Selasa, 28 Februari 2012

Membongkar Kebijakan Ganda Liga Arab di Timur Tengah



Transformasi cepat yang terjadi di Timur Tengah selama setahun ini mengungkap banyak hal. Perubahan ini membongkar wajah keji dan kemunafikan negara-negara zalim dan pendukung Barat. Negara-negara Barat biasanya menyebut negara-negara yang bergantung kepada mereka dengan "Negara Moderat". Kemoderatan negara-negara ini tidak lain adalah tunduk pada politik rakus dan hegemoni negara-negara Barat dan menekan rakyatnya sendiri. Satu dari lembaga negara-negara Arab yang patut dikaji lebih jauh dalam menyikapi transformasi Timteng adalah Liga Arab.
Organisasi Liga Arab merupakan organisasi yang dibentuk dalam kerangka Pan-Arabisme pasca Perang Dunia II. Setelah runtuhnya Dinasti Ottoman, para pendiri organisasi ini berusaha mengumpulkan negara-negara Arab dalam sebuah bendera. Pada masa Perang Dingin, Liga Arab menjadi sebuah organisasi yang benar-benar pasif. Karena negara-negara anggota Liga Arab ada yang memihak blok Barat dan ada yang membela blok Timur.

Ketika Gamal Abdul Naser berkuasa di Mesir, ia berusaha mengaktifkan kembali organisasi ini dan menghidupkan pemikiran Pan-Arabisme. Manuver Gamal Abdul Naser ternyata belum mampu menyatukan sikap negara-negara anggotanya, bahkan setelah melewati empat perang antara Arab dan Israel. Lambat laun, Liga Arab menjadi organisasi negara-negara Arab yang kerjanya melayani Amerika. Organisasi ini mulai memilih-milih dalam mengambil sikap, sesuai dengan kepentingan AS. Sementara pada saat yang sama bersikap diam atas aksi interfensif AS atau negara-negara Barat di kawasan.

Menariknya, organisasi menjadi sangat pasif saat menghadapi politik agresi rezim Zionis Israel terhadap Palestina dan Lebanon. Sikap pasif dan diskriminatif ini juga muncul saat harus menyikapi kebijakan para penguasa negara-negara Arab yang zalim dan bergantung pada Barat. Sikap-sikap semacam ini menunjukkan betapa organisasi ini sebenarnya tidak menganggap penting Arab dan Islam. Bagi mereka yang terpenting adalah berlanjutnya kekuasaan zalim mereka yang muncul dari ketaatan terhadap kebijakan hegemoni Amerika.

Benar, sebagian dari penguasa zalim ini seperti Muammar Gaddafi berbalik 180 derajat dari pendukung blok Timur menjadi loyalis blok Barat. Sekalipun demikian, para penguasa zalim tidak pernah menemukan satu identitas bagi mereka sendiri. Hosni Mubarak, diktator Mesir yang dilengserkan rakyatnya dan Al Saud selama beberapa dekade berusaha keras mengontrol Liga Arab untuk menjamin kebijakan Amerika di Timur Tengah dan utara Afrika. Liga Arab juga pernah mendukung agresi Saddam Husein ke Iran hanya dengan alasan Saddam berasal dari etnis Arab. Namun Liga Arab pada tahun 2006 diam menyaksikan agresi brutal rezim Zionis Israel ke Lebanon yang jelas-jelas adalah satu dari negara Arab.

Bersamaan dengan kebangkitan rakyat di Timur Tengah dan utara Afrika, Liga Arab memulai babak baru kehidupannya. Babak yang seharusnya dapat menjadi awal sebuah organisasi yang lebih dinamis demi mempersatukan negara-negara Arab ataukah tetap menjadi sebuah organisasi yang pasif dan tunduk pada kebijakan AS. Reaksi Liga Arab terhadap transformasi Timteng sejak setahun lalu menunjukkan berlanjutnya sikap pasif dan pilih kasih organisasi ini.

