Selasa, 28 Februari 2012

Skenario Amerika Serikat Perlemah ASEAN Melalui KTT ASEAN 17-19 November 2011. Hidupkan Kembali Gagasan Asia Pacific Union (APU) dan East Asia Bloc?


Ferdiansyah Ali dan Hendrajit, Global Future Institute

 
Menyusul berakhirnya Konferensi Tingkat Tinggi APEC 14 November lalu, pada Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN 17-19 November mendatang, Amerika Serikat dan Jepang sepertinya sedang berencanan menyusun operasi politik memperlemah ASEAN melalui terbentuknya East Asia Bloc atau Asia Pacific Union (APU). Sasaran strateginya, mengamankan skema kebijakan neo-liberalisme di kawasan Asia Pasifik dan Asia Tenggara pada khususnya.Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ke-19 Forum Kerja Sama Ekonomi Asia- Pasifik (APEC) di Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat (AS) telah berakhir Senin kemarin 14 November, dengan menghasilkan salah satu kesepakatan utamanya yaitu meningkatkan perekonomian dan menghilangkan hambatan perdagangan diantara negara-negara anggota APEC.
 
Dimana komitmen bersama ini, berarti mengikuti seruan yang disampaikan Presiden Amerika Serikat Barack Obama yang menjamin kesepakatan lebih luas perjanjian perdagangan bebas atau Trans Pacific Partnership (TPP).

Seruan ini memang langsung ditanggapi secara positif dari  beberapa negara anggota APEC, yaitu Jepang, Australia, Selandia Baru, Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura,Vietnam, Cile, dan Peru.

Mereka menganggap kesepakatan ini mampu mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pengurangan hambatan perdagangan dan investasi, meningkatkan ekspor, dan menciptakan lapangan kerja. Yang kemudian, kesepakatan ini coba untuk diajukan pada saat berlangsungnya KTT ASEAN yang akan diselenggarakan pada 17-19 November 2011 di Bali, yang akan dilanjutkan dengan KTT ASEAN+3 yang melibatkan Jepang, Korea Selatan, dan China.  Serta KTT Asia Timur yang kabarnya  Presiden Amerika Serikat Barack Obama dan Presiden Rusia Dmitri Medvedev bakal datang.

Namun, dalam memahami agenda ini, Indonesia wajib waspada. Inisiatif yang diajukan AS tidak terlepas dari upaya menjalankan kepentingan dan dominasi AS. Dalam hal ini AS hendak meyakinkan kebijakan ekonomi internasionalnya berjalan baik.

Padahal, jika mengacu pada krisis moneter di dunia yang terjadi pada 1997-1998 maupun akhir 2008 serta 2011 ini, mekanisme pasar bebas dan liberalisasi perdagangan justru menjadikan ketimpangan antarnegara di dunia. Negara-negara maju yang terus meneriakkan perdagangan bebas, ternyata tetap menjunjung tinggi nasionalisme masing-masing. Artinya, mereka tetap mementingkan kepentingan nasionalnya atau melakukan proteksi. Tidak ada kebersamaan seperti yang mereka katakan selama ini.

Asia Pasifik Kawasan Bernilai Geoekonomis Yang Sangat Penting

Deasy Silvya Sari, Magister HI UNPAD, dalam artikelnya di The Global Review yang berjudul Dollar Diplomacy Amerika Serikat Dalam Politik Keamanan Asia Pasifik, dengan cermatnya memetakan kawasan yang terdiri diri negara-negara yang secara geografis berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik dalam nilai geoekonomis yang sangat penting.

Pertama, keberagaman ras yang menyebabkan beragamnya bahasa dan kebudayaan. Keberagaman budaya dalam era globalisasi menjadi asset berharga, khususnya dalam bidang pariwisata, dalam menikmati magis keunikan lokal. Eat, Pray and Love, misalnya, menggambarkan bagaimana Bali mampu menarik banyak orang dengan latar belakang ras yang berbeda dalam menikmati magis Bali. Ras yang menempati Asia Pasifik, secara umum adalah Ural-Altaic, Eropa, Indo-Cina, Melayu, Negro-Hamit, Australia, Indian, dan Eskimo. Bahasa yang umumnya tersebar di wilayah ini adalah Rusia, Jepang-Korea, Cina/Mandarin, Inggris, Spanyol, Perancis, dan bahasa lokal seperti Melayu, Jawa, Sunda, dan sebagainya.

Kedua, temperatur dan arus samudera yang dinamis yang memungkinkan arus lalu lintas laut sepanjang tahun. Hal ini sangat penting bagi kelancaran perdagangan, migrasi, dan transportasi. Dengan karakteristik geografis seperti ini, memposisikan Asia Tenggara, khususnya Selat Malaka, sebagai transit sekaligus penghubung Asia Pasifik dengan Samudera Hindia dalam rute laut; dan benua Asia-Autralia dalam rute darat.

Ketiga, beragamnya iklim yang memungkinkan beragamnya sumber daya alam, baik yang dimanfaatkan dari laut maupun kontinental di negara-negara lingkar Pasifik.

Keempat, pangsa pasar yang sangat luas karena populasi penduduk yang banyak. Cina memiliki kepadatan penduduk yang tinggi, lebih dari 50 orang/km2. Daerah Asia Tenggara dan Amerika Latin memiliki kepadatan sedang, sekitar 6-49 orang/km2. Sementara wilayah Rusia, Amerika Utara, Australia dan sebagian Indonesia kepadatannya antara jarang (1-5 orang/km2) atau bahkan terpencil (kurang dari 1 orang/km2). Tingkat kepadatan ini diiringi dengan tingkat pertambahan penduduk yang tinggi dan sedang di wilayah Cina, sebagian Asia Tenggara dan Amerika Latin; atau pertumbuhan yang kurang dari rata-rata dunia di wilayah Indonesia, Rusia, Australia, Amerika Utara dan sebagian Cina. Dengan piramida penduduk yang umumnya seimbang, memungkinkan dinamisnya hubungan antar orang-orang dalam berbagai aspek kehidupan.

Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan potensi geoekonomis Asia Pasifik, tak heran jika AS akan berupaya terlibat dalam setiap dinamika hubungan di kawasan ini guna meningkatkan pengaruhnya terhadap negara-negara lain.

Kesepakatan KTT APEC untuk Melemahkan ASEAN

Sebagai pengingat, apa yang telah disampaikan oleh Hendrajit, Direktur Eksekutif GFI, dalam artikel terdahulunya di The Global Review ini juga dengan judul“Waspadai Permainan Tingkat Tinggi Amerika-Jepang-Australia Lemahkan ASEAN Pada Pertemuan APEC di Singapore”, mengatakan pertemuan forum kerjasama ekonomi Asia Pasifik akan dijadikan sebagai ajang kesepakatan terselubung antara Amerika dan Cina untuk berbagi pengaruh di kawasan ASEAN. Di lain pihak, kelompok kanan dari Partai Republik Amerika memandang pertemuan APEC di Singapore sebagai momentum untuk merebut kembali pengaruh Amerika di kawasan Asia Tenggara menyusul semakin kuatnya pengaruh dan kerjasama ASEAN-Cina.

Dengan begitu, kunjungan Obama ke Singapore tiada lain untuk merangkul ASEAN sebagai mitra strategis melalui momentum dukungan Washington terhadap segera diluncurkannya Skema Free Trade Agreement pada 2015. Hanya saja, niat Obama tersebut tidak murni untuk membangun kerjasama strategis dengan negara-negara ASEAN, melainkan hanya menjadikan ASEAN sebagai alat tawar-menawar politik terhadap Cina.

Belum lama ini, terbentuk sebuah badan riset ASEAN dan Asia Timur yang bernama ERIA, dan berkantor di sekretariat ASEAN jalan Sisingamangaraja. Negara pemrakarsa ERIA yang tujuan strategisnya adalah segera terbentuknya Blok Asia Timur (East Asia Bloc), adalah Jepang. Dan dalam prosesnya, terkesan Jepang bermaksud merangkul Cina ke dalam blok Asia Timur ini. Tentu saja pada saat yang sama merangkul ASEAN sebagai representasi negara-negara di kawasan Asia Tenggara.

Selain itu, Australia, juga ikut serta secara aktif dalam pengembangan ERIA sebagai think-thank yang melalui kapasitasnya sebagai badan riset dan penelitian, menerbitkan berbagai produk penelitian berupa kertas kerja (Discussion Paper) maupun buku yang mempromosikan betapa pentingnya segera membentuk Blok Ekonomi Asia Timur.

Apakah Jepang melalui ERIA memprakarsai terbentuknya Blok Ekonomi Asia Timur semata-mata karena ambisi dan keinginan negara matahari terbit tersebut? Tentu saja sangat tidak masuk akal mengingat sampai hari ini Jepang tetap terikat dalam perjanjian keamanan (Security Arrangement) dengan Amerika Serikat. Sehingga, peran aktif Jepang dalam mensponsori ERIA dan Blok Asia Ekonomi Asia Timur, bisa dibaca sebagai bagian dari skema strategis Amerika untuk menguasai kawasan Asia Tenggara dan Asia Pasifik pada umumnya.

Dan untuk mewujudkan rencana strategis Amerika tersebut, maka Jepang dijadikan sebagai instrumen strategis Amerika dalam merangkul elemen-elemen strategis di Asia Timur dan Tenggara yang selama ini terikat dalam jalinan kerjasama strategis dengan  Jepang.

Australia, meski berada di kawasan Asia Pasifik, praktis merupakan mata-rantai dari kepentingan strategis Uni Eropa, khususnya Inggris. Karena itu, dukungan aktif Australia dalam pengembangan badan riset Asia Timur dan ASEAN (ERIA) dengan agenda terbentuknya Blok Ekonomi Asia Timur, maka harus dibaca sebagai upaya Australia menyinergikan kepentingan Inggris dan Uni Eropa melalui skema Komunitas Ekonomi Asia Timur ini

Dalam konteks memahami agenda seperti ini, Indonesia sudah seharusnya menaruh kewaspadaan dan kehati-hatian yang tinggi dalam mengantisipasi permainan tingkat tinggi yang dilancarkan segitiga Amerika, Jepang dan Australia. Karena pada perkembangannya, pertemuan kerjasama ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Honolulu tersebut, bisa jadi akan merupakan menjadi strategi kelanjutan dari upaya melemahnya posisi tawar ASEAN sebagai kekuatan dan entitas politik, ekonomi, sosial-budaya dan pertahanan-keamanan.

Karena bukan tidak mungkin, dalam KTT ASEAN 17-19 November mendatang, gagasan East Asia Bloc atau Asia Pacific Union (APU) akan dihidupkan kembali oleh Amerika Serikat, Jepang dan Australia. Sampai detik ini, gagasan ini masih sulit diwujudkan Amerika dan Jepang karena Indonesia belum mengambil sikap tegas mendukung skema neo-liberal Amerika tersebut.

Indonesia Harus Berperan Sebagai Negara Berpengaruh di ASEAN

Sejatinya, dalam forum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) dan KTT ASEAN Indonesia harus bisa memanfaatkan dalam menciptakan kemandirian di bidang ekonomi dan politik sehingga tidak lagi berharap kepada kekuatan ekonomi Amerika Serikat (AS), China atau India. Indonesia juga harus bisa mendorong ASEAN sebagai kekuatan ekonomi baru.

Seiring dengan kesepakatan Forum APEC yang ingin mendorong pelaksanaan perdagangan bebas di kawasan Asia, termasuk ASEAN maka perdagangan bebas dan kebebasan modal bergerak makin menguat. Agenda perdagangan dan investasi akan memperkuat penyatuan ekonomi di kawasan Asia-Pasifik. Kondisi ini oleh AS akan dijadikan cara mempertahankan dominasi di kawasan Asia khususnya Indonesia.

Sangatlah jelas, bahwa AS berkeinginan untuk menjadikan negara-negara di ASEAN menjadi perpanjangan tangannya dalam forum APEC ini, AS mempunyai kepentingan agar mereka lebih berpihak kepadanya dan sekutunya dibandingkan dengan China dan negara-negara bagian ketiga.

Dalam menyikapi kondisi ini, Indonesia seharusnya dapat membawa ASEAN menjadi satu komunitas yang membawa pertumbuhan ekonomi untuk kesejahteraan rakyatnya. Dalam hal ini, Indonesia dan negara-negara di ASEAN juga harus saling berkontribusi dalam menciptakan kerja sama bidang perdagangan. Tentunya yang saling menguntungkan dan bukannya saling menjatuhkan. Seharusnya ASEAN tidak lagi didominasi oleh kekuatan ekonomi adidaya, seperti Amerika Serikat maupun kekuatan ekonomi yang sedang bangkit seperti China dan India. Dalam hal ini, Indonesia dapat mengembalikan perannya sebagai salah satu negara yang melindungi dan berpengaruh dalam menggalang negara-negara melawan hegemoni global.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar