Sabtu, 10 Maret 2012

Konspirasi IMF atas Pembentukan New World Order



(“IMF (the lnternational Monetery Fund) dan Bank Dunia adalah lembaga dana moneter intemasional yang dalam missinya disebutkan untuk memberikan bantuan kepada negara-negara yang tengah mengalami kesulitan likuiditas keuangan atau menghadapi masalah moneter. Dalam kenyataannya IMF, dan Bank Dunia, yang saham mayoritasnya sebesar 51 % dikuasai oleh departemen keuangan Amerika Serikat. John Reed, CEO Citigroup dan Sandy Weil, CEO Traveler’s Group., mengucapkan selamat datang kepada Robert Rubin, mantan menteri keuangan di era presiden BillClinton. Rubin bergabung dengan Citigroup pada bulan Oktober 1999″).
Yang telah kita ketahui ialah bagian terbesar dari saham the Fed dikuasai oleh para bankir raksasa Yahudi. Dengan uang-kertas dolar yang ongkos cetaknya, tidak peduli berapa pun nilai denominasinya di lembaran itu, hanyalah 3 sen dolar per lembar, praktis the Fed memiliki kekuasaan atas keuangan dunia hampir-hampir tanpa biaya. Meski ada beberapa kekeliruan pandangan tentang IMF dan Bank Dunia, tetapi tidak dapat disangkal bahwa keduanya, baik IMF maupun Bank Dunia, merupakan dua instrumen kekuasaan yang digunakan oleh Barat (baca : kelompok Zionis) untuk menghancurkan negara-negara yang berdaulat agar menjadi tidak lebih daripada sekedar teritori (ekonomi-keuangan) mereka, yang pada gilirannya akan kehilangan kedaulatan politik mereka.
Tatkala suatu missi IMF memasuki suatu negara, mereka sebenarnya tidak lain menjalankan rancangan untuk penghancuran lembaga-lembaga sosial-ekonomi di balik dalih persyaratan untuk meminjamkan uang. Menurut Joseph Stiglitz, mantan Kepala Tim Ekonom Bank Dunia, IMF biasanya mengembangkan program empat langkah.
Langkah pertama adalah program’ Privatisasi’ , yang menurut Stiglitz lebih tepat disebut dengan nama program ‘Penyuapan’. Pada program ini perusahaan-perusahaan milik negara penerima bantuan IMF harus dijual kepada swasta dengan alasan untuk mendapatkan dana tunai segar. Pada tahapan ini menurut Stiglitz, “Kita bisa melihat bagaimana mata para pejabat keuangan di negara penerima bantuan itu terbelalak, tatkala mengetahui prospek ‘pemberian’ 10% komisi beberapa milyar dolar yang akan dibayarkan langsung ke rekening pribadi yang bersangkutan di suatu bank Swiss, yang diambilkan dari harga penjualan aset nasional mereka tadi”.
Sebagai contoh, dimana pemerintah Amerika Serikat (harap dicatat departemen luar negeri, departemen pertahanan, dan departemen keuangan, sepenuhnya dikuasai oleh orang-orang Yahudi), terlibat dalam kasus “penyuapan” terbesar yang pernah ada, pada program “privatisasi” di Rusia pada tahun 1995, ketika pemerintah Amerika Serikat (Yahudi) menghendaki Yeltsin terpilih lagi. “Kami tidak peduli kalau pemilihan itu adalah pemilihan yang korup. Kami ingin uang itu sampai ke tangan Yeltsin melalui ‘bawah-meja’ untuk keperluan kampanyenya”. Yang paling menyakitkan hati bagi Stiglitz bahwa oligarchie Rusia yang didukung oleh Amerika Serikat itu menyapu habis aset industri BUMN Rusia dengan akibat, korupsi tersebul memotong pendapatan nasional Rusia tinggal hampir separuhnya saja yang menyebabkan depresi ekonomi dan kelaparan.
Sesudah program “penyuapan” itu langkah kedua IMF/Bank Dunia adalah rencana “satu-ukuran-(yang) pas – untuk menyelamatkan ekonomi anda” (‘all size – economic solution ‘), yaitu “Liberalisasi Pasar Modal”. Dalam teorinya deregulasi pasar modal memungkinkan modal investasi mengalir keluar-masuk. Namun, dengan ditingkatkannya pemasukan modal investasi dari luar, pada gilirannya akan menyebabkan pengurasan cadangan devisa negara yang bersangkutan untuk mendatangkan aset melalui impor dari negara-negara yang ditunjuk oleh IMP. Malangnya lagi, dalam kasus Indonesia dan Brazil, lagi-lagi menurut Stiglitz, modal itu hanya keluar dan keluar, tidak pernah balik.
Tatkala suatu missi IMF memasuki suatu negara, mereka sebenarnya tidak lain menjalankan rancangan untuk penghancuran lembaga-lembaga sosial-ekonomi di balik dalih persyaratan untuk meminjamkan uang.
Stiglitz menyebut program “privatisasi” ini sebagai daur “uang panas”. Dana tunai dari luar masuk untuk spekulasi di bidang real-estate dan valuta, kemudian hengkang bila ada tanda-tanda akan ada kerusuhan. Akibat dari yang pertama di atas dan kedua ini, cadangan devisa negara bisa habis menguap dalam ukuran hari, bahkan jam. Dan bilamana hal itu sampai terjadi, maka untuk merayu kaum spekulan untuk mau mengembalikan dana modal nasional, IMF menuntut negara-negara debetor ini menaikkan suku-bunga banknya menjadi 30%, 50%, hahkan 80%. Ketetapan itu diikuti dengan persyaratan kebijakan deregulasi peraturan perbankan, diberlakukannya kebijakan uang ketat (‘austerity policies’), dihentikannya subsidi pada bidang-bidang yang berkaitan dengan kebutuhan sosial-ekonomi masyarakat. Pada negara-negara yang sedang berkembang, dimana program pcmbangunan bagian terbesar masih menjadi tanggung-jawab negara, pemberlakuan politik uang ketat berdampak buruk terhadap kehidupan sektor riel. Penghentian subsidi terhadap sektor strategis seperti pangan, bahan bakar, transportasi, pendidikan, dan sebagainya selalu berakhir dengan krisis politik di negara-negara yang bersangkutan.

“Hasilnya bisa diprediksi”, kata Stiglitz mengomentari tentang gelombang pasang uang panas di Asia dan Amerika Latin. “Suku bunga yang tinggi menghancurkan nilai properti, memangsa produksi industri, dan mengeringkan dana nasional”.
Pemasukan modal investasi dari luar, meskipun tampaknya membantu untuk memperluas kesempatan kerja, dalam kenyataannya persyaratan itu telah membunuh usaha bumiputera setempat, yang pada gilirannya jatuh bergelimpangan, karena belum mampu bersaing khususnya untuk pemasaran. Acapkali kebijakan seperti itu berakibat dengan penutupan pabrik-pabrik, karena pemerintah tuan-rumah dan sektor swasta domestik tidak cukup memiliki modal. Contoh paling mutakhir adalah bangkrutnya ekonomi Argentina pada bulan Januari 2002 yang menimbulkan situasi kekacauan politik dan sosial.
Pada tahapan ini IMF menarik negara debetor yang tengah megap-megap itu ke langkah ketiga, yaitu “Pricing – Penentuan Harga Sesuai Pasar”, sebuah istilah yang muluk untuk program menaikkan harga komoditas strategis seperti pangan, air bersih, dan BBM. Tahapan ini sudah dapat diprediksi akan menuju ke langkah tiga-setengah, yaitu apa yang dinamakan oleh Stiglitz, “Kerusuhan IMF”.
“Kerusuhan hasil ciptaan IMF” itu sudah bisa diprediksikan dan sangat menyakitkan hati. Tatkala suatu negara sudah jatuh pingsan (IMF) akan mengambil keuntungan dan memeras sampai tetes darah terakhir yang masih ada pada negara debetor. Suhu akan terus meningkat, dan pada saatnya ketel itu meledak”, seperti halnya ketika IMF, menurut Stiglitz, mengharuskan menghapus subsidi untuk beras dan BBM bagi kaum miskin di Indonesia pada tahun 1998. Indonesia meledak dengan kerusuhan. Dan masih ada contoh kasus lain – kerusuhan di Bolivia, sehubungan dengan kenaikan tarif air bersih pada tahun 2001, dan pada bulan Februari 2002 kerusuhan di Ekuador karena kenaikan harga gas dapur yang diperintahkan oleh Bank Dunia. Kesan yang ada ialah kerusuhan itu memang direncanakan.
Dan memang begitu. Apa yang tidak diketahui Stiglitz, bahwa BBC dan koran the Observer, London, berhasil memperoleh beberapa dokumen dari kalangan dalam Bank Dunia, yang diberi cap ‘Confidential’, ‘Restricted’, dan ‘Not to be Disclosed’. Salah satu di antara dokumen-dokumen itu adalah apa yang disebut ‘Interim Country Assistance Strategy’ (‘Strategi Bantuan Sementara’) untuk Ekuador. Di dalam dokumen itu Bank Dunia beberapa kali menjelaskan – dengan ketepatan yang mendirikan bulu roma – bahwa mereka mengharapkan rencana mereka akan menyalakan “kerusuhan sosial”, begitu istilah birokrasi terhadap negara yang terbakar.
Hal itu tidak perlu membuat kaget. Laporan rahasia itu mencatat, rencana itu dimaksudkan agar nilai mata-uang Ekuador dengan dolar Amerika akan mendorong 51 % dari penduduk Ekuador agar berada di bawah garis kemiskinan. Rencana “Bantuan” Bank Dunia di dalam laporan itu semata-mata menyeru untuk “meredakan tuntutan dan penderitaan rakyat” dengan “penyelesaian politik” -tanpa menyinggung aspek ekonomi dan harga-harga yang kian melambung
“Kerusuhan IMF” (yang dimaksudkan dengan ‘kerusuhan’ disini ialah demonstrasi damai yang dibubarkan dengan gas air-mata, peluru, dan tank), menyebabkan panik baru yang berakibat dengan pelarian modal (‘capital flight’) dan kebangkrutan pemerintah setempat. Kebakaran ekonomi ini mempunyai sisi terangnya – untuk perusahaan perusahaan asing, yang yang mendapatkan kesempatan menyabet sisa aset negara yang sedang kacau-balau itu, seperti konsesi pertambangan, perbankan, perkebunan, dan lain sebagainya dengan harga obral-besar-besaran. Contoh ini terlihat pada kepanikan pemerintah Indonesia yang melakukan “divestasi” degan harga obral-obralan pada BCA (‘Bank Central Asia’), bank paling berhasil di Indonesia, pabrik semen, perkebunan kelapa sawlt, bisnis telekomunikasi, dan sebagainya, yang kesemuanya sebenamya merupakan “tambang emas” (‘money-machines’) bagi Indonesia.
Stiglitz mencatat bahwa IMF dan Bank Dunia bukanlah penganut yang tidak punya perasaan terhadap ekonomi pasar. Pada waktu yang sama IMF menghentikan Indonesia untuk memberi subsidi pangan. Menurut IMF, “ketika bank-bank membutuhkan bail-out, intervensi (terhadap pasar) dapat diterima”. IMF menumpahkan berpuluh milyar dolar untuk menyelamatkan para finansier Indonesia dengan tambahan pinjaman dana dari bank-bank Amenka dan Eropa.
Suatu pola muncul. Dalam sistem ini banyak yang rugi, tetapi ada satu pemenang : yaitu, bank-bank Barat dan departemen keuangan Amerika Serikat, yang menghasilkan keuntungan besar dari celengan modal internasional ini. Stiglitz menceriterakan pengalaman pertemuan pertamanya, ketika baru menjabat di Bank Dunia, dengan presiden baru Etiopia dalam rangka pemilihan umum demokratis yang pertama di negeri itu.
Bank Dunia dan IMF menginstruksikan Etiopia untuk mengalihkan uang bantuan ke rekening cadangannya di departemen keuangan Amerika Serikat, yang akan memberikan bunga 4%, sementara Etiopia meminjam kepada Amerika Serikat dengan bunga 12% untuk memberi makan rakyatnya. Presiden Etiopia yang baru memohon kepada Stiglitz agar uang bantuan itu dapat digunakan sendiri untuk membangun negerinya. Tetapi tidak, uang hasil rampokan itu langsung masuk ke kas departemen keuangan Amerika Serikat di Washington.
Kini kita sampai ke tahap keempat yang oleh IMF dan Bank Dunia diberi nama “Strategi Pengentasan Kemiskinan”: yaitu, Pasar Bebas. Yang dimaksud ialah ‘pasar bebas’ berdasarkan aturan dari WTO (‘World Trade Organization’ – Organisasi Perdagangan Dunia’) dan Bank Dunia. Stiglitz, orang dalam Bank Dunia itu menyamakan ‘pasar bebas’ dengan ‘perang candu’. “Konsep itu bertujuan membuka pasar”, katanya. “Persis seperti halnya pada abad ke-19, negara-negara Barat dan Amerika Serikat menghancurkan rintangan yang ada bagi perdagangan di Cina. Sekarang hal yang sama dilakukan untuk membuka pasar agar mereka dapat berdagang di Asia, Amerika Latin dan Afrika, sementara negara-negara Barat itu memasang tembok yang tinggi terhadap impor hasil pertanian dan produk manufaktur dari Dunia Ketiga”.
Sebagai akibat program’ pasar-bebas’. Para pengusaha kapitalis lokal terpaksa meminjam pada suku-bunga sampai 60 % dari bank lokal dan mereka harus bersaing dengan barang-barang impor dari Amerika Serikat atau Eropa, dimana suku-bunga berkisar tidak lebih dari antara 6 – 7 %. Program semacam ini berakibat mematikan kaum kapitalis lokal
Dalam ‘Perang Candu’, negara-negara Barat mengerahkan blokade militer untuk memaksa Cina membuka pasamya bagi perdagangan mereka yang tidak seimbang. Sekarang Bank Dunia dapat memerintahkan blokade keuangan, yang sama efektifnya seperti pada ‘Perang Candu’ – dan sarna mematikannya.
Stiglitz khususnya sangat emosional ketika membahas tentang pcrjanjian hak-hak intelektual (dalam bahasa Inggeris disingkat dcngan TRIPS). Menurut mantan Ketua Tim Ekonom Bank Dunia itu, ‘Tata Dunia Baru’ (‘Novus Ordo Seclorum’) itu pada telah “menjatuhkan vonis hukuman mati kepada rakyat sedunia”, dengan cara memberlakukan tarif dan “upeti” yang tidak masuk akal yang harus dibayarkan kepada perusahaan obat-obatan yang punya merk. “Mereka tidak peduli”, kata profesor yang bekerja-sama dl bidang urusan kredit bank dengan perusahaan-perusahaan obat-obatan itu, “apakah orang akan hidup atau mati”.
Sebagian besar publik, terutama pemerintahan negara-negara di Dunia Ketiga masih memandang IMF dan Bank Dunia sebagai lembaga dengan wajah yang manusiawi, seperti yang dinyatakan dalam charter-nya, “turut-serta dalam upaya menghapuskan kemiskinan”. Dalam kenyataannya, IMF lebih sukses berperan dalam menciptakan kemiskinan negara-negara yang sedang berkembang, ketimbang mengatasi kemiskinan yang mereka derita. Kalau ada yang menyangka ada konflik antara keduanya, antara IMF dan Bank Dunia, maka perkiraan itu keliru sekali.
Harap disini jangan sampai dibuat bingung ketika terjadi campur-aduk dalam pembicaraan mengnai IMF, Bank Dunia, dan WTO. Lembaga-Iembaga itu sebenamya tidak lain hanyalah topeng yang dapat dipertukarkan yang berasal dari suatu sistem kekuasaan yang tunggal, kaum Zionis, sesuai keperluannya. Mereka terhubung satu dengan lainnya melalui suatu sistem yang mereka sebut “pemicu”.
Ketika suatu negara memohon kredit kepada Bank Dunia untuk keperluan pendidikan, misalnya, maka permohonan tadi akan “memicu” suatu kebutuhan untuk menerima ‘persyaratan’ apa pun – yang mereka tetapkan rata-rata sebanyak 111 poin untuk setiap negara – yang ditetapkan secara sepihak oleh Bank Dunia dan IMF. Menurut Stiglitz, “IMF mengharuskan negara debitur menerima kebijakan perdagangan yang lebih bersifat punitif ketimbang aturan-aturan dari WTO”.1
IMF dan Bank Dunia memang mempunyai misi yang sarna di Dunia Ketiga. Kenyataannya sederhana: Wall Street berdiri di belakang kedua lembaga ini. Mereka dijalankan oleh para bankir, umumnya bankir Yahudi. Harus diingat, mereka adalah pebisnis uang dan profiteur, bukan sosiolog anthropolog, apalagi kaum philanthropis.
Selain itu yang tidak banyak disadari orang ialah ‘pasar bebas’ pada hakekatnya adalah saudara kandung dari perang. Yang lebih penting lagi, masyarakat Dunia Ketiga pada umumnya gagal melihat hubungan erat antara gagasan pasar-bebas dengan kepentingan negara-neganl Barat. Misalnya, sedikit sekali organisasi yang mengkritik lembaga-lembaga produk Bretton Woods itu, dibandingkan dengan suara yang menentang serangan Amerika Serikat terhadap Afghanistan, misalnya mereka tidak menyuarakannya di Seattle (ketika konperensi APEC), dan juga tidak melakukannya di Washington, DC.
Harap disini jangan sampai dibuat bingung ketika terjadi campur-aduk dalam pembicaraan mengnai IMF, Bank Dunia, dan WTO. Lembaga-Iembaga itu sebenamya tidak lain hanyalah topeng yang dapat dipertukarkan yang berasal dari suatu sistem kekuasaan yang tunggal, kaum Zionis, sesuai keperluannya. Mereka terhubung satu dengan lainnya melalui suatu sistem yang mereka sebut “pemicu”.
Mereka berkampanye menentang ‘pasar bebas’, menentang IMF, dan memihak kepada kampanye Jubilee untuk menghapus hutang Dunia Ketiga, tetapi tidak terhadap peperangan. ‘Pasar bebas’ dan perang berjalan bergandengan tangan. Sarna seperti halnya negara-negara Barat, seperti dikatakan Stiglitz di atas tadi, pada abad ke-19 memaksa Cina melakukan “perdagangan bebas opium”, dan hal itu masih berlaku sekarang. Kalau dalam abad ke-19 negara-negara Barat mengeluarkan dalih “memberantas perompakan di laut” untuk menutup-nutupi agenda kolonialisme dan imperialisme mereka, dewasa ini Amerika Serikat berdalih “memerangi terorisme internasional” untuk mendapatkan konsesi pemasangan pipa minyaknya melalui wilayah Afghanistan.

Koordinasi antara negara-negara Barat dengan ‘pasar-bebas’ sangat jelas. Bisa dilihat contoh di Kosovo. IMF dan Bank Dunia telah merancang rencana ekonomi pasca-perang, termasuk ‘pasar-bebas’, bahkan jauh hari sebelum jatuhnya born pertama. Keduanya bergandengan tangan. Jika suatu negara menolak intervensi IMF, maka negara-negara Barat, dengan intervensi politik atau mengerahkan berbagai badan-badan rahasia dan kegiatan subversif, akan masuk. Tugas mereka menciptakan iklim yang kondusif bagi program-program IMF dan negara-negara Barat (baca: Zionis) untuk akhirnya dapat dilaksanakan di negara-negara tersebut. Negara seperti lndonesia menjadi contoh betapa program pinjaman hutang IMF makin menambah krisis yang memang sudah parah.
Negara-negara yang menerima apa yang disebut dengan nama “bantuan pinjaman” IMF, seperti Bulgaria dan Romania, termasuk Indonesia, mungkin tidak mendapatkan ‘carpet bombing’, tetapi mereka dihancurkan hanya dengan satu goresan pena. Bahasa badan tidak dapat menutup-nutupi pikiran yang ada di benak seseorang. Tentang hal itu, menarik memperhatikan keangkuhan gaya Camdessus, direktur eksekutif IMF untuk Asia-Pasifik, ketika ia menyaksikan presiden Republik Indonesia, Soeharto, terpaksa menanda-tangani Memorandum of Understanding dalam rangka memohon bantuan pinjaman IMF untuk Indonesia pada tahun 1998. Memorandum itu ternyata merupakan awal dari agenda penghancuran ekonomi Indonesia yang memang sudah terpuruk. Di Bulgaria IMF melakukan reformasi yang sangat drastis. IMF menghancurkan kondisi sosial : pensiun dipotong, pabrik-pabrik terpaksa ditutup, ada barang-barang produk pabrik yang di-dumping, penghapusan subsidi perawatan kesehatan dan subsidi transportasi secara cuma-cuma bagi rakyat, dan sebagainya.
Keprihatinan Stiglitz tentang rencana-rencana dari IMF dan Bank Dunia yang dirumuskan secara rahasia dan didorong oleh suatu ideologi dari kaum absolutis, dan yang tidak membuka peluang untuk diskusi atau penolakan. Meski negara-negara Barat mendorong pemilihan umum di seluruh negara-negara yang sedang berkembang, apa yang mereka sebut “Program Pengentasan Kemiskinan” sebenamya “merongrong demokrasi”.
Dan program itu temyata tidak jalan. Produktivitas negara-negara Afrika Hitam di bawah bimbingan tangan “bantuan” struktural, IMF gagal total dan programnya hancur berantakan. Apakah ada negara-negara debitur yang mampu menghindari malapetaka ini ? “Ada”, kata Stiglitz seraya menunjuk Botswana. Apa yang mereka lakukan? “Mereka menghardik IMF untuk berkemas-kemas meninggalkan negeri itu”.
Lalu bagaimana cara membantu negara-negara yang sedang berkembang itu. Stiglitz mengusulkan adanya rencana land-reform yang radikal, serangan langsung ke jantung “pertuan-tanahan”, pada harga sewa yang keterlaluan, yang dikenakan oleh oligarki pemilik tanah di seluruh dunia, lazimnya tidak kurang dari 50% dari hasil panen dari si penyewa tanah (sistem “paron”).
Sebagai salah seorang mantan pejabat tinggi di Bank Dunia, apakah gagasan ini pemah diusulkan oleh Stiglitz? Kalau anda menantang (kepemilikan tanah), hal itu niscaya akan menimbulkan perubahan pada elit yang berkuasa. Karenanya, soal itu tidak masuk prioritas utama mereka”. Setiap kali solusi dengan konsep ‘pasar bebas’ menemui kegagalan, menurut Stiglitz, IMF tidak lain hanya menuntut kebijakan “pasar yang lebih bebas”.
“Halnya sama dengan di masa Abad Pertengahan”, kata Stiglitz. “Tatkala sang pasien meninggal, mereka berkata, ‘Ia terlalu banyak kehilangan darah, sebenarnya darahnya masih ada sedikit di tubuhnya’
Bantuan Ekonomi dan Kolonialisasi Gaya-Baru
Di Asia Tengah, Balkan, dan Kaukasus, reformasi dan program privatisasi dari IMF dan Bank Dunia berjalan bergandengan tang an bukan hanya dengan agenda negara-negara Barat, tetapi juga dengan operasi intelijen CIA, yang dilakukan secara tertutup. Pengelolaan lembaga perang dan ekonomi dilakukan dengan interface satu dengan yang lain pada peringkat global.

Jadi pada saat ini berbagai negara dilemahkan dengan konflik-konflik regional dan domestik yang dibiayai oleh dana keuangan Barat, baik secara terbuka maupun seeara tertutup. Kosovo Liberation Army, Aliansi Utara di Afghanistan, (GAM di Aceh ?), hanyalah sekian contoh dari beberapa kasus, bagaimana gerakan insurgensi di suatu negara dibiayai oleh Barat. Konflik-konflik yang dimanipulasi di Kosovo, Afghanistan, Aceh, dan lain-lain, terjadi karena terdapat sumber daya alam dalam jumlah yang strategis, minyak dan gas bumi, ladang ganja dan obat bius, yang oleh CIA dikelola secara tertutup.
Pada gilirannya kepentingan ekonomi ini bermuara ke politik luar negeri resmi Ameriksa Serikat. Akhimya ujung-ujungnya ke IMF, Bank Dunia, dan bank-bank regional dan investor swasta. Perang Afghanistan adalah contoh nyata adanya mata-rantai yang kuat antara agenda untuk untuk menguasai minyak yang ada di perut bumi Cekung Kaspia (Caspian Basin) dengan rancangan membangun hegemoni politik di Asia Tengah dalam rangka mengamankan kepentingan minyak dan gas bumi bumi tersebut.
Peristiwa serangan 11 September 2001 terhadap gedung-kembar WTC New York yang menewaskan lebih-kurang 6.000 jiwa adalah suatu rekayasa politik yang luar biasa kejamnya yang dilakukan oleh kelompok ‘rajawali’ Yahudi di bawah pimpinan Paul Wolfowitz di departemen pertahanan Amerika Serikat, yang bekerja-sama erat dengan dinas rahasia Israel Mossad, untuk mendapatkan dalih “menghukum” Afghanistan sebagai “kambing hitam”-nya.
Semuanya berkaitan sebagai suatu mata rantai. Kecurigaan bahwa serangan terhadap gedung-kembar itu merupakan sebuah rekayasa sangat rahasia oleh pihak Amerika Serikat sendiri yang dibantu oleh badan intelijen Israel Mossad, bukan hanya dikeluarkan oleh Alexander Gordon, seorang analis keamanan Amerika Serikat, tetapi juga dari ulasan koran the Guardian dan BBC London, kantor berita teve Amerika ‘Fox News’, Vision TV Kanada, koran the Washington Post, bahkan datang dari pemerintah Jerman, sekutu Amerika Serikat sendiri.
Mari dicermati institusi global ini: ada sistem PBB dengan missi konon untuk “memelihara perdamaian” yang pembentukannya diprakarsai oleh tokoh-tokoh Zionis; mereka memainkan perannya melalui negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat. Dari situ ada IMF, Bank Dunia, dan bank-bank pembangunan regional seperti ADB, Asian Development Bank, dan sebagainya. Di Eropa ada the European Bank for Reconstruction and Development, serta WTO. Lembaga-lembaga ini merupakan kekuatan utama mereka.
Kadangkala perang diperlukan untuk menciptakan suatu kondisi yang kondusif, dan kemudian lembaga-lembaga ekonomi produk kaum Zionis itu akan masuk untuk memberesi keadaan yang berantakan. Sebagai misal, sesudah pemerintahan Taliban di Afghanistan jatuh, kelompok bankir Yahudi ini mengusulkan dibentuknya semaeam ‘Marshall Plan’ untuk “membangun kembali” infra-struktur negeri itu yang sudah hancur berantakan.
Atau.sebaliknya, IMF sendiri yang melakukan destabilisasi ekonomi seperti yang mereka lakukan di Indonesia. Mereka bersikeras menghapus subsidi pada berbagai kebutuhan publik di negara itu. Kini kebijakan itu berhasil melumpuhkan sebuah negara sebesar Indonesia yang terdiri lebih dari 17.000 pulau, dan berakhir dengan keterpurukan ekonomi yang kacau-balau. Keadaan geografinya dan persebaran sumber daya-alamnya yang tidak merata membuat ekonomi nasionalnya bukan menjadi sumber kesejahteraan, tetapi berubah menjadi suatu malapetaka. IMF meninggalkan kondisi ekonomi-keuangan negara kepulauan ini dalam keadaan berantakan dengan cara yang belum pernah dihadapi oleh orang Indonesia.
Apa yang telah diperbuat oleh IMF di Indonesia? Mereka bersikeras memotong uang yang seharusnya ditujukan untuk mensubsidi pemerintahan di daerah, misalnya di bidang pendidikan, dan sebagainya. Kebetulan mereka melakukan hal yang serupa di Brazil. Mereka mendestabilisasikan suatu negara, karena untuk menguasai suatu negara harus ada kesamaan fiskal, suatu sistem untuk transfer fiskal. Jadi di suatu tempat seperti di Indonesia, mereka mendorong sctiap daerah rrielalui kebijakan otonomi daerah yang infra-strukturnya tidak disiapkan lebih dahulu, masing-masing akhirnya berperilaku menjadi semacam negara bagian.
Jadi pada saat ini berbagai negara dilemahkan dengan konflik-konflik regional dan domestik yang dibiayai oleh dana keuangan Barat, baik secara terbuka maupun seeara tertutup. Kosovo Liberation Army, Aliansi Utara di Afghanistan, (GAM di Aceh ?), hanyalah sekian contoh dari beberapa kasus, bagaimana gerakan insurgensi di suatu negara dibiayai oleh Barat. Konflik-konflik yang dimanipulasi di Kosovo, Afghanistan, Aceh, dan lain-lain, terjadi karena terdapat sumber daya alam dalam jumlah yang strategis, minyak dan gas bumi, ladang ganja dan obat bius, yang oleh CIA dikelola secara tertutup.
Dan tentu saja gagasan untuk masing-masing berdiri-sendiri menjadi sangat menarik bagi berbagai kelompok etnik di daerah yang berbeda-beda. Tentu saja mereka (yakni perancangnya di IMF) sadar sekali tentang hal ini – mereka melakukannya berulang-kali. Mereka hanya mendorong saja gagasan yang sudah ada. Hal itu terjadi di Yugoslavia, terjadi di Brazil; hal itu bahkan terjadi di bekas Uni Sovyet, dimana daerah-daerah dilepaskan begitu saja, karena Moskow tidak mampu memberi mereka uang. Kalau hal itu terjadi dimana rakyat dimelaratkan, mereka mulai saling membunuh. Terjadi pada setiap kelompok, pada kelompok-kelompok etnik, agama, dan kedaerahan, seperti di Indonesia.

Namun hal yang sarna bisa saja terjadi, seperti di Somalia, dimana tidak ada kelompok-kelompok etnik, tetapi skema IMF tetap berjalan. Tidaklah diperlukan adanya masyarakat multi-etnik untuk agenda memecah belah suatu bangsa, untuk melakukan Balkanisasi. Skema ini didasarkan pada agenda ‘rekolonialisasi’.
Negara dan ‘Teritori’
Negara-negara diubah menjadi teritori-teritori, persisnya koloni gaya baru. Apa beda negara dengan teritori ? Negara memiliki suatu pemerintahan, memiliki lembaga-lembaganya, ada anggaran, negara memiliki perbatasan ekonomi, dan memiliki lembaga seperti beacukai

Sebuah teritori, hanya memiliki pemerintahan secara nominal yang dikendalikan oleh IMF Tidak ada lembaga-lembaga yang otonom dan berdaulat, baik dari pemerintahan maupun swasta, karena telah diperintahkan tutup oleh IMF dan Bank Dunia. Tidak ada perbatasan, karena WTO telah memerintahkan pasar-bebas. Tidak ada industri atau pertanian, karena sektor-sektor ini telah didestabilisasikan sebagai akibat meningkatnya suku-bunga sampai 60 % per annum, dan hal itu akibat dari program IMF juga. Angka 60% itu bukan mengada-ada; di Brazil angka itu lebih tinggi. Pada tahun 1998 Indonesia mengalami hal serupa, Botswana menghadapi hal yang sama. Sukubunga seperti itu luar biasa tingginya.
Untuk mencapai hal itu IMF memasang batas ceiling kredit. Sehingga orang tidak mungkin mendapatkari pinjaman bank; bank-bank tidak mampu menjalankan peran intermediasi mereka keadaan suku-bunga meningkat, dan tentu saja hal itu secara pasti membunuh ekonomi setempat. Di Indonesia, IMF menuntut pelaksanaan kebijakan uang-ketat (‘austerity program’) dengan menaikkan suku-bunga obligasi bank sentral menjadi 17%, sehingga mendorong bank-bank komersial menaikkan suku-bunga kredit mereka. Untuk menambah keadaan menjadi lebih parah bank sentral Indonesia menuntut tiap bank yang ingin tetap hidup harus memiliki CAR (capital adequacy ratio) minimal 8%. Akibatnya bank-bank Indonesia berlomba-lomba mencari dana masyarakat, ketimbang menjalankan peran intermediasi mereka untuk mendorong kembali hidupnya ekonomi di sektor riel.
Untuk melawannya tidak mungkin dengan suatu gerakan topik tunggal. Tidaklah mungkin memfokuskan semata-mata pada lembaga-lembaga Bretton Woods, atau WTO, atau terhadap isu lingkungan, atau perekayasaan genetik. Perjuangan melawan “kolonialisme gayabaru” itu harus dalam hubungan totalitas. Tatkala menggunakan totalitas orang akan mampu melihat hubungan penggunaan kekuatan.
Di bawah sistem ekonomi seperti yang ada sekarang ini terhampar sendi-sendi orde kapitalis yang tertutup: industrial-military complex (catat; embargo Amerika Serikat terhadap peralatan militer Indonesia), kegiatan apparatus intelijen, dan kerja-sama dengan dan pengerahan kejahatan terorganisasikan (organized crimes), termasuk perdagangan narkotika untuk mendanai konflik-konflik internal di suatu negara dalam rangka membukakan pintu negara-negara Dunia Ketiga tersebut ke bawah kontrol komplotan Barat-Zionis.
Kini zamannya telah beralih dari gunboat diplomacy ke missile diplomacy. Sebenarnya istilah missile diplomacy tidaklah tepat. Yang ada adalah pemboman secara kasar dan primitif, seperti halnya ancaman dari utusan presiden Bush kepada pemerintahan Emirat Islam Afghanistan pada tahun 1999, tatkala Bush menghendaki tampilnya kembali bekas raja Mohammad Zahir Shah di Afghanistan sebagai tokoh pimpinan pemerintahan boneka, dan konsesi eksploitasi atas minyak dan gas bumi Afghanistan, serta pemasangan lintas pipa-minyak dari Turkmenistan ke Pakistan melalui wilayah Afghanistan dengan ancaman kasar, “Kalau anda setuju kami akan hamparkan ‘carpet of gold’, tetapi bilamana tidak, kami akan berikan anda ‘carpet-bombing’ “. Taliban menolak, dan mereka mendapatkan ganjaran, ‘carpet-bombing’ yang dijanjikan itu.
Money-Politics dan Penguasaan Elit Politik
Sebagian dari birokrasi sipil dan aparat intelijen militer di Dunia Ketiga terdiri dari para gangster dan kriminal2. Namun keadaan yang sebenarnya bila didalami jauh lebih rumit. Karena pada dasarnya para gangster itu tidak lebih dari instrumen dalam jaringan-kerja dari para pemodal besar internasional (baca: Yahudi). Mereka tidak menghalang-halangi sistem yang ada. Para gangster itu adalah orang yang dengan mudah dapat dipergunakan, karena mereka tidak bertanggung-jawab kepada konstituensi mereka, atau kepada siapa pun. Karena itu penggunaan mereka sangat bermanfaat.

Ambil misalnya ketika negara-negara Barat mendudukkan Hacim Thaci (pernimpin ‘Tentara Pembebasan Kosovo’) dalam pemerintahan di Kosovo, atau Abdul Hamid Karzai di Afghanistan. Jauh lebih mudah menempatkan gangster semacam mereka untuk memerintah negeri Kosovo atau Afghanistan, daripada mendudukkan seorang perdana menteri terpilih dengan integritas pribadi yang tinggi, yang bertanggung-jawab kepada konstituensinya. Yang terbaik adalah menempatkan seorang gangster-terpilih, seperti Boris Yeltsin (bagaimana dengan di Indonesia?), karena cara itu yang terbaik. Cari dan temp atkan seorang gangster-terpilih. Di pemerintahan Amerika Serikat sudah beberapa kali menempatkan gangster terpilih. Mengapa? Karena gangster-terpilih lebih mudah dikendalikan daripada seorang bukan-gangster yang diangkat.
Tetapi harus dimaklumi, para gangster ini merupakan kaki-tangan yang sangat menyolok – hal itu disebut sebagai kriminalisasi suatu negara. Sudah dapat dipastikan akan ada inter-penetrasi perdagangan yang legal maupun illegal. Dan perdagangan ilegal selalu berada dalam bisnis dan keuangan berskala besar. Pemimpin yang mendapatkan dukungan luas dari rakyat oleh negara-negara Barat tidak dikehendaki. Sebagai contoh bekerjanya anasir Zionis melalui jaringan klandestin, baik melalui partai-partai politik yang korup, badan-badan LSM kiri, kelompok ‘theologi pembebasan’ Katolik Jesuit yang kekiri-kirian, serta kaum anarkis, telah berhasil menyingkirkan tokoh yang memiliki integritas dan kompetensi. Pemimpin yang memiliki integritas dari segi kepentingan Zionisme secara politik tidak-dikehendaki. Itulah yang terjadi dengan nasib presiden B.J.Habibie dari Indonesia, yang ditendang keluar, bahkan oleh partainya sendiri.
Aspek penting dari kegiatan klandestin IMF adalah menciptakan kondisi untuk membiakkan perdagangan ilegal dan untuk mencuci uang di seluruh dunia. Hal itu sangat jelas, karena ketika ekonomi legal jatuh terpuruk akibat reformasi IMF, lalu apa yang tersisa. Yang tersisa adalah ekonorni-kelabu, ekonomi kriminal. Hal itu mendorong perkembangan kekuatan ekonomi ilegal yang akan digunakan untuk menggantikan kekuatan ekonomi legal yang secara potensial lebih bertanggung-jawab.
Keruntuhan sistem ekonomi yang legal di suatu negara menciptakan juga kondisi untuk perkembangan insurjensi, destabilisasi pemerintah terpilih, penutupan lembaga-lembaga, dan perubahan negara menjadi sekedar sebuah teritori, yang kemudian dikendalikan layaknya sebuah koloni. Indonesia dilihat dari berbagai indikasi obyektif, layak untuk dimasukkan ke dalam kartegori ‘koloni gaya-baru’ dari negara-negara Barat.
Kasus – “Suatu Model Membuka Kosovo untuk Modal Asing”
Di daerah pendudukan Kosovo yang berada di bawah mandat pasukan penjaga-keamanan PBB, “terorisme oleh negara” dan kaum pembela “pasar-bebas”, berjalan bergandengan tangan. Kriminalisasi oleh lembaga-lembaga negara yang terus berlangsung bukannya tidak sesuai dengan sasaran-sasaran ekonomi dan strategi Barat di Balkan.

Tanpa memperhitungkan kejahatan pembantaian rakyat sipil, pemerintahan KLA yang memproklamasikan diri-sendiri telah memberikan komitmennya untuk membentuk suatu “pemerintahan yang aman dan stabil” bagi para investor asing dan lembaga-lembaga keuangan internasional Yahudi, yang didukung oleh negara-negara Barat, dan lembaga-lembaga keuangan yang berbasis di New York dan London. Mereka telah melakukan analisis tentang konsekwensi bila suatu intervensi militer terjadi dengan akibat perlunya pendudukan Kosovo, hampir setahun sebelum terjadinya perang. Konsep ini diulang kembali di Afghanistan pada tahun 2001. IMF dan Bank Dunia telah melakukan suatu ‘simulasi’ yang ‘mengantisipasi kemungkinan skenario darurat berlaku sebagai akibat ketegangan-ketegangan yang ada di Kosovo’.
Tatkala pemboman masih berlangsung, Bank Dunia dan Komisi Eropa memperoleh sebuah mandat khusus guna ‘mengkoordinasikan para donor’ untuk bantuan ekonomi di Balkan. Muatan ‘terms of reference’ tidak mengeluarkan Yugoslavia dari daftar penerima bantuan donor tersebut. Hal itu dengan jelas menegaskan bahwa Belgrado berhak untuk mendapatkan pinjaman pembangunan “begitu keadaan politik disana berubah”. Sehubungan dengan Kosovo, alih-alih memberikan pinjaman untuk membangun kembali infra-struktur propinsi Kosovo, IMF dan Bank Dunia malah lebih memusatkan intervensinya dengan pemberian ‘bantuan dalam merancang rekonstruksi dan program recovery’ serta apa yang dinamakan ‘nasehat kebijakan dalam manajemen ekonomi’ dan ‘pembangunan kelembagaan’ khususnya ‘pemerintahan’. Dengan kata lain, sepasukan ahli hukum dan konsultan dikirimkan untuk menjamin transisi Kosovo ‘membangun suatu ekonomi pasar yang hidup, terbuka, dan transparan’. Bantuan yang diberikan kepada pemerintahan sementara Kosovo akan diarahkan menuju ‘terbentuknya lembaga-lembaga yang transparan, efektif, dan berkelanjutan’. ‘Pemberdayaan lingkungan’ bagi investasi modal asing akan dibentuk sejajar dengan pembentukan ‘jaringan keselamatan sosial’ dan ‘program pengentasan kemiskinan’.
Sementara itu bank-bank milik negara Yugoslavia yang beroperasi di Pristina ditutup. Mata-uang Deutschmark ditetapkan sebagai alat tukar yang sah, dan sistem perbankan dialihkan kepada Commerzbank AG Jerman, yang menjadi pemegang saham tunggal swasta di dalam Micro Enterprise Bank (MEB milik Kosovo) yang dibentuk pada awal tahun 2000 dengan pemrakarsa International Finance Corporation (milik Bank Dunia), the European Bank for Reconstruction and Development (EBRD), bersama dengan Nederlandse FinancieringsMaatschappij voor Ontwikkelingslanden (FMO). Internationale Micro Investitionen (IMI milik Jerman), dan Kredit Anstalt fuer Wiederaufbau (KW juga milik Jerman). Jadi pihak Jerman (Commerzbank AG, milik Yahudi) akan menjalankan kontrol atas fungsi-fungsi perbankan untuk propinsi Kosovo termasuk transfer keuangan dan transaksi luar negeri.
Dalam karakter yang sarna para komprador IMF di Indonesia tengah gencar-gencarnya menjual aset-aset publik yang selama ini berperan sebagai money-machine bagi Indonesia dengan harga obral-obralan, seperti BCA, Telkom, Semen Gresik, perkebunan kelapa sawit eksmilik Salim Grup, dan lain-lain kepada pihak asing. Para bidder domestik dalam proses tender itu tidak digubris. Tidak salah bila Prof.Chossudovsky memasukkan Indonesia ke dalam kategori “teritori” dari kekuatan keuangan Zionisme.

Mengunggat Kembali Kekejaman Militer Jepang di Indonesia Lewat buku "Ditjari Nona-Nona Djawa"






"Sejarah kelam Kekejaman Militer Jepang, kasus Ianfu tidak begitu saja mudah hilang dari ingatan bangsa Indonesia. Perjuangan membela korban-korban Ianfu akan terus kami lakukan sampai kapapun!." Agaknya, inilah kalimat pantas kami ungkapkan setelah membaca nukilan tulisan dari buku ketiga karya Eka Hindra berjudul "Ditjari Nona-Nona Djawa," yang dimuat Majalah More Edisi Maret 2012. 

Eka Hindra bagi kami bukan hanya sekedar mitra kerja. Penelitiannya terkait kasus Ianfu telah dilakukan sejak tahun 1999. Melalui penelitian yang tak kenal lelah, Eka terbilang cukup berhasil mengungkap sekaligus menyadarkan banyak kalangan bahwa begitu kejamnya perbudakan seks (Ianfu) yang dilakukan militer Jepang di Indonesia sepanjang tahun 1942-1945.

Sejarah mencatat, militer Jepang menguasai wilayah Indonesia dalam waktu delapan hari pada 1 Maret 1942, setelah terjadi pertempuran sengit di perairan laut asia pasifik untuk membuat armada sekutu menyerah.

Ketika itu wilayah kepulauan Indonesia dijadikan sebagai wilayah sumber daya manusia oleh militer Jepang guna mendukung kemenangan perang Asia Pasifik. Sejak itu pengerahan tenaga paksa pun dimulai. Dari kota dan desa, militer Jepang mengumpulkan laki-laki berusia antara 16-40 tahun, dan perempuan berusia 16-25 tahun. Tenaga laki-laki ini dijadikan Romusha (budak pekerja), sedangkan perempuan muda dipaksa dijadikan Ianfu.

Sebagian besar perempuan yang direkrut berasal dari pulau Jawa, karena pada waktu itu penduduk yang paling padat berada di pulau Jawa.

Militer Jepang jelas melakukan Human Trafficking, dengan diiming-iming pekerjaan. Untuk kasus Ianfu, militer Jepang membuat iklan sebagai daya tarik memikat para perempuan." Tidak itu saja, kerapkalipemaksaan dan aksi kekerasan fisik dan teror juga dilakukan militer Jepang.

Kesaksian Suharti, asal dari Blitar misalnya. Suhati ditipu oleh militer Jepang, melalui lurah yang datang menemui kedua orang tuanya. Lurah itu berkata, "Anak bapak mau didik dan disekolahkan di Balikpapan, setelah lulus nanti kerja di kantor-kantor." Kenyataannya, Suharti yang ketika itu berusia 15 tahun malah dijadikan Ianfu, dipaksa sebagai pemuas nafsu seksual belasan personil Jepang setiap harinya.

Lain lagi kisah Mardiyem, ketika itu usianya 13 tahun. Mardiyem mendapat penyiksaan berupa pukulan dan tendangan dari Cikada (manajer Ianjo-tempat perempuan penghibur). Peristiwa itu menyebabkan Mardiyem pingsan selama 6 jam. Ini karena gara-gara Mardiyem menolak meladeni nafsu biadab militer Jepang itu.

Perlakuan biadab yang dialami Mardiyem tidak berhenti disitu. Pada usia 15 tahun Mardiyem baru mengalami aborsi paksa diketika usia kandungannya baru berusia lima bulan.

Proses pengguguran kandunganya dilakukan tanpa pembiusan. Kandungan ditekan secara paksa sampai bayi keluar. Akibat penyiksaan fisik bertahun-tahun itu, Mardiyem mengalami cacat fisik serta trauma seksual pasca perang. Pada tahun 2008, pada usia 78 tahun, Mardiyem menutup mata.

Kisah tragis tidak hanya dialami Suharti dan Mardiyem saja. Banyangkan selama 1942-1945, militer Jepang mendirikan rumah perbudakan seks atau Ianjo diseantero wilayah Indonesia. Mulai dari Aceh hingga Papua. Dapat dipastikan dimana ada militer Jepang pasti terdapat Ianjo.

Secara politik, Kejahatan perang Asia Pasifik dianggap selesai oleh pemerintah Indonesia dan Jepang, sejak perjanjian bilateral pampasan perang pada 20 Januari 1958 ditandatangani.

Namun kasus Ianfu kembali muncul kepermukaan setelah Tuminah asal Solo bersaksi. Melalui pembentukan lembaga Filantropi, Asia women's Fund (AWF) ditahun 1995, pemerintah Jepang pun berusaha meredam kasus Ianfu di Indonesia.

AWF sebagai boneka politik pemerintah Jepang pada tahun 1997 memberikan dana sebesar 380 juta yen kepada Pemerintah Indonesia, yang diterima Kementerian Sosial. Dana itu dibayarkan secara diangsur selama 10 tahun. Tahap pertama dana sebesar 2 juta yen, atau sekitar 775 juta rupiah diserahkan kepada pemerintah Indonesia. Dan konon, "suntikan" dana pertama ini akan dipakai untuk membangun Panti wredha di lima propinsi di Indonesia.

Persoalannya adalah, cukupkah hanya sekedar sejumlah dana, sejarah kelam ini dilupakan begitu saja? Tentu saja tidak!

"Kita memiliki kewajiban untuk ikut memulihkan martabat kemanusiaan mereka. Merekalah perempuan yang sosoknya tak terlihat dalam lembar sejarah," kutip Eka. 

Alangkah eloknya, pemerintah Jepang menyatakan permintaan maaf secara resmi kepada setiap penyitas (survivor) Ianfu dan bangsa Indonesia akibat perbuatan keji militer mereka dulu. Dan terpenting pemerintah Jepang harus memperhatikan para korban-korban perbudakan seks di Indonesia ini.

Catatan:

Karya pertama jurnalistik Eka Hindra adalah biografi Mardiyem sebagai survivor Iandfu Indonesia (1999), yang disiarkan di 50 radio di seluruh Indoneisa.

Buku yang pernah ditulis adalah Momoye: Mereka Memanggilku (2007), Japanes Milterism & its War Crimes in Asia Pasfic Region (2011). Saat ini Eka bekerja sebagai freelancer Pustakwan dan mengelola website Ianfu Indonesia (www.ianfuindonesia.org) bersama Jo Cowtre, seniman asal Amerika Serikat. Bersama Jo Cowtre, buku ketiga yang ditulisannya berjudul "Ditjari Nona-Nona Djawa" akan terbit tahun 2012 ini.

Rusman-Direktur Korporat Global Future Institute

Jumat, 09 Maret 2012

Refleksi Kritis





Kenikmatan yang dicari oleh mereka adalah kenikmatan yang sangat ragawi, dan bermain dalam ruang ketidak puasan karena hanya memenuhi perasaan dasar, seperti rasa senang, bangga, nyaman, atau bergairah. Misalnya, dengan bisa membeli barang dan fasilitas mewah, dan dengan kekuasaan ada ditangan memang menimbulkan sensasi khusus, tetapi lama-kelamaan akan hilang kadar senang, nyaman, dan bangganya ketika menjadi terbiasa dengan kondisi itu.
Akhirnya, orang semacam ini memerlukan dosis tambahan terus menerus, agar kenikmatan terasa seperti di awal. Caranya adalah dengan selalu berusaha naik kekuasaannya, dan selalu mencari kenyamanan yang lebih tinggi. Inilah para penikmat yang tak terpuaskan.
Kita juga terheran menemukan fenomena sosial yang paradoksal, yaitu fenomena yang bertentangan tetapi bisa berjalan beriring. Misalnya, pada fenomena makro kita dihadapkan pada pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan BI cukup baik berkisar antara 6,3 %, dengan analisis terjadi peningkatan daya beli masyarakat. Tetapi, secara bersamaan angka kemiskinan juga masih tinggi, saat ini hampir mencapai 18 % jumlah penduduk. Jika konsisten, harusnya peningkatan daya beli masyarakat dan ekonomi baik, berarti berkurangnya kemiskinan. Dalam tataran fenomena mikro, kita dihadapkan pada banyak orang yang berperilaku paradoksal pula.

Misalnya, ia seorang muslim relijius, tetapi secara bersamaan ternyata ia juga rajin melakukan tindakan korupsi, kolupsi serta tindakan manipulasi lainnya.

Kita akan lebih terheran lagi jika melihat segala sesuatu di era kapitalis ini menjadi layak didagangkan. Sampai-sampai agama juga didagangkan, dan produknya yang massal menjadi incaran para konsumen. Produk agama cenderung dibeli untuk meningkatkan kesejahteraan pribadi, untuk menyembuhkan, untuk mendapatkan ketenangan, atau untuk menghilangkan stress oleh mereka yang mengalami krisis hidup.
Misalnya, banyaknya pendidikan dan training dengan pendekatan spiritual yang laris diikuti masyarakat walau harganya mahal. Perjalanan ibadah umrah yang ibaratnya perjalanan wisata ditawarkan secara massal dan tetap laris. Banyak pula rekaman ceramah da’i kondang yang dipasarkan, dan dibeli untuk menjadi pegangan hidup orang-orang. Kalau sudah seperti, maka dunia kapitalis telah mengacaukan pencaharian hubungan esensial antara hamba dengan sang Khalik, yang seharusnya berbasis relasi cinta dan penyerahan, dikikis oleh hubungan yang berdasar pada kebutuhan otonom manusia dengan dunianya.
Kalau sempat terheran dalam fenomena-fenomena ini, tidak berarti kita berpikir rendah dalam skala 180° yang melihat kebenaran itu tunggal dan monotik, misalnya benar-salah atau hitam-putih. Melainkan, kita telah berpikir skala 360°, yang mengakui kebenaran sebagai nuansa yang bergerak, misalnya hitam bisa saja menjadi putih, atau sesuatu yang benar bisa bergerak menjadi yang salah. Dengan kata lain, keheranan tersebut adalah refleksi adanya pertentangan kritis dalam akal budi kita di tengah kehidupan kapitalis ini. Mungkin saja kita juga bagian dari budaya kapitalis ini, bahkan telah menemukan comfort zone (zona kenyamanan) di dalamnya. Tetapi dengan sempat kritis dan sadar maka kita bisa berproses mencari keotentikan diri yang lebih tinggi.

Pemimpin yang Tepat untuk Kondisi yang Tidak Tepat



TV itu dihidupkan untuk dites. Keluarga dari kampung itu tidak memperhatikan. Juga, sewaktu penjual menjelaskan beberapa soal teknis tv tersebut. Ia justru meletakkan sejumlah uang di atas meja, untuk membayar harga tv tersebut. Penjual memintanya agar pembayaran dilakukan di bagian kasir. Apa tidak membeli juga antene luar? Tidak perlu, katanya. Sebab, di kampung warga berlangganan dengan “tv kabel”, layanan yang bisa mengakses banyak sekali jaringan tv dunia.
Keluarga saya itu dengan bangga memboyong tv itu ke kampung. Tentu, kini ia dan keluarga seisi rumah, tidak perlu ke rumah tetangga lagi untuk menonton seluruh dunia dan gaya hidupnya. Dunia dan gaya hidupnya kini bisa disaksikan dari tv sendiri di rumah sendiri. Di kampung, orang-orang dengan tv sendiri menyaksikan dunia dan gayanya lewat “tv kabel”, sudah banyak. Orang-orang di kampung dan pedalaman sudah terbiasa dengan jaringan tv tersebut. TV nasional (dalam negeri) tidak menjadi prioritas untuk ditonton.
Maka, tak mengherankan kalau gadis-gadis di pelosok-pelosok desa sudah pandai berpakaian dengan gaya mode Paris. Setidaknya, yang ditiru dari Paris ialah “kepandaian” membuka bagian tubuh yang dalam tradisi masyarakat dipandang sebagai bagian tubuh yang dihormati dan karena itu, mesti ditutup. Karena dibuka, tak sedikit yang melihatnya dengan pandangan yang tidak terhormat. Pemuda-pemuda desa, meski sebagiannya tampak kampungan, namun gaya rambutnya gaul dan cara berpakaiannya pop. Gaya aneh-aneh yang bisa dilihat di tv dunia, kini bisa pula dilihat di desa-desa negeri ini.
Malas menonton tv nasional, tidak terlalu salah. Bukankah tv-tv negeri ini sudah juga diwarnai, bahkan meniru tv-tv dunia. Tidak mudah menunjuk tv yang warnanya dominan jati diri bangsa ini. Media bukan tv pun setali tiga uang dengan tv. Arus globalisasi gaya hidup melanda dan menjungkir-balikkan jati diri bangsa lewat media.
Dalam keguncangan nilai dan jati diri demikian, seorang tokoh berniat menutup semua agendanya pada bulan Agustus, tidak menunggu Desember 2007. Alasannya, ia capek sudah berkeliling ke seluruh negeri ini, juga keluar negeri, tapi warga bangsa ini tampaknya tidak mau mengubah diri untuk menjadi maju. Mungkin September sampai Desember 2007 ia akan pakai untuk merenungkan kembali, apa yang harus dilakukan lagi agar bangsa ini tidak mengulangi kebiasaannya masuk ke lubang kesalahan yang sama dan mau mengubah dirinya menjadi bangsa yang maju.
Tentu orang boleh setuju atau tidak setuju dengan apa yang diuraikan di atas. Atau, juga bingung dengan keadaan anak negeri sekarang ini. Pusat perbelanjaan (mal) dibangun setiap saat. Mal-mal itu juga ramai dikunjungi. Akan tetapi, dengan amat jelas pula dapat dilihat di mana-mana orang-orang yang susah hidupnya, tempat pemukiman yang kumuh, dan lingkungan hidup yang memendam kemarahan.
Separuh periode pemerintahan nasional pilihan rakyat sudah berjalan. Kenyataannya, bukan hanya soal beras dan minyak tanah (apalagi semburan Lumpur panas Lapindo) yang susah diurus, tapi harga minyak goring pun susah diurus. Tentu, apatah lagi jika diharapkan bisa mengatur pengaruh media yang menggerogoti jati diri bangsa. Masih ada dua tahun lebih ke depan untuk berpikir lebih jernih dan sungguh-sungguh mengenai siapa sesungguhnya pemimpin yang tepat untuk bangsa yang kondisinya tidak tepat (benar) ini. *

Sanksi Minyak Iran Senjata Makan Tuan Bagi Barat






Sanksi Amerika Serikat dan Uni Eropa terhadap minyak Iran menyebabkan pasar minyak dunia menghadapi masalah serius. Sanksi itu telah mengguncang negara-negara industri, dimana negara-negara ini akan mengalami dampak paling besar dibanding yang lainnya.


Harga minyak di pasar-pasar dunia telah sampai pada level tertinggi selama sembilan bulan terakhir. Hal itu disebabkan keputusan Iran yang menghentikan ekspor minyak ke Inggris dan Perancis serta ancaman Tehran untuk tidak menjual minyak ke sebagian pelanggannya yang lain. Tak diragukan lagi, harga bensin di Amerika pun naik drastis. Para pejabat Departemen Perminyakan Iran menyatakan bahwa harga produk-produk petrokimia juga mengalami kenaikan.

Meningkatnya ketegangan soal isu nuklir Iran dan sabotase Barat terkait perundingan antarkedua belah pihak telah mendorong Amerika dan Uni Eropa memberlakukan sanksi terhadap minyak Tehran, dimana konsumen minyak Iran di Eropa akan menghentikan impornya pada bulan Juli mendatang.

Republik Islam Iran sebagai salah satu produsen dan pengekspor minyak terbesar di dunia mempunyai banyak konsumen di antara negara-negara dunia, dan hingga kini negara-negara Eropa hanya mengimpor 18 persen dari minyak Iran. Para pejabat Departemen Perminyakan Iran mengumumkan bahwa Tehran tidak mempunyai kesulitan untuk menjual minyaknya, bahkan banyak negara yang menginginkan minyak Tehran termasuk negara-negara Asia. Perjanjian jual beli minyak dengan negara-negara Asia lebih meyakinkan dibanding dengan Eropa.
Sementara, kondisi yang sama terjadi di pasar petrokimia, dimana tidak ada masalah bagi Tehran untuk menjual produk-produk petrokimia Iran. Mengingat produksi petrokimia negara ini memiliki kualitas lebih baik dibandingkan yang lain, Tehran telah menempuh berbagai perundingan untuk meningkatkan ekspor petrokimianya ke negara-negara Asia Timur dan Amerika Latin.

Bersamaan dengan melonjaknya harga minyak mentah dan produk-produk petrokimia, devisa asing Iran juga mengalami peningkatan signifikan. Sementara, kondisi ini telah mencekik negara-negara Eropa dan memperparah krisis ekonomi Barat. Dengan begitu, sanksi-sanksi yang mereka terapkan terhadap Iran justru merugikan mereka sendiri.

Saat ini di Amerika, persaingan pemilu kepresidenan telah memasuki babak baru. Melonjaknya harga minyak dan bensin berubah menjadi masalah serius bagi Washington.Charles E. Schumer, Senator Demokrat melalui sebuah surat kepada Hillary Clinton, Menteri Luar Negeri AS meminta dilakukan upaya-upaya diplomasi untuk mengurangi harga minyak. Ia menilai diplomasi sebagai solusi untuk mengurangi harga minyak yang meroket. Senator Schumer mengatakan, Amerika harus meningkatkan upayanya untuk mendorong Arab Saudi menambah produksi minyaknya guna menggantikan posisi minyak Iran yang diembargo.

Meski Saudi sebelumnya mengumumkan kesiapan untuk meningkatkan produksi minyaknya, dan hal itu telah dimulai. Namun, mengingat permintaan pasokan minyak semakin meningkat, maka peningkatan produksi minyak Saudi tidak akan berjalan lama. Kondisi ini telah mengkhawatirkan banyak kalangan dari konsumen minyak dunia.

Amerika dan Eropa selama bertahun-tahun telah mengerahkan segenap upayanya untuk menekan Republik Islam Iran, namun tampaknya upaya mereka saat ini justru menggiringnya ke jurang krisis yang telah mereka ciptakan sendiri. Sementara, bangsa Iran di bawah tekanan dan ancaman justru mampu meraih kemajuan dan kemuliaan.



 (IRIB Indonesia/RA/NA)

Prakarsa Anggota Kongres Dana Rohrabacher, Bukti Nyata Gerakan Sistematis Washington Merdekakan Baluchistan Lepas dari Pakistan






Kalau Amerika Serikat berniat memecah Indonesia jadi 7 bagian, seperti sempat dirilis oleh Rand Corporation pada 1998 lalu, kasus Baluchistan bisa jadi bukti nyata bahwa gerakan separatism memang bagian dari rencana strategis Washington.


Baru-baru ini, Dana Rohrabacher, anggota Kongres dari Partai Republik asal negara bagian California, telah mengajukan sebuah resolusi yang pada intinya menegaskan bahwa Baluchistan mempunyai hak sejarah untuk menentukan nasibnya sendiri sebagai bangsa. Dengan kata lain, Dana Rohrabacher mendukung berdirinya Baluchistan sebagai negara merdeka.
Seperti kita ketahui bersama, Baluchistan saat ini terbagi menjadi daerah yang masuk dalam kedaulatan Pakista, Iran dan Afghanistan. Mengingat nilai strategis Baluchistan sebagai daerah jalur sutra yang kaya sumberdaya alam seperti minyak, gas dan tambang, bisa dimengerti jika Washington secara sistematis sedang membantu elemen elemen pro kemerdekaan Baluchistan untuk jadi negara tersendiri yang bebas dari orbit pengaruh Iran, Afghanistan dan Pakistan.
Terbukti bahwa prakarsa Dana Rohbacher tersebut kemudian mendapat dukungan dari dua anggota Kongres lainnya seperti Louie Gohmert dari negara bagian Texas, dan Steve King, dari negara bagian Iowa, keduanya juga dari Partai Republik.
Manuver Washington untuk mendorong kemerdekaan Baluchistan nampaknya memang cukup serius mengingat fakta bahwa Dana Rohrabacher saat ini menjabat sebagai Ketua Sub-Komite Kongres bidang luar negeri khusus bidang pengawasan dan investigasi.
Karena itu masalah sepertinya akan semakin krusial karena Rohrabacher menegaskan bahwa salah satu pertimbangan mengapa dirinya memprakarsai resolusi Kongres Amerika agar mendukung kemerdekaan Baluchistan, karena adanya bukti bukti kuat tindak kekerasan dan korban pembunuhan diluar jalur jalur hukum (Extra Judicial Killing).
Pada 1947, Baluchistan memang sempat bermaksud memerdekakan diri, namun kemudian berhasil digagalkan oleh Pemerintah Pakistan. Maka menghadapi gerakan Washington melalui prakarsa Dana Rohrabacher dan kawan-kawan di Kongres ini, Pakistan lah pihak yang paling duluan merasa kebakaran jenggot.
Tentu saja menghadapi manuver Rohrabacher Cs ini, Pakistan mengecam prakarsa ini sebagai bentuk campur tangan  terhadap urusan dalam negeri Pakistan. Betapa tidak. Pakistan beranggapan bahwa Baluchistan merupakan salah satu provinsi yang menjadi bagian dari Pakistan.
Mengingat masalah separatism ini sangat sensitif, nampaknya Gedung Putih, dalam hal ini Departemen Luar Negeri, belum berani secara langsung membuka fron terhadap pemerintah Pakistan.
Terlepas adanya berbagai pandangan yang melihat Baluchistan selama ini memang menjadi obyek eksploitasi para elit politik suku Pastun dan Punjabi di Pakistan, rasa rasanya penilaian Pakistan bahwa Amerika Serikat sedang melakukan campur tangan urusan dalam negeri Pakistan, untuk mendorong gerakan kemerdekaan Baluchistan, memang benar adanya.
Kiranya ini bisa menjadi early warning signal bagi pemerintah Indonesia, bahwa gerakan kaukus Papua di Kongres Amerika untuk mendukung Organisasi Papua Merdeka (OPM) memerdekakan Papua, cepat atau lambat akan diagendakan kembali. Atau setidaknya, mengkondisikan Papua agar bisa diangkat ke forum internasional (Internasionalisasi Papua).


Hendrajit, Peneliti Senior Global Future Institute