Lengsernya Hosni Mubarak menjadi titik perubahan besar dan mendasar bagi Liga Arab. Mesir di masa kekuasaan Hosni Mubarak memainkan peran utama dalam pengambilan keputusan Liga Arab. Tumbangnya Hosni Mubarak membuat Arab Saudi dan Qatar yang menjadi ketua periodik Liga Arab berusaha memenuhi kekosongan yang ada guna mengontrol organisasi ini. Namun menyaksikan kebijakan kerajaan Arab Saudi dan Qatar yang masih juga bergerak dalam koridor politik Amerika, maka sudah barang tentu tidak akan ada perubahan dalam pengambilan keputusan di Liga Arab, pasca dimulainya gerakan Kebangkitan Islam di Timteng. Sikap berbeda yang didemonstrasikan Liga Arab menyikapi transformasi setahun lalu di Timteng menjadi bukti semua ini.

Reaksi Liga Arab terhadap transformasi yang terjadi di negara-negara seperti Yaman, Bahrain, Arab Saudi, dan Suriah menunjukkan organisasi ini masih tetap menjamin kepentingan Amerika. Bedanya, kali ini Liga Arab dinakhodai oleh Arab Saudi dan Qatar. Yaman dan Bahrain sebagai negara Arab dan Islam menghadapi gelombang Kebangkitan Islam. Rakyat kedua negara ini menuntut diakhirinya kekuasaan zalim yang diterapkan Ali Abdullah Saleh dan Al Khalifa.

Bila negara-negara Barat mengubah kebijakannya dalam mendukung kekuasaan Hosni Mubarak di Mesir dan Zine El Abidine di Tunisia, tapi dalam menyikapi kebangkitan rakyat Yaman dan Bahrain tidak ada tanda-tanda perubahan. Bukan hanya itu, negara-negara Barat bahkan mendukung aksi penumpasan rakyat di kedua negara ini. Ali Abdullah Saleh di Yaman dan Al Khalifa di Bahrain menggunakan segala cara untuk menumpas demonstrasi damai rakyatnya. Di sisi lain, rezim Al Saud juga tidak malu-malu lagi untuk terlibat langsung mendukung para penguasa zalim dua negara ini. Liga Arab juga mengambil langkah yang sama, tidak mereaksi serius aksi kekerasan di Yaman dan Bahrain. Hal ini tidak lain, karena Liga Arab sudah di bawah kontrol Arab Saudi dan Qatar.

Liga Arab hingga kini dalam transformasi Yaman dan Bahrain belum menyatakan dukungannya kepada rakyat. Namun pada saat yang sama mendukung rakyat Suriah yang melakukan protes terhadap pemerintahnya. Poin yang patut dicermati dalam hal ini, gerakan Liga Arab dalam menghadapi transformasi Suriah benar-benar sesuai dengan kebijakan Amerika. Qatar sebagai ketua periodik Liga Arab menawarkan diri menjadi mediator di Suriah, bahkan dalam sebagian sikapnya, Qatar mengancam akan mengeluarkan Suriah dari Liga Arab. Bahwa di Suriah sedang terjadi protes dan ketidakpuasan rakyat, tidak ada yang meragukan hal itu. Namun para pengamat politik menegaskan bahwa sekalipun ada protes, tapi jangan sampai membiarkan ketidakpuasan di Suriah ini sampai pada satu batas, dimana pihak-pihak asing melakukan campur tangan di sana.

Masalah Suriah sungguh harus dilihat berbeda dari negara-negara lain. Suriah berada di barisan terdepan dalam melawan rezim Zionis Israel. Oleh karenanya, diharapkan pemerintah Suriah mengambil sikap yang tepat dan tidak memberikan kesempatan kepada negara-negara Barat dan Zionis Israel memanfaatkan instabilitas dalam negara yang ada ini sebagai alasan untuk menerapkan tujuan hegemoninya di Timteng.

Sikap pasif dan pilih kasih yang ditunjukkan Liga Arab terkait transformasi di kawasan menunjukkan organisasi ini tengah menuju akhir umurnya. Karena bila kekuasaan di negara-negara Timur Tengah dipegang oleh rakyat dan menjadikan Islam sebagai dasar negaranya, maka dengan sendirinya pemikiran Pan-Arabisme bakal musnah. Bila hal itu terjadi, tidak ada lagi legitimasi untuk Liga Arab. Namun segalanya berbeda ketika pemerintahan baru di negara-negara Arab mampu mengambil alih kontrol Liga Arab dari rezim-rezim pendukung Barat dan mengaturnya lebih independen dan sesuai dengan aspirasi rakyat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar