Selasa, 28 Februari 2012

Perampokan Ala NATO Yang Tak Tahu Malu

Dina Y. Sulaeman 


Qaddafi memang sasaran empuk. Sikapnya yang eksentrik serta track record kekerasan yang dilakukannya terhadap para oposannya membuat NATO dengan mudah meraih dukungan dunia saat melancarkan operasi menjarah Libya. Langkah awal NATO adalah dengan membekukan aset-aset Libya. Alasan yang mereka berikan tentu saja: itu uang Qaddafi, hasil korupsi atas kekayaan rakyatnya. Karena itulah, tak banyak yang memrotes. Seolah-olah negara-negara Barat memang berhak membekukan uang orang-orang yang dituduh korupsi. Total aset Libya yang dibekukan Barat berjumlah $150 milyar dollar, $100 milyar dollar di antaranya berada dalam genggaman negara-negara yang bergabung dalam agresi NATO ke Libya.

Pertanyaannya, kemana uang itu sekarang? Siapa yang memanfaatkannya? Sebelum sampai ke jawaban, ada fakta menarik yang tak banyak diketahui publik: Libya ternyata tidak punya hutang luar negeri. Libya adalah negara kaya, dengan cadangan minyak terkaya di Afrika.

Lalu, NATO dengan alasan ‘humanitarian intervention' membombardir puluhan ribu target sipil: fasilitas kesehatan, sekolah, sistem distribusi air, rumah, masjid, jalanan, atau perkantoran. Bahkan rumah Qaddafi pun tak luput dari bombardir, sehingga menewaskan tiga cucu Qaddafi, dan anak-menantu Qaddafi. Kini, Libya telah porakporanda. Seharusnya, ‘uang Qaddafi' yang dibekukan itu dikembalikan kepada rakyat Libya, minimalnya kepada NTC, yang dengan sekejap meraih pengakuan dari negara-negara NATO sebagai ‘pemerintahan transisi yang sah di Libya'. Tapi bagaimana kenyataannya?

Negara-negara NATO kini beramai-ramai menawarkan bantuan untuk merekonstruksi Libya yang sudah hancur itu. Dalam perundingan di Paris, para pemimpin negara-negara NATO setuju untuk mencairkan milyaran dollar uang yang dibekukan itu untuk membantu pemerintahan transisi Libya membangun kembali fasilitas pelayanan publik. Hanya, parahnya, dana itu akan diberikan dalam bentuk hutang!

Financial Post (10/9) melaporkan, beberapa hari setelah pemimpin negara-negara NATO menyetujui pencairan aset Libya yang dibekukan itu, diadakan pertemuan G8 di Marseille. Dalam pertemuan itu, negara-negara G8 setuju untuk menggelontorkan dana pinjaman sebesar 38 milyar dollar kepada negara-negara Arab, dan ‘menawarkan kepada Libya untuk menerima dana pinjaman itu'. Wakil dari NTC hadir dalam pertemuan di Marseille tersebut.

Siapa saja negara-negara G8 yang ‘berbaik hati' memberikan pinjaman kepada negara-negara Arab yang kacau-balau akibat berbagai aksi penggulingan rezim itu? Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, AS, Kanada, dan Rusia. Sementara itu, asset $150 milyar dollar Libya yang dibekukan itu, ternyata berada di Perancis, AS, Inggris, Belgia, Netherland, Italia, Kanada. Benar-benar sebuah ‘kebetulan' bahwa negara-negara ini sebagiannya bergabung di G8, dan semuanya bersama-sama bergabung dalam NATO.

Pertanyaan selanjutnya, mengapa sedemikian ‘kebetulan': aset Libya berada di negara-negara agresor Libya? Seolah-olah terlihat wajar bahwa para koruptor menanamkan uang di negeri-negeri Barat. Namun, fakta lain menunjukkan bahwa ternyata ada orang-orang yang selama ini mengelola keuangan Qaddafi dan merekalah yang kini bersatu dalam barisan anti-Qaddafi.

Pada tahun 2008, dibentuk The Libyan Investment Authority. Lembaga inilah yang menginvestasikan uang rakyat Libya di berbagai negara Barat. Tokoh-tokoh LIA antara lain adalah Mohamed Layas, yang sebulan sebelum dimulainya aksi pemberontakan di Libya (Januari), menyimpan uang atas nama LIA sebesar 32 juta dollar di bank AS. Lima pekan kemudian (Februari), AS membekukan aset Libya. Tokoh lainnya adalah Farhat Bengdara. Bengdara adalah politisi kelahiran Benghazi. Selain sebagai anggota LIA, dia juga Gubernur Bank Sentral Libya. Aksi pemberontakan Libya pecah di Benghazi (tanah kelahiran Bengdara) pada 17 Februari. Pada 21 Februari, Bengdara meninggalkan Libya dan tinggal di Turki sejak saat itu. Sungguh sebuah kebetulan, hanya 4 hari kemudian, PBB menerapkan ‘no fly zone' di Libya.

Banyak orang menyebut-nyebut dengan nada ejekan, bahwa pembahasan ‘di balik layar' seperti ini adalah teori konspirasi. Namun, sesungguhnya segalanya sangat masuk akal. Negara-negara NATO adalah negara-negara kapitalis yang tidak akan membuang-buang uang hanya demi ‘menolong' orang Afrika. Dan serbuan ala NATO tidak akan terjadi hanya dengan perencanaan mendadak. Segala sesuatunya harus dipersiapkan dengan matang, termasuk pendanaannya. Sumber dana termudah tentu saja, dengan merekrut orang-orang di sekeliling Qaddafi untuk menyimpan uang di bank-bank negara-negara NATO, lalu ‘dibekukan' atas nama kemanusiaan. Dan kini, dengan dana yang sama, mereka menawarkan hutang kepada pemerintahan transisi Libya untuk merekonstruksi negeri yang sudah mereka porakporandakan itu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar