internasional, kata Bung Karno, kita mengetahui garis politik nekolim melalui “kitab-kitab” mereka, yang terbuka bagi siapa saja mempelajarinya. Bung Karno menyebut Maurice West dengan “kitab nekolim” berjudul West The Ambassador, kemudian ada lagi “kitab nekolim” karya Wilfred Buchet The Furtive War. Disebutkan lagi “kitab nekolim” tulisan Andrew Tully C.I.A, Rose The Invisible Government.
Secara gamblang, kita-kitab nekolim itu menyebutkan bahwa Cina (baca: komunisme) harus dieliminasi. Caranya begini, begitu, via selatan, via kanan, via kiri, dan seterusnya. Buku-buku itu memuat secara gamblang bagaimana strategi politik internasional nekolim. Penjajahan gaya baru pasca Perang Dunia II.
Dari sana bangsa ini bisa belajar, mengapa Amerika Serikat begitu membenci Sukarno. Bagaimana Amerika Serikat tidak menghendaki Sukarno (baca: Indonesia) berdekat-dekat dengan Cina. Bahkan Revolusi Indonesia di kala itu disebutnya sebagai the greatest danger spot bagi Nekolim di Asia Tenggara.
Bung Karno seorang nasionalis. Ia adalah poros tengah bagi dunia. Tidak ke kiri, tidak ke kanan. Ideologi Pancasila adalah jaminan tegak berdirnya bangsa dan negara ini. Semua gerakan, tindakan, dan langkah-langkah politik internasional Bung Karno sangat jelas dan transparan. Tidak mau didikte Barat, persetan dengan tekanan komunis. Karena itulah, ia menjadi “sangat berbahaya” di mata Amerika maupun Soviet.
Semua cara menggulingkan Bung Karno sejatinya sudah terjadi sejak awal negara ini berdiri. Komunis memproklamasikan diri. Islam memproklamasikan diri. Anasir Barat juga terus berusaha menancapkan kuku pengaruhnya melalui elite-elite politik ketika itu.
Dalam salah satu amanat, Bung Karno bahkan secara terang-terangan melakukan uit de school klappen, istilah Belanda untuk mengatakan “membuka sebuah rahasia”. Disebutkan, betapa dulu orang Amerika membenci Indonesia, terutama Presiden Sukarno. Ia menjadi bulan-bulanan pers Barat. Lebih dari itu, Bung Karno juga berkali-kali mengalami usah pembunuhan.
Selanjutnya, ia ungkap surat-surat dari Kartosoewirjo kepada para pengikutnya. “Heb ik zelf gelezen, hoor (saya baca sendiri, loo…,” kata Bung Karno. Surat Kartosoewirjo kepada orang-orangnya itu intinya adalah seruan agar terus berjuang (di bawah panji Negara Islam Indonesia) dengan segala macam jalan atau cara. Amerikastaat achter ons. Amerika di belakang kita, dan berusahalan agar supaya Sukarno lenyap dari muka bumi.
Bahkan sebagai presiden, Bung Karno acap menerima surat dari para pengikut Kartosowirjo. Mereka terang-terangan mengancam untuk membunuhnya. Dan sejarah pun sudah mencatat tentang usaha pembunuhan terhadap Sukarno, baik lewat penggranatan di Perguruan Cikini, maupun saat shalat Idul Adha di masjid istana.
Salah satu surat itu menyebutkan, “Sukarno, Amerika berdiri di belakang kami. Meskipun engkau begitu, woordelijk betul, masukleng semut, meskipun engkau masuk lubang semut, satu hari kami akan bisa dapatkan engkau. “Surat-surat itu, saya terima sendiri, saya baca sendiri,” tandas Bung Karno.
Apa yang terbeber di atas pada galibnya merupakan lembar sejarah. Menjadi aktual ketika negeri ini belakangan juga disibukkan dengan isu yang sama, NII. Satu benang merah yang bisa kita tarik dari bentang sejarah era 60-an hingga 2011 ini adalah, kekuatan nekolim masih begitu besar. Mereka terus dan terus berusaha merusak persatuan bangsa. “Indonesia pecah” adalah target utama nekolim.
Tahapan ke arah sana sudah berhasil mereka lakukan. Adanya undang-undang otonomi daerah yang menimbulkan sentimen kedaerahan semakin kental di negeri ini. Sistem demokrasi ala Barat, one man one vote melalui sistem pemilihan langsung, sesungguhnya adalah penggerogotan terhadap asas Pancasila.
Alhasil, kisah perseteruan kawan yang menjadi lawan antara Sukarno dan Kartosoewirjo, sesungguhnya bukanlah sebuah kisah sejarah yang berdiri sendiri, melainkan sebuah mata rantai yang bahkan masih aktual hingga hari ini. Tidak heran jika Bung Karno dalam berbagai kesempatan mengingatkan bangsanya untuk “jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”. Hanya bangsa yang tidak melupakan sejarah, akan menjadi bangsa yang kokoh. Sejarah adalah hikmah.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar