Senin, 02 Juli 2012

Kesaksian Seorang Wartawan Indonesia atas Lepasnya Timor Timur dari Pangkuan Ibu Pertiwi




Menit-menit yang Luput dari Catatan Sejarah Indonesia

Sumber :http://moeflich.wordpress.com 

Kafil Yamin, wartawan kantor berita The IPS Asia-Pacific, Bangkok, dikirim ke Timor Timur pada tanggal 28 Agustus 1999 untuk meliput ‘Jajak Pendapat Timor-Timur’ yang diselenggarakan UNAMET [United Nations Mission in East Timor], 30 Agustus 1999. Berikut kesaksiannya  yang penting untuk diketahui bangsa Indonesia dan dunia umumnya.

(1)

Jajak pendapat itu, yang tidak lain dan tidak bukan adalah referendum, adalah buah dari berbagai tekanan internasioal kepada Indonesia yang sudah timbul sejak keruntuhan Uni Soviet tahun 1991. Belakangan tekanan itu makin menguat dan menyusahkan Indonesia. Ketika krisis moneter menghantam negara-negara Asia Tenggara selama tahun 1997-1999, Indonesia terkena. Guncangan ekonomi sedemikian hebat; berimbas pada stabilitas politik; dan terjadilah jajak pendapat itu.

Kebangkrutan ekonomi Indonesia dimanfaatkan oleh pihak Barat, melalui IMF dan Bank Dunia, untuk menekan Indonesia supaya melepas Timor Timur. IMF dan Bank Dunia bersedia membantu Indonesia lewat paket yang disebut bailout, sebesar US$43 milyar, asal Indonesia melepas Timtim.

Apa artinya ini? Artinya keputusan sudah dibuat sebelum jajak pendapat itu dilaksanakan. Artinya bahwa jajak pendapat itu sekedar formalitas.

Namun meski itu formalitas, toh keadaan di kota Dili sejak menjelang pelaksanan jajak pendapat itu sudah ramai nian. Panita jajak pendapat didominasi bule Australia dan Portugis. Wartawan asing berdatangan. Para pegiat LSM pemantau jajak pendapat, lokal dan asing, menyemarakkan pula – untuk sebuah sandiwara besar. Hebat bukan?

Sekitar Jam 1 siang, tanggal 28 Agustus 1999, saya mendarat di Dili. Matahari mengangkang di tengah langit. Begitu menyimpan barang-barang di penginapan [kalau tidak salah, nama penginapannya Dahlia, milik orang Makassar], saya keliling kota Dili. Siapapun yang berada di sana ketika itu, akan berkesimpulan sama dengan saya: kota Dili didominasi kaum pro-integrasi. Mencari orang Timtim yang pro-kemerdekaan untuk saya wawancarai, tak semudah mencari orang yang pro-integrasi.

Penasaran, saya pun keluyuran keluar kota Dili, sampai ke Ainaro dan Liquica, sekitar 60 km dari Dili. Kesannya sama: lebih banyak orang-orang pro-integrasi. Di  banyak tempat, banyak para pemuda-pemudi Timtim mengenakan kaos bertuliskan Mahidi [Mati-Hidup Demi Integrasi], Gadapaksi [Garda Muda Penegak Integrasi], BMP [Besi Merah Putih], Aitarak [Duri].

Setelah seharian berkeliling, saya berkesimpulan Timor Timur akan tetap bersama Indonesia. Bukan hanya dalam potensi suara, tapi dalam hal budaya, ekonomi, sosial, tidak mudah membayangkan Timor Timur bisa benar-benar terpisah dari Indonesia. Semua orang Timtim kebanyakan berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Para penyedia barang-barang kebutuhan di pasar-pasar adalah orang Indonesia. Banyak pemuda-pemudi Timtim yang belajar di sekolah dan universitas Indonesia, hampir semuanya dibiayai pemerintah Indonesia. Guru-guru di sekolah-sekolah Timtim pun kebanyakan orang Indonesia, demikian juga para petugas kesehatan, dokter, mantri.

Selepas magrib, 28 Agustus 1999, setelah mandi dan makan, saya duduk di lobi penginapan, minum kopi dan merokok. Tak lama kemudian, seorang lelaki berusia 50an, tapi masih terlihat gagah, berambut gondrong, berbadan atletis, berjalan ke arah tempat  duduk saya; duduk  dekat saya dan mengeluarkan rokok . Rupanya ia pun hendak menikmati rokok dan kopi.

Dia menyapa duluan: “Dari mana?” sapanya.

“Dari Jakarta,” jawabku, sekalian menjelaskan bahwa saya wartawan, hendak meliput jajak pendapat.

Entah kenapa, masing-masing kami cepat larut dalam obrolan. Dia tak ragu mengungkapkan dirinya. Dia adalah mantan panglima pasukan pro-integrasi, yang tak pernah surut semangatnya memerangi Fretilin [organisasi pro-kemerdekaan], “karena bersama Portugis, mereka membantai keluarga saya,” katanya. Suaranya dalam, dengan tekanan emosi yg terkendali. Terkesan kuat dia lelaki matang yang telah banyak makan asam garam kehidupan. Tebaran uban di rambut gondrongnya menguatkan kesan kematangan itu.

“Panggil saja saya Laffae,” katanya.

“Itu nama Timor atau Portugis?” Saya penasaran.

“Timor. Itu julukan dari kawan maupun lawan. Artinya ‘buaya’,” jelasnya lagi.

Julukan itu muncul karena sebagai komandan milisi, dia dan pasukannya sering tak terdeteksi lawan. Setelah lawan merasa aman, tiba-tiba dia bisa muncul di tengah pasukan lawannya dan melahap semua yang ada di situ. Nah, menurut anak buah maupun musuhnya, keahlian seperti itu dimiliki buaya.

Dia pun bercerita bahwa dia lebih banyak hidup di hutan, tapi telah mendidik, melatih banyak orang dalam berpolitik dan berorganisasi. “Banyak binaan saya yang sudah jadi pejabat,” katanya. Dia pun menyebut sejumlah nama tokoh dan pejabat militer Indonesia yang sering berhubungan dengannya.

Rupanya dia seorang tokoh. Memang, dilihat dari tongkrongannya, tampak sekali dia seorang petempur senior. Saya teringat tokoh pejuang Kuba, Che Guevara. Hanya saja ukuran badannya lebih kecil.

“Kalau dengan Eurico Guterres? Sering berhubungan?” saya penasaran.

“Dia keponakan saya,” jawab Laffae. “Kalau ketemu, salam saja dari saya.”

Cukup lama kami mengobrol. Dia menguasai betul sejarah dan politik Timtim dan saya sangat menikmatinya. Obrolan usai karena kantuk kian menyerang.

Orang ini menancapkan kesan kuat dalam diri saya. Sebagai wartawan, saya telah bertemu, berbicara dengan banyak orang, dari pedagang kaki lima sampai menteri, dari germo sampai kyai, kebanyakan sudah lupa. Tapi orang ini, sampai sekarang, saya masih ingat jelas.

Sambil berjalan menuju kamar, pikiran bertanya-tanya: kalau dia seorang tokoh, kenapa saya tak pernah mendengar namanya dan melihatnya? Seperti saya mengenal Eurico Gueterres, Taur Matan Ruak? Xanana Gusmao? Dan lain-lain? Tapi sudahlah.

(2)

Pagi tanggal 29 Agustus 1999
. Saya keluar penginapan hendak memantau situasi. Hari itu saya harus kirim laporan ke Bangkok. Namun sebelum keliling saya mencari rumah makan untuk sarapan. Kebetulan lewat satu rumah makan yang cukup nyaman. Segera saya masuk dan duduk. Eh, di meja sana saya melihat Laffae sedang dikelilingi 4-5 orang, semuanya berseragam Pemda setempat. Saya tambah yakin dia memang orang penting – tapi misterius.

Setelah bubar, saya tanya Laffae siapa orang-orang itu. “Yang satu Bupati Los Palos, yang satu Bupati Ainaro, yang dua lagi pejabat kejaksaan,” katanya. “Mereka minta nasihat saya soal keadaan sekarang ini,” tambahnya.

Kalau kita ketemu Laffae di jalan, kita akan melihatnya ‘bukan siapa-siapa’. Pakaiannya sangat sederhana. Rambutnya terurai tak terurus. Dan kalau kita belum ‘masuk’, dia nampak pendiam.

Saya lanjut keliling. Kota Dili makin semarak oleh kesibukan orang-orang asing. Terlihat polisi dan tentara UNAMET berjaga-jaga di setiap sudut kota. Saya pun mulai sibuk, sedikitnya ada tiga konferensi pers di tempat yang berbeda. Belum lagi kejadian-kejadian tertentu. Seorang teman wartawan dari majalah Tempo, Prabandari, selalu memberi tahu saya peristiwa-peristiwa yang terjadi.

Dari berbagai peristiwa itu, yang menonjol adalah laporan dan kejadian tentang kecurangan panitia penyelenggara, yaitu UNAMET. Yang paling banyak dikeluhkan adalah bahwa UNAMET hanya merekrut orang-orang pro-kemerdekaan di kepanitiaan. Klaim ini terbukti. Saya mengunjungi hampir semua TPS terdekat, tidak ada orang pro-integrasi yang dilibatkan.

Yang bikin suasana panas di kota yang sudah panas itu adalah sikap polisi-polisi UNAMET yang tidak mengizinkan pemantau dan pengawas dari kaum pro-integrasi, bahkan untuk sekedar mendekat. Paling dekat dari jarak 200 meter. Tapi pemantau-pemantau bule bisa masuk ke sektratriat. Bahkan ikut mengetik!

Di sini saya perlu mengungkapkan ukuran mental orang-orang LSM dari Indonesia, yang kebanyakan mendukung kemerdekaan Timtim karena didanai asing. Mereka tak berani mendekat ke TPS dan sekretariat, baru ditunjuk polisi UNAMET saja langsung mundur. Tapi kepada pejabat-pejabat Indonesia mereka sangat galak: menuding, menuduh, menghujat. Berani melawan polisi . Di hadapan polisi bule mereka mendadak jadi inlander betulan.

Tambah kisruh adalah banyak orang-orang pro-integrasi tak terdaftar sebagai pemilih. Dari 4 konferensi pers, 3 di antaranya adalah tentang ungkapan soal ini. Bahkan anak-anak Mahidi mengangkut segerombolan orang tua yang ditolak mendaftar pemilih karena dikenal sebagai pendukung integrasi.

Saya pun harus mengungkapkan ukuran mental wartawan-wartawan Indonesia di sini. Siang menjelang sore, UNAMET menyelenggarakan konferensi pers di Dili tentang rencana penyelenggaraan jajak pendapat besok. Saya tentu hadir. Lebih banyak wartawan asing daripada wartawan Indonesia. Saya yakin wartawan-wartawan Indonesia tahu kecurangan-kecurangan itu.

Saat tanya jawab, tidak ada wartawan Indonesia mempertanyakan soal praktik tidak fair itu. Bahkan sekedar bertanya pun tidak. Hanya saya yang bertanya tentang itu. Jawabannya tidak jelas. Pertanyaan didominasi wartawan-wartawan bule.

Tapi saya ingat betapa galaknya wartawan-wartawan Indonesia kalau mewawancarai pejabat Indonesia terkait dengan HAM atau praktik-praktik kecurangan. Hambatan bahasa tidak bisa jadi alasan karena cukup banyak wartawan Indonesia yang bisa bahasa Inggris. Saya kira sebab utamanya rendah diri, seperti sikap para aktifis LSM lokal tadi.

Setelah konferensi pers usai, sekitar 2 jam saya habiskan untuk menulis laporan. Isi utamanya tentang praktik-praktik kecurangan itu. Selain wawancara, saya juga melengkapinya dengan pemantauan langsung.

Kira-kira 2 jam setelah saya kirim, editor di Bangkok menelepon. Saya masih ingat persis dialognya:

“Kafil, we can’t run the story,” katanya.

“What do you mean? You send me here. I do the job, and you don’t run the story?” saya berreaksi.

“We can’t say the UNAMET is cheating…” katanya.

“That’s what I saw. That’s the fact. You want me to lie?” saya agak emosi.

“Do they [pro-integrasi] say all this thing because they know they are going to loose?”

“Well, that’s your interpretation. I’ll make it simple. I wrote what I had to and it’s up to you,”

“I think  we still can run the story but we should change it.”

“ I leave it to you,” saya menutup pembicaraan.

Saya merasa tak nyaman. Namun saya kemudian bisa maklum karena teringat bahwa IPS Asia-Pacific itu antara lain didanai PBB.

(3)

Pagi 30 Agustus 1999. Saya keliling Dili ke tempat-tempat pemungutan suara. Di tiap TPS, para pemilih antri berjajar. Saya bisa berdiri dekat dengan antrean-antrean itu. Para ‘pemantau’ tak berani mendekat karena diusir polisi UNAMET.

Karena dekat, saya bisa melihat dan mendengar bule-bule Australia yang sepertinya sedang mengatur barisan padahal sedang kampanye kasar. Kebetulan mereka bisa bahasa Indonesia: “Ingat, pilih kemerdekaan ya!” teriak seorang cewek bule kepada sekelompok orang tua yang sedang antre. Bule-bule yang lain juga melakukan hal yang sama.

Sejenak saya heran dengan kelakuan mereka. Yang sering mengampanyekan kejujuran, hak menentukan nasib sendiri. Munafik, pikir saya. Mereka cukup tak tahu malu.

Setelah memantau 4-5 TPS saya segera mencari tempat untuk menulis. Saya harus kirim laporan. Setelah mengirim laporan. Saya manfaat waktu untuk rileks, mencari tempat yang nyaman, melonggarkan otot. Toh kerja hari itu sudah selesai.

Sampailah saya di pantai agak ke Timur, di mana patung Bunda Maria berdiri menghadap laut, seperti sedang mendaulat ombak samudra. Patung itu bediri di puncak bukit. Sangat besar. Dikelilingi taman dan bangunan indah. Untuk mencapai patung itu, anda akan melewati trap tembok yang cukup landai dan lebar. Sangat nyaman untuk jalan berombongan sekali pun. Sepanjang trap didindingi bukit yang dilapisi batu pualam. Di setiap kira jarak 10 meter, di dinding terpajang relief dari tembaga tentang Yesus, Bunda Maria, murid-murid Yesus, dengan ukiran yang sangat bermutu tinggi.  Indah. Sangat indah.

Patung dan semua fasilitasnya ini dibangun pemerintah Indonesia. Pasti dengan biaya sangat mahal. Ya, itulah biaya politik.

Tak terasa hari mulai redup. Saya harus pulang.

Selepas magrib, 30 September 1999. Kembali ke penginapan, saya bertemu lagi dengan Laffae. Kali ini dia mendahului saya. Dia sudah duluan mengepulkan baris demi baris asap rokok dari hidung dan mulutnya. Kami ngobrol lagi sambil menikmati kopi.

Tapi kali ini saya tidak leluasa. Karena banyak tamu yang menemui Laffae, kebanyakan pentolan-pentolan milisi pro-integrasi.  Ditambah penginapan kian sesak. Beberapa pemantau nginap di situ. Ada juga polisi UNAMET perwakilan dari Pakistan.

Ada seorang perempuan keluar kamar, melihat dengan pandangan ‘meminta’ ke arah saya dan Laffae. Kami tidak mengerti maksudnya. Baru tau setelah lelaki pendampingnya bilang dia tak kuat asap rokok. Laffae lantas bilang ke orang itu kenapa dia jadi pemantau kalau tak kuat asap rokok. Kami berdua terus melanjutkan kewajiban dengan racun itu. Beberapa menit kemudian cewek itu pingsan dan dibawa ke klinik terdekat.

Saya masuk kamar lebih cepat. Tidur.

Pagi, 4 September 1999. Pengumuman hasil jajak pendapat di hotel Turismo Dili. Bagi saya, hasilnya sangat mengagetkan: 344.508 suara untuk kemerdekaan, 94.388 untuk integrasi, atau 78,5 persen berbanding 21,5 persen.

Ketua panitia mengumumkan hasil ini dengan penuh senyum, seakan baru dapat rezeki nomplok. Tak banyak tanya jawab setelah itu. Saya pun segera berlari mencari tempat untuk menulis laporan. Setelah selesai, saya balik ke penginapan.

Di lobi, Laffae sedang menonton teve yang menyiarkan hasil jajak pendapat. Sendirian. Saat saya mendekat, wajahnya berurai air mata. “Tidak mungkin. Ini tidak mungkin. Mereka curang..” katanya tersedu. Dia merangkul saya. Lelaki pejuang, segar, matang ini mendadak luluh. Saya tak punya kata apapun untuk menghiburnya. Lagi pula, mata saya saya malah berkaca-kaca, terharu membayangkan apa yang dirasakan lelaki ini. Perjuangan keras sepanjang hidupnya berakhir dengan kekalahan.

Saya hanya bisa diam. Dan Laffae pun nampaknya tak mau kesedihannya terlihat orang lain. Setelah beberapa jenak ia berhasil bersikap normal.

“Kota Dili ini akan kosong..” katanya. Pelan tapi dalam. “Setelah kosong, UNAMET mau apa.”

Telepon berbunyi, dari Prabandari Tempo. Dia memberi tahu semua wartawan Indonesia segera dievakuasi pakai pesawat militer Hercules, karena akan ada penyisiran terhadap semua wartawan Indonesia. Saya diminta segera ke bandara saat itu juga. Kalau tidak, militer tidak bertanggung jawab. Semua wartawan Indonesia sudah berkumpul di bandara, tinggal saya. Hanya butuh lima menit bagi saya untuk memutuskan tidak ikut. Saya bilang ke Prabandari:  “Saya bertahan. Tinggalkan saja saya.”

Laffae menguping pembicaraan. Dia menimpali: “Kenapa wartawan kesini kalau ada kejadian malah lari?” katanya. Saya kira lebih benar dia mikirnya.

Saya lantas keluar, melakukan berbagai wawancara, menghadiri konferensi pers, kebanyakan tentang kemarahan atas kecurangan UNAMET. “Anggota Mahidi saja ada 50 ribu; belum Gardapaksi, belum BMP, belum Halilintar, belum masyarakat yang tak ikut organisasi,” kata Nemecio Lopez, komandan milisi Mahidi.

Kembali ke penginapan sore, Laffae sedang menghadapi tamu 4-5 orang pentolan pro-integrasi. Dia menengok ke arah saya: “Kafil! Mari sini,” mengajak saya bergabung.

“Sebentar!” saya bersemangat. Saya tak boleh lewatkan ini. Setelah menyimpan barang-barang di kamar, mandi kilat. Saya bergabung. Di situ saya hanya mendengarkan. Ya, hanya mendengarkan.

“Paling-paling kita bisa siapkan seribuan orang,” kata ketua Armindo Soares, saya bertemu dengannya berkali-kali selama peliputan.

“Saya perlu lima ribu,” kata Laffae.

“Ya, lima ribu baru cukup untuk mengguncangkan kota Dili,” katanya, sambil menengok ke arah saya.

“Kita akan usahakan,” kata Armindo.

Saya belum bisa menangkap jelas pembicaraan mereka ketika seorang kawan memberitahu ada konferensi pers di kediaman Gubernur Abilio Soares. Saya segera siap-siap berangkat ke sana. Sekitar jam 7 malam, saya sampai di rumah Gubernur. Rupanya ada perjamuan. Cukup banyak tamu. Soares berbicara kepada wartawan tentang penolakannya terhadap hasil jajak pendapat karena berbagai kecurangan yang tidak bisa dimaklumi.

Setelah ikut makan enak, saya pulang ke penginapan sekitar jam 8:30 malam. Sudah rindu bersantai dengan Laffae sambil ditemani nikotin dan kafein. Tapi Laffae tidak ada. Anehnya, penginapan jadi agak sepi. Para pemantau sudah check-out, juga polisi-polisi UNAMET dari Pakistan itu. Tak banyak yang bisa dilakukan kecuali tidur.

Namun saat rebah, kantuk susah datang karena terdengar suara-suara tembakan. Mula-mula terdengar jauh. Tapi makin lama makin terdengar lebih dekat dan frekuensi tembakannya lebih sering. Mungkin karena perut kenyang dan badan capek, saya tertidur juga.

(4)

Tanggal 5 September pagi, sekitar jam 09:00, saya keluar penginapan. Kota Dili jauh lebi lengang. Hanya terlihat kendaraan-kendaraan UNAMET melintas di jalan. Tak ada lagi kendaraan umum. Tapi saya harus keluar. Apa boleh buat – jalan kaki. Makin jauh berjalan makin sepi, tapi tembakan nyaris terdengar dari segala arah. Sesiang ini, Dili sudah mencekam.

Tidak ada warung atau toko buka. Perut sudah menagih keras. Apa boleh buat saya berjalan menuju hotel Turismo, hanya di hotel besar ada makanan. Tapi segera setelah itu saya kembali ke penginapan. Tidak banyak yang bisa dikerjakan hari itu.

Selepas magrib 5 Setember 1999. Saya sendirian di penginapan. Lapar. Tidak ada makanan. Dili sudah seratus persen mencekam. Bunyi tembakan tak henti-henti. Terdorong rasa lapar yang sangat, saya keluar penginapan.

Selain mencekam. Gelap pula. Hanya di tempat-tempat tertentu lampu menyala. Baru kira-kira 20 meter berjalan, gelegar tembakan dari arah kanan. Berhenti. Jalan lagi. Tembakan lagi dari arah kiri. Tiap berhenti ada tarikan dua arah dari dalam diri: kembali atau terus. Entah kenapa, saya selalu memilih terus, karena untuk balik sudah terlanjur jauh. Saya berjalan sendirian; dalam gelap; ditaburi bunyi tembakan. Hati dipenuhi adonan tiga unsur: lapar, takut, dan perjuangan menundukkan rasa takut. Lagi pula, saya tak tau ke arah mana saya berjalan. Kepalang basah, pokoknya jalan terus.

Sekitar jam 11 malam, tanpa disengaja, kaki sampai di pelabuhan Dili. Lumayan terang oleh lampu pelabuhan. Segera rasa takut hilang karena di sana banyak sekali orang. Mereka duduk, bergeletak di atas aspal atau tanah pelabuhan. Rupanya, mereka hendak mengungsi via kapal laut.

Banyak di antara mereka yang sedang makan nasi bungkus bersama. Dalam suasa begini, malu dan segan saya buang ke tengah laut. Saya minta makan! “Ikut makan ya?” kata saya kepada serombongan keluarga yang sedang makan bersama. “Silahkan bang!.. silahkan!..” si bapak tampak senang. Tunggu apa lagi, segera saya ambil nasinya, sambar ikannya. Cepat sekali saya makan. Kenyang sudah, sehingga ada tenaga untuk kurang ajar lebih jauh: sekalian minta rokok ke bapak itu. Dikasih juga.

Sekitar jam 3 malam saya berhasil kembali ke penginapan.

Pagi menjelang siang, tanggal 6 September 1999. Saya hanya duduk di lobi penginapan karena tidak ada kendaraan. Tidak ada warung dan toko yang buka. Yang ada hanya tembakan tak henti-henti. Dili tak berpenghuni – kecuali para petugas UNAMET. Nyaris semua penduduk Dili mengungsi, sebagian via kapal, sebagian via darat ke Atambua.

Orang-orang pro-kemerdekaan berlarian diserang kaum pro-integrasi. Markas dan sekretariat dibakar. Darah tumpah lagi entah untuk keberapa kalinya.

Sekarang, saya jadi teringat kata-kata Laffae sehabis menyaksikan pengumuman hasil jajak pedapat kemarin: “Dili ini akan kosong..”

Saya pun teringat kata-kata dia: “Saya perlu lima ribu orang untuk mengguncang kota Dili..” Ya, sekarang saya berkesimpulan ini aksi dia. Aksi pejuang pro-integrasi yang merasa kehilangan masa depan. Ya, hanya saya yang tahu siapa tokoh utama aksi bumi hangus ini, sementara teve-teve hanya memberitakan penyerangan mililis pro-integrasi terhadap kaum pro-kemerdekaan.

Tentu, orang-orang pro-integrasi pun mengungsi. Laffae dan pasukannya ingin semua orang Timtim bernasib sama: kalau ada satu pihak yang tak mendapat tempat di bumi Loro Sae, maka semua orang timtim harus keluar dari sana. Itu pernah diucapkannya kepada saya.

Inilah hasil langsung jajak pendapat yang dipaksakan harus dimenangkan. Hukum perhubungan antar manusia saat itu sepasti hukum kimia: tindakan lancung dan curang pasti berbuah bencana.

***

Saya harus pulang, karena tidak banyak yang bisa dilihat dan ditemui. Untung masih ada omprengan yang mau mengantar ke bandara. Sekitar jam 11 pagi saya sampai di pelabuhan udara Komoro. Keadaan di bandara sedang darurat. Semua orang panik. Semua orang ingin mendapat tiket dan tempat duduk pada jam penerbangan yang sama. Karena hura-hara sudah mendekati bandara. Lagi pula penerbangan jam itu adalah yang satu-satunya dan terakhir.

Bule-bule yang biasanya tertib kini saling sikut, saling dorong sampai ke depan komputer penjaga kounter. Ada bule yang stres saking tegangnya sampai-sampai minta rokok kepada saya yg berdiri di belakang tenang-tenang saja. Beginilah nikmatnya jadi orang beriman.

Banyak yang tidak kebagian tiket. Entah kenapa saya lancar-lancar saja. Masuk ke ruangan tunggu, di situ sudah ada Eurico Gutteres. Saya hampiri dia, saya bilang saya banyak bicara dengan Laffae dan dia menyampaikan salam untuknya. Eurico memandang saya agak lama, pasti karena saya menyebut nama Laffae itu.

Sore, 7 November, 1999, saya mendarat di Jakarta.

(5)

Penduduk Timtim mengungsi ke Atambua, NTT. Sungguh tidak mudah mereka mengungsi. Polisi UNAMET berusaha mencegah setiap bentuk pengungsian ke luar Dili. Namun hanya sedikit yang bisa mereka tahan di Dili.

Di kamp-kamp pengungsian Atambua, keadaan sungguh memiriskan hati. Orang-orang tua duduk mecakung; anak-anak muda gelisah ditelikung rasa takut; sebagian digerayangi rasa marah dan dendam; anak-anak diliputi kecemasan. Mereka adalah yang memilih hidup bersama Indonesia. Dan pilihan itu mengharuskan mereka terpisah dari keluarga.

Pemerintah negara yang mereka pilih sebagai tumpuan hidup, jauh dari menyantuni mereka. Kaum milisi pro-integrasi dikejar-kejar tuntutan hukum atas ‘kejahatan terhadap kemanusiaan’, dan Indonesia, boro-boro membela mereka, malah ikut mengejar-ngejar orang Timtim yang memilih merah putih itu. Eurico Guterres dan Abilio Soares diadili dan dihukum di negara yang dicintai dan dibelanya.

Jendral-jendral yang dulu menikmati kekuasaan di Timtim, sekarang pada sembunyi. Tak ada yang punya cukup nyali untuk bersikap tegas, misalnya: “Kami melindungi rakyat Timtim yang memilih bergabung dengan Indonesia.” Padahal, mereka yang selalu mengajarkan berkorban untuk negara; menjadi tumbal untuk kehormatan pertiwi, dengan nyawa sekalipun.

Sementara itu, para pengungsi ditelantarkan. Tak ada solidaritas kebangsaan yang ditunjukkan pemerintah dan militer Indonesia.

Inilah tragedi kemanusiaan. Melihat begini, jargon-jargon negara-negara Barat, media asing, tentang ‘self determination’, tak lebih dari sekedar ironi pahit. Sikap negara-negara Barat dan para aktifis kemanusiaan internasional yang merasa memperjuangkan rakyat Timtim jadi terlihat absurd. Sebab waktu telah membuktikan bahwa yang mereka perjuangkan tak lebih tak kurang adalah sumberdaya alam Timtim, terutama minyak bumi, yang kini mereka hisap habis-habisan.

Pernah Laffae menelepon saya dari Jakarta, kira-kira 3 bulan setelah malapetaka itu. Ketika itu saya tinggal di Bandung. Dia bilang ingin ketemu saya dan akan datang ke Bandung. Saya sangat senang. Tapi dia tak pernah datang..saya tidak tahu sebabnya. Mudah-mudahan dia baik-baik saja.

(6-akhir)

12 tahun beralu sudah. Apa kabar bailout IMF yang 43 milyar dolar itu? Sampai detik ini, uang itu entah di mana. Ada beberapa percik dicairkan tahun 1999-2000, tak sampai seperempatnya. Dan tidak menolong apa-apa. Yang terbukti bukan mencairkan dana yang dijanjikan, tapi meminta pemerintah Indonesia supaya mencabut subsidi BBM, subsidi pangan, subsidi listrik, yang membuat rakyat Indonesia tambah miskin dan sengsara. Anehnya, semua sarannya itu diturut oleh pemerintah rendah diri bin inlander ini.

Yang paling dibutuhkan adalah menutupi defisit anggaran. Untuk itulah dana pinjaman [bukan bantuan] diperlukan. Namun IMF mengatasi defisit angaran dengan akal bulus: mencabut semua subsidi untuk kebutuhan rakyat sehingga defisit tertutupi, sehingga duit dia tetap utuh. Perkara rakyat ngamuk dan makin sengsara, peduli amat.

Melengkapi akal bulusnya itu IMF meminta pemerintah Indonesia menswastakan semua perusahaan negara, seperti Bank Niaga, BCA, Telkom, Indosat.

Pernah IMF mengeluarkan dana cadangan sebesar 9 milyar dolar. Tapi, seperti dikeluhkan Menteri Ekonomi Kwik Kian Gie ketika itu, seperak pun dana itu tidak bisa dipakai karena hanya berfungsi sebagai pengaman. Apa bedanya dengan dana fiktif?

Lagi pula, kenapa ketika itu pemerintah Indonesia seperti tak punya cadangan otak, yang paling sederhana sekalipun. Kenapa mau melepas Timtim dengan imbalan utang? Bukankan semestinya kompensasi? Adakah di dunia ini orang yang hartanya di beli dengan utang? Nih saya bayar barangmu. Barangmu saya ambil, tapi kau harus tetap mengembalikan uang itu. Bukankah ini sama persis dengan memberi gratis? Dan dalam kasus ini, yang dikasih adalah negara? Ya , Indonesia memberi negara kepada IMF secara cuma-cuma.

Kalau saya jadi wakil pemerintah Indonesia waktu itu, saya akan menawarkan ‘deal’ yang paling masuk akal: “Baik, Timor Timur kami lepas tanpa syarat. Ganti saja dana yang sudah kami keluarkan untuk membangun Timtim selama 24 tahun.” Dengan demikian, tidak ada utang piutang.

Sampai hari ini Indonesia masih menyicil utang kepada IMF, untuk sesuatu yang tak pernah ia dapatkan. Saya harap generasi muda Indonesia tidak sebodoh para pemimpin sekarang. (27 Januari 2011).

‘Ekonomi Komodo’



Ada yang menarik dari pernyataan Wakil Presiden Boediono di depan Wharton Global Alumni Forum, Jumat, 22 Juni 2012. Ia menyebut perekonomian Indonesia sudah berkembang seperti “komodo”. Bagi Boediono, ekonomi Indonesia sudah tumbuh menjadi raksasa dan lincah.


Konon, julukan ini diungkapkan pertamakali oleh majalah ekonomi paling bergengsi, The Economist. Yang jelas, dengan julukan ‘ekonomi komodo’ ini, ekonomi Indonesia dianggap telah berkembang besar, kuat, dan lincah. Watak ekonomi Indonesia disebut ulet (resilient), enteng hingga bisa mengapung (buoyant), tetapi juga gesit (agile).
Apakah julukan itu sesuai dengan kenyataan? Bagi Boediono, salah satu ukuran ketangguhan ekonomi Indonesia adalah kemampuannya survive dari krisis ekonomi tahun 2008. Bahkan, di tengah krisis yang melanda Eropa saat ini, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia masih tumbuh 6%.
Selain itu, satu hal yang dibanggakan oleh Boediono adalah capaian kinerja BUMN.  Menurutnya, banyak BUMN hasil privatisasi atau perusahaan publik telah memperlihatkan perbaikan kinerja dan profesionalisme. Bahkan, enam diantaranya sudah masuk daftar  “Fortune 500 Global Companies”.
Juga, kata Boediono, sektor keuangan Indonesia makin tangguh. Ia menganggap Indonesia memiliki sektor perbankan yang sangat baik dengan tingkat kesehatan yang cukup kuat. Indonesia memiliki 120 bank yang aktif di pasar.
Tentu saja, apa yang disampaikan Boediono patut dipertanyakan. Boediono kurang mengungkapkan faktor-faktor penyebab pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ia juga gagal menjelaskan keterkaitan pertumbuhan ekonomi dengan kesejahteraan rakyat: penyerapan tenaga kerja, penaikan pendapatan rakyat, dan ketersediaan/pemenuhan kebutuhan dasar.
Pertama, pertumbuhan ekonomi Indonesia banyak digerakkan oleh utang luar negeri. Hingga saat ini, utang luar negeri Indonesia sudah mencapai 1900 triliun. Versi lain menyebutkan, akumulasi utang luar negeri Indonesia sudah mencapai Rp 2.870 triliun atau mencapai 45 persen dari PDB.
Tingginya utang tentu bukan gejala yang positif. Apalagi, jika negara bersangkutan tidak memiliki kemampuan membayar. Biasanya, jurus jitu negara-negara yang tak sanggup membayar utang ini adalah privatisasi BUMN dan obral habis sumber daya alam. Kondisi ini tentu tidak positif bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan.
Negara yang ‘terperangkap utang’ akan dipaksa untuk terus menggenjot ekspornya—terutama ekspor bahan mentah—dan melakukan penghematan pada pengeluaran pemerintah dan belanja kesejahteraan sosial. Ini akan berakibat pada pemiskinan massa rakyat. Namun, pada aspek lain, sebagian besar sumber daya telah mengalir deras ke kantong-kantong negeri imperialis.
Kedua, faktor penggerak pertumbuhan ekonomi adalah konsumsi, khususnya konsumsi klas menengah ke atas. Akan tetapi, jika mengacu pada survei Kompas, nafsu konsumtif klas menengah ini sebagian besar dipicu oleh ‘gaya hidup’. Banyak diantara mereka hidup diluar kemampuannya alias ‘ngutang’.
Ketiga, penggerak pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah investasi asing. Patut dicatat, membanjirnya investasi asing di Indonesia juga disertai dengan ‘menguatnya penguasaan modal asing’ terhadap perekonomian nasional. Lihat saja, modal asing makin merajai penguasaan kekayaan alam dan aset-aset strategis kita: sektor migas (85-90%),  batubara (75%),  mineral (89%), perkebunan (50%), perbankan ( 50,6%), farmasi (80%), telekomunikasi (70%) dan lain-lain.
Keempat, pertumbuhan ekonomi Indonesia banyak disumbangkan oleh ekspor bahan mentah: batubara, minyak, bauksit, minyak kelapa sawit, dan karet. Ini tidak berbeda jauh dengan model ekspor di jaman kolonial. Kebiasaan ekspor bahan mentah ini juga membawa banyak kerugian: kehilangan nilai tambah, kehilangan lapangan pekerjaan, dan menghilangkan basis untuk pembangunan industri dalam negeri.
Dengan penjelasan di atas, sangat jelas bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia digerakkan oleh faktor-faktor berbahaya. Selain itu, hal itu juga menjelaskan bahwa struktur ekonomi Indonesia masih sangat kolonialistik. Inilah yang menjelaskan mengapa pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak mensejahterakan rakyat. Inilah yang gagal dipahami Boediono.

Indonesia Versus Churcill Mining



Kasus ini tidak terlalu mendapatkan perhatian luas media massa di negeri ini. Padahal, kasus ini merupakan pertaruhan harga diri sebuah bangsa di forum internasional. Sebuah korporasi asing telah mengajukan gugatan hukum terhadap Republik Indonesia (RI)  di forum arbitrase investasi internasional, tepatnya di International Centre for Settlement  of Investment Dispute(ICSID) Washington, Amerika Serikat. Nilai gugatannya tidak main-main: 2 Miliar US$.


Korporasi yang menggugat Indonesia itu adalah perusahaan tambang batubara  Inggris, Churcill Mining Plc. Perusahaan ini menggugat 6 pihak di Indonesia, yang kesemuanya adalah aparatur negara, yakni Presiden RI, Kementrian ESDM (Energi dan Sumber Daya mineral), Kementrian Kehutanan (Kemenhut), Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Kementrian Luar Negeri (Kemenlu) serta Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kutai Timur. Perusahaan ini menggugat pemerintah RI setelah izin usaha tambangnya dicabut oleh Bupati Kutai Timur, Isran Noor, beberapa tahun lalu.
Selain menggugat melalui ICSID, Churcill Mining juga telah mengirim surat pada Presiden SBY berisi tuntutan ganti rugi dan perlindungan hukum bagi pihak Churcill bila pemerintah Indonesia tidak ingin gugatan arbitrase Churcill dilanjutkan. Bayangkan, begitu gigihnya perusahaan asing ini membela kepentingannya sampai-sampai mereka berani mengirim surat bernuansa ‘ancaman’ terhadap kepala negara dari sebuah negara yang sejara de jure berdaulat.
Perilaku perusahaan internasional semacam ini memang tidak aneh bagi negara berkembang seperti Indonesia, yang memang sudah puluhan tahun berada dibawah ‘ketiak’ perusahaan-perusahaan multinasional. Lalu, seperti apakah duduk persoalan kasus ini sebenarnya?
Manipulasi Fakta
Kasus ini bermula dari  pencabutan izin kuasa pertambangan (KP)  milik 4 perusahaan tambang batubara yang tergabung dalam  Grup Ridhatama oleh Bupati Kutai Timur ditahun 2008. Keempat perusahaan ini, konon menurut klaim Churcill, mayoritas sahamnya (75%) dimiliki oleh mereka. Karena itulah mereka merasa dirugikan oleh kebijakan Bupati  tersebut.
Namun tidak pernah ada bukti konkret yang menunjukkan kepemilikan Churcill atas mayoritas saham dikeempat perusahaan itu. Bahkan dalam berkas gugatan yang diajukan ke ICSID pun, pihak Churcill tidak menunjukkan bukti tentang hal itu.
Disisi lain, pihak Ridhatama sendiri membantah klaim Churcill tersebut. Dalam suratnya kepada Bupati Kutai Timur tiga tahun lalu, pimpinan grup ini menyatakan bahwa Grup Ridhatama berikut keempat perusahaan tambang yang memiliki KP di Kutai Timur 100% dimiliki oleh pihak lokal. Hal ini juga sesuai dengan undang-undang pertambangan 1967 yang tidak memperbolehkan pihak asing memiliki KP, karena perusahaan asing telah diberi ‘wadah’ sendiri dalam industri tambang nasional, yakni Kontrak Karya/KK (mineral) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara/PKP2B (batubara). Jadi, klaim Churcill bahwa mereka memiliki konsesi di Kutai Timur tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Klaim Churcill itu juga dibantah oleh  Bupati Kutai Timur, Isran Noor. Ia menyatakan bahwa tidak pernah ada  hubungan hukum, kesepakatan maupun korespondensi  antara Pemkab Kutai Timur dengan Chrucill Mining.
Adapun permasalahan antara Churcill Mining dengan  Pemkab Kutai  Timur muncul setelah adanya perselisihan antara  perusahaan tersebut dengan mitra kerjanya, Grup Ridhatama tahun 2009  lalu.  Sejak itulah Churcill Mining  mengklaim memiliki investasi di Kutai Timur  dan melemparkan tuduhan pada pemkab Kutai Timur terkait kegagalan aktivitas bisnisnya di Kutai Timur.
Sementara itu, terkait dengan pencabutan izin KP milik grup Ridhatama, Pemkab Kutai Timur beralasan bahwa hal itu  didasari oleh laporan audit khusus Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengenai  KP-KP yang dikeluarkan pada tahun  2006-2008. Audit BPK ini dilaksanakan sejak September 2008 dan mengeluarkan hasil berupa laporan yang mengindikasikan adanya  lima KP yang palsu di Kabupaten Kutai Timur.
Kesimpulan BPK itu didasari oleh kode penomoran  KP yang terbalik dan  ternyata adalah kode penomoran  surat. Selain itu, KP-KP itu juga tidak terdaftar pada catatan yang ada pada dinas pertambangan maupun planologi Kutai Timur.
Masalah lainnya ialah areal tambang KP-KP  milik Ridhatama Grup itu juga bertumpang tindih dengan wilayah pertambangan yang telah dimiliki oleh perusahaan-perusahaan tambang yang tergabung  dalam Nusantara Grup milik Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto. Fakta ini juga telah dimanfaatkan oleh Churcill dalam penyebaran informasi sepihak demi kepentingan  mereka, bahwasanya pencabutan KP mereka (yang nyatanya milik Ridhatama) disebabkan oleh adanya pengaruh ‘orang kuat’ Indonesia. Yang dimaksud tentulah Prabowo.
Padahal, beberapa tahun sebelumnya pihak Nusantara Grup sendiri pernah melaporkan adanya penyerobotan lahan milik mereka  oleh Ridhatama Grup ke polisi resort Kutai Timur. Namun, laporan mereka di berikan Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP3) oleh kepolisian dengan alasan tidak ada tindak pidana dalam dugaan penyerobotan lahan tersebut.
Jadi hal ini kontradiktif  dengan klaim dari Churcill bahwa Nusantara Grup dimiliki oleh ‘orang kuat’. Karena ternyata ‘orang kuat’ itu tidak bisa mempengaruhi hukum untuk berpihak padanya.
Disamping laporan BPK, menurut  Pemkab Kutai Timur pencabutan KP-KP milik Ridhatama itu juga didasari oleh adanya  surat dari Menhut kepada dirinya yang menyatakan bahwa kegiatan keempat perusahaan Ridatama itu dilakukan diatas kawasan hutan produksi. Sementara menurut peraturan perundangan yang berlaku, aktivitas  pertambangan di hutan produksi hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin pinjam pakai dari Menhut.
Faktanya, Menhut tidak pernah mengeluarkan izin pinjam pakai kepada empat perusahaan itu. Karena itu Menhut meminta Pemkab Kutai Timur untuk membekukan kegiatan pertambangan  tersebut dan mencabut KP-KP dari perusahaan-perusahaan yang telah melakukan kegiatan tanpa izin pinjam pakai dari Menhut.
Oleh karena merasa ‘dilanggar’ hak-haknya, Grup Ridhatama pun  mengajukan gugatan terhadap Bupati Kutai Timur ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, bahkan hingga Mahkamah Agung. Dan gugatan mereka digugurkan pada semua level peradilan tersebut.
Dimana Pemerintah?
Jadi, dalam kasus ini terlihat ada kejanggalan terkait klaim Churcill  bahwa mereka memiliki saham diempat perusahaan Ridatama pemilik KP batubara yang dicabut izinnya oleh Bupati Kutai Timur. Bahkan, mereka pun mengklaim seluruh upaya hukum yang dilakukan Grup Ridatama di peradilan Indonesia dilakukan oleh mereka. Anehnya, kini mereka pun tengah bersengketa dengan pihak Ridatama di peradilan Tangerang.
Sebenarnya,  klaim Chrucill Mining atas kepemilikan 75% saham di keempat perusahaan tambang Ridhatama itu mereka ungkapkan pertama kali di tahun 2008, ketika harga saham  mereka yang tercatat di Alternative Investment Market (AIM)  meningkat dengan sangat tinggi. Peningkatan harga saham itu dipicu oleh pengumuman pihak Churcill bahwa mereka telah menemukan deposit batubara terbesar kedua di Indonesia dan terbesar ketujuh di dunia. Lokasi  deposit batubara itu ialah Kabupaten Kutai Timur.
Hal ini mengingatkan kita pada kasus Busang dahulu, dimana perusahaan tambang Kanada    Bre-X  mengumumkan telah menemukan deposit emas  yang sangat besar di Kutai Timur  sehingga harga saham mereka yang tercatat di bursa Kanada melonjak sangat tinggi.
Lalu,  bagaimanakah relasi sebenarnya  antara Churcill Mining dengan grup Ridhatama? Korelasi antara keduanya berawal ketika Churcill Mining membeli  100% saham PT Indonesia Development Coal (IDC) milik Andreas  Rinaldi yang tiada lain merupakan pemilik dari Grup Ridatama pada tahun 2006.  PT IDC ini menjadi perusahaan penanam modal asing (PMA) yang  mendapatkan surat persetujuan investasi dari  BKPM dengan bidang usaha  jasa penunjang pertambangan umum.
Jadi, IDC bukanlah perusahaan pertambangan, melainkan perusahaan jasa penambang atau kontraktor di area KP milik Grup Ridhatama. Hal ini juga turut membantah klaim Churcill yang menyatakan bahwa mereka memiliki investasi langsung di Kutai Timur. Yang memiliki investasi langsung ialah Grup Ridatama, dan bukannya Churcill.
Berdasarkan berbagai manipulasi fakta yang dilakukan Churcill, pihak Bupati  Kutai Timur pun merasa dalam posisi yang benar dan  siap melawan gugatan Churcill di forum ICSID.
“Saya akan melawan! Tidak ada negosiasi dengan mereka (Churcill), bagi saya haram hukumnya untuk negosiasi,” ujar Bupati Isran Noor dalam kesempatan Press Conference di kantor Asosiasi Pemerintah Kabupaten seluruh Indonesia (Apkasi), Jakarta (15/06/2012).
Sikap Bupati ini cukup berani, mengingat melawan gugatan korporasi multinasional di arbitrase internasional tidaklah mudah. Namun, sayangnya, keberanian yang sama tidak ditunjukkan (atau bahkan tidak dimiliki) oleh pihak pemerintah pusat. Hingga kini, belum pernah terdengar statement atau rencana yang jelas dari Presiden maupun para menteri yang turut menjadi tergugat dalam menghadapi korporasi yang berasal dari bekas negara penjajah dengan koloni terluas dimuka bumi itu.
Padahal, hal ini menyangkut harga diri, martabat bahkan kedaulatan bangsa, yang terus mau digerogoti oleh sebuah perusahaan asing yang berperilaku manipulatif. Bandingkan dengan sikap Presiden Venezuela  atau Presiden Argentina ketika menghadapi gugatan korporasi multinasional di arbitrase. Mereka berani ‘memasang badan’ demi menjaga kedaulatan negerinya masing-masing.
Kita memang hanya bisa malu sendiri bila karakter dan tabiat pemimpin negara kita dibanding-bandingkan dengan pemimpin negara lain yang jauh lebih berani dan progresif dalam menegakan kedaulatan negaranya.

HISKI DARMAYANA, Penulis adalah kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Sumedang dan kini bekerja di media berita tambang dan energi, Petromindo.com

Riwayat Proyek PT Freeport Indonesia




1936 
Ekspedisi Colijn, termasuk Jean-Jacques Dozy, merupakan kelompok luar pertama yang mencapai gunung gletser Jayawijaya dan menemukan Ertsberg.


1960 
Ekspedisi Freeport dipimpin Forbes Wilson & Del Flint menjelajah Ertsberg.
1963 
Serah terima Nederlands Nieuw-Guinea dari pihak Belanda ke PBB, yang pada gilirannya mengalihkannya ke Indonesia.
Rencana proyek tambang ditangguhkan akibat kebijaksanaan rezim Soekarno.
1966 
Peralihan kekuasaan penuh dari Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto. Pembentukan pemerintahan baru yang mendorong investasi sektor swasta serta langkah-langkah reformasi ekonomi lainnya.
Freeport diundang ke Jakarta untuk pembicaraan awal mengenai kontrak tambang di Ertsberg.
1967 
Penandatanganan Kontrak Karya untuk masa 30 tahun, yang menjadikan PTFI sebagai kontraktor eksklusif tambang Ertsberg di atas wilayah 10 km persegi.
1969 
Negosiasi kontrak penjualan jangka panjang dan perjanjian proyek pendanaan. Studi kelayakan selesai dan disetujui.
1970 
Pembangunan proyek berskala penuh dimulai.
1972 
Uji coba pengapalan pertama ekspor konsentrat tembaga dari Ertsberg.
1973 
Peluncuran proyek, dan lokasi kota dinamakan Tembagapura. Proyek Ertsberg mulai beroperasi.
1975 
Kegiatan eksplorasi dimulai atas cadangan bawah tanah tembaga pada Gunung Bijih Timur (GBT).
1976 
Pemerintah Indonesia membeli 8,5% saham PTFI dari Freeport Minerals Company dan investor lain.
1978 
Studi kelayakan proyek tambang bawah tanah GBT disetujui.
1981 
Tambang bawah tanah GBT mulai beroperasi.
1985 
Tambahan cadangan tembaga bawah tanah ditemukan di bawah tambang bawah tanah GBT.
1987 
Setelah mengalami beberapa kali pengembangan produksi rata-rata meningkat menjadi 16.400 ton/hari dua kali lipat dari rencana awal pada tahun 1967 cadangan total menjadi 100 juta ton metrik.
JJ. Dozy (kanan) bersama rekannya Frits J. Wissel dan pimpinan ekspedisi, Dr. Anton H. Coljin.
Tim Coljin memanfaatkan pesawat tua milik Batafsche Petroleum Maatschappij (BPM), sebuah perusahaan minyak.
Ekspedisi Wilson menggunakan 14 perahu kano dan 44 pendayung Kamoro untuk mengangkut manusia dan barang melalui Sungai Mawati ke arah hulu di kaki pegunungan.
Jan Ruygrok, anggota tim Wilson, seorang mantan AL Belanda, mengayuh pedal utnk generator listrik agar dapat menyalakan radio untuk mengirimkan laporan serta meminta bantuan logistik.
Ertsberg, 1967.
1988 
Cadangan Grasberg ditemukan, melipatgandakan cadangan total menjadi 200 juta ton metrik.
1989 
Perluasan hingga 32.000 ton/hari disetujui, dan kajian untuk perluasan hingga 52.000 selesai.
Pemerintah Indonesia mengeluarkan izin untuk melakukan eksplorasi tambahan di atas 61.000 hektar.
1990 
Pekerjaan konstruksi berlanjut atas perluasan hingga 52.000 ton/hari.
1991 
Penandatanganan Kontrak Karya baru dengan masa berlaku 30 tahun berikut dua kali perpanjangan 10 tahun ditandatangani bersama Pemerintah Indonesia.
Hingga akhir tahun, total cadangan berjumlah hampir 770 juta ton metrik.
1992 
Kajian perluasan hingga 90.000 ton/hari disetujui. Sementara produksi rata-rata sebesar 58.000 ton/hari, pekerjaan berlanjut untuk meningkatkan kapasitas hingga 66.000 ton/hari.
1993 
PTFI melakukan privatisasi atas beberapa aset non-tambang tertentu.
Peningkatan hingga 115.000 ton/hari disetujui.
FCX membeli RTM (pabrik peleburan di Spanyol).
Hingga akhir tahun, total cadangan mencapai hampir 1,1 miliar ton metrik.
1994 
Studi Dampak Lingkungan Hidup 160.000 ton/hari PTFI disetujui.
Pengumuman tentang usaha patungan pabrik peleburan PT Smelting di Gresik.
1995 
PTFI menandatangani kerjasama dengan Rio Tinto.
Kota baru di dataran rendah, Kuala Kencana, diresmikan.
Bersamaan dengan Konsentrator #3, peningkatan hingga 125.000 ton/hari yang melebihi rencana selesai sebelum waktunya dan di bawah anggaran.
Kegiatan eksplorasi berlanjut yang bersebelahan dengan kegiatan operasional mengidentifikasi daerah-daerah baru yang memiliki potensi mineralisasi yang signifikan, yakni "Segitiga Emas".
Penambahan tambang bawah tanah Grasberg meningkatkan cadangan menjadi 1,9 miliar ton metrik hingga akhir tahun.
1996 
Upaya eksplorasi memberi hasil sangat baik dengan penambahan cadangan Kucing Liar; hingga akhir tahun, total cadangan mencapai lebih 2 miliar ton metrik.
PTFI mulai ikut serta di dalam Rencana Pengembangan Timika Terpadu dari Pemerintah, dengan sumbangan satu persen dari pendapatan setiap tahun (dana 1%).
PTFI melakukan audit sosial dan lingkungan hidup secara sukarela dengan hasil yang positif.
Komitmen membangun sarana-sarana bagi Pemerintah Indonesia menghasilkan peningkatan pengamanan bagi personil dan kegiatan operasional.
Perluasan Konsentrator # 4 disetujui.
1997 
Audit Sosial oleh Labat Anderson diserahkan kepada PTFI dan Kementerian Lingkungan Hidup, dan revisi dilakukan terhadap penyelenggaraan FFIJD agar lebih tanggap terhadap kebutuhan pembangunan di desa-desa.
PTFI mendapatkan izin perluasan hingga 300.000 ton/hari.
Pekerjaan perluasan Konsentrator # 4 berlanjut.
Tambahan cadangan hingga akhir tahun terdiri dari 2,6x produksi tembaga dan 3x produksi emas untuk tahun 1997, terutama tambahan dari Kucing Liar.
1998 
PT Smelting yang 25% kepemilikannya dikuasai PTFI mulai beroperasi di Jawa Timur. PTFI memasok seluruh kebutuhan konsentratnya.
Perluasan Konsentrator #4 selesai dan mulai beroperasi. PTFI melakukan program operasional "Hunker Down and Go" (Bertahan dan Maju) di tengah iklim harga komoditas rendah, dengan mencapai rata-rata lebih 196.000 ton/hari, dan produksi logam mencapai rekor, serta biaya produksi tunai neto yang rendah.
Tambahan cadangan yang cukup signifikan berasal dari DOZ dan Kucing Liar meningkatkan cadangan total menjadi hampir 2,5 miliar ton metrik.
1999 
Audit Lingkungan Hidup oleh Montgomery-Watson selesai, yang menemukan bahwa sistem pengelolaan lingkungan hidup yang dikembangkan dan dilaksanakan oleh PTFI merupakan "teladan dan contoh bagi industri pertambangan."
Kegiatan operasional mencetak rekor produksi logam serta biaya tunai satuan.
Proyek bawah tanah DOZ dengan kapasitas 25,000 ton/hari disetujui dan diluncurkan.
2000 
MoU tentang sumber daya sosial ekonomi, HAM, hak ulayat, dan hak lingkungan hidup diumumkan oleh pimpinan LEMASA (lembaga masyarakat suku Amungme), LEMASKO (lembaga masyarakat suku Kamoro) dan PTFI.
Pembangunan tambang bawah tanah DOZ dimulai.
Produksi tembaga mencapai rekor dengan lebih 1,64 miliar pon tembaga.
2001 
FCX dan PTFI menandatangani perjanjian sukarela khusus Dana Perwalian bersama warga Amungme dan Kamoro yang tinggal dekat wilayah kegiatan tambang, dengan menyumbang jumlah awal sebesar $2,5 juta AS, dan selanjutnya $1 juta AS setiap tahun.
Tingkat produksi pabrik pengolahan (mill) mencapai rekor dengan hampir 238.000 ton/hari serta produksi emas rata-rata setiap tahun mencapai hampir 3,5 juta ons.
2002 
Produksi tembaga mencapai rekor dengan 1,8 miliar pon tembaga.
Tambang bawah tanah DOZ mencapai produksi berkelanjutan sebesar 25.000 ton/hari.
PTFI menyerahkan kepada Pemerintah Indonesia hasil kajian Penilaian Resiko Lingkungan Hidup dari sistem pengelolaan tailing yang menetapkan bahwa dampak lingkungan hidup sesuai dengan yang diperkirakan pada AMDAL 1997, dan disetujui oleh Pemerintah.
2003 
Peningkatan DOZ hingga 35.000 ton/hari disetujui dan selesai.
Peristiwa longsor di tambang terbuka Grasberg berdampak terhadap kegiatan Kuartal 4.
Biaya produksi tunai netto rata-rata mencatat rekor kredit sebesar 2¢ per pon tembaga.
2004 
2004 Kegiatan pembersihan di tambang terbuka Grasberg selesai, dan kegiatan operasional dilanjutkan dengan penambangan pada bagian berkadar tinggi tambang Grasberg. DOZ beroperasi pada tingkat 43.600 ton/hari, melebihi kapasitas rancangan sebesar 35.000 ton/hari; peningkatan hingga 50.000 ton/hari disetujui.
2005 
2005 Hasil berkadar tinggi dari Grasberg menyebabkan jumlah produksi yang hampir mencapai rekor sebesar 1,6 miliar pon tembaga dan 3,4 juta ons emas.
DOZ tetap beroperasi pada tingkat 42.000 ton/hari, melebihi kapasitas rancang.
Pengembangan cadangan Big Gossan disetujui.
Audit lingkungan hidup eksternal tiga tahunan yang dilakukan Montgomery-Watson-Harza menyimpulkan bahwa praktek pengelolaan lingkungan hidup perusahaan masih berdasarkan (dan dalam berbagai hal mewakili) praktek pengelolaan terbaik untuk industri pertambangan tembaga dan emas secara internasional.
2006 
PTFI mencatat rekor hasil keuangan akibat harga tembaga dan emas mencapai tingkat tertinggi setelah beberapa tahun.
DOZ beroperasi pada tingkat 45.000 tpd, di atas kapasitas desain awal.
PTFI juga mencatat rekor triwulan dengan tingkat mill mencapai 246.500 tpd.
2007 
Dengan pasar komoditas dunia yang menguat, PTFI kembali membukukan rekor hasil keuangan. PTFI juga mencatat beberapa pencapaian lain, termasuk tingkat operasi pertambangan DOZ kali ini mencapai 53.500 tpd, dan tingkat recovery di mill mencapai 90,5%.
Ekspansi DOZ menuju 50.000 tpd dicapai pada pertengahan 2007.
Audit resertifikasi ISO14001 selesai.
2008 
Setelah triwulan pertama dengan harga-harga komoditas yang kuat, hasil keuangan PTFI mengalami penurunan yang mendadak akibat harga komoditas dan kondisi ekonomi yang terjadi mulai pertengahan September. Volume menunjukkan akses yang terbatas kepada bagian high-grade dari Grasberg pit sebagai akibat dari slip skala kecil yang terhadi pada awal September.