Selasa, 17 April 2012

Penjelasan Tentang Timor Leste 1975



Timor Leste 1975

Sejarah Timor Leste berawal dengan kedatangan orang Australoid dan Melanesia. Orang dari Portugal mulai berdagang dengan pulau Timor pada awal abad ke-16 dan menjajahnya pada pertengahan abad itu juga. Setelah terjadi beberapa bentrokan dengan Belanda, dibuat perjanjian pada 1859 di mana Portugal memberikan bagian barat pulau itu. Jepang menguasai Timor Timur dari 1942 sampai 1945, namun setelah mereka kalah dalam Perang Dunia II Portugal kembali menguasainya.
Pada tahun 1975, ketika terjadi Revolusi Bunga di Portugal dan Gubernur terakhir Portugal di Timor Leste, Lemos Pires, tidak mendapatkan jawaban dari Pemerintah Pusat di Portugal untuk mengirimkan bala bantuan ke Timor Leste yang sedang terjadi perang saudara, maka Lemos Pires memerintahkan untuk menarik tentara Portugis yang sedang bertahan di Timor Leste untuk mengevakuasi ke Pulau Kambing atau dikenal dengan Pulau Atauro. Setelah itu FRETILIN menurunkan bendera Portugal dan mendeklarasikan Timor Leste sebagai Republik Demokratik Timor Leste pada tanggal 28 November 1975.
Menurut suatu laporan resmi dari PBB, selama berkuasa selama 3 bulan ketika terjadi kevakuman pemerintahan di Timor Leste antara bulan September, Oktober dan November, Fretilin melakukan pembantaian terhadap sekitar 60.000 penduduk sipil (sebagian besarnya wanita dan anak-anak karena para suami mereka adalah pendukung faksi integrasi dengan Indonesia). Dalam sebuah wawancara pada tanggal 5 April 1977 dengan Sydney Morning Herald, Menteri Luar Negeri Indonesia Adam Malik mengatakan bahwa "jumlah korban tewas berjumlah 50.000 orang atau mungkin 80.000". Tak lama kemudian, kelompok pro-integrasi mendeklarasikan integrasi dengan Indonesia pada 30 November 1975 dan kemudian meminta dukungan Indonesia untuk mengambil alih Timor Leste dari kekuasaan FRETILIN yang berhaluan Komunis.
Ketika pasukan Indonesia mendarat di Timor Leste pada tanggal 7 Desember 1975, FRETILIN didampingi dengan ribuan rakyat mengungsi ke daerah pegunungan untuk untuk melawan tentara Indonesia. Lebih dari 200.000 orang dari penduduk ini kemudian mati di hutan karena pemboman dari udara oleh militer Indonesia serta ada yang mati karena penyakit dan kelaparan. Banyak juga yang mati di kota setelah menyerahkan diri ke tentara Indonesia, namun Tim Palang Merah International yang menangani orang-orang ini tidak mampu menyelamatkan semuanya.
Selain terjadinya korban penduduk sipil di hutan, terjadi juga pembantaian oleh kelompok radikal FRETILIN di hutan terhadap kelompok yang lebih moderat. Sehingga banyak juga tokoh-tokoh FRETILIN yang dibunuh oleh sesama FRETILIN selama di Hutan. Semua cerita ini dikisahkan kembali oleh orang-orang seperti Francisco Xavier do Amaral, Presiden Pertama Timor Lesta yang mendeklarasikan kemerdekaan Timor Leste pada tahun 1975.
Seandainya Jenderal Wiranto (pada waktu itu Letnan) tidak menyelamatkan Xavier di lubang tempat dia dipenjarakan oleh FRETILIN di hutan, maka mungkin Xavier tidak bisa lagi jadi Ketua Partai ASDT di Timor Leste Sekarang.
Selain Xavier, ada juga komandan sektor FRETILIN bernama Aquiles yang dinyatakan hilang di hutan (kemungkinan besar dibunuh oleh kelompok radikal FRETILIN). Istri komandan Aquilis sekarang ada di Baucau dan masih terus menanyakan kepada para komandan FRETILIN lain yang memegang kendali di sektor Timur pada waktu itu tentang keberadaan suaminya.
Selama perang saudara di Timor Leste dalam kurun waktu 3 bulan (September-November 1975) dan selama pendudukan Indonesia selama 24 tahun (1975-1999), lebih dari 200.000 orang dinyatakan meninggal (60.000 orang secara resmi mati di tangan FRETILN menurut laporan resmi PBB). Selebihnya mati ditangan Indonesia saat dan sesudah invasi dan adapula yang mati kelaparan atau penyakit. Hasil CAVR menyatakan 183.000 mati di tangan tentara Indonesia karena keracunan bahan kimia dari bom-bom napalm, serta mortir-mortir.
Timor Leste menjadi bagian dari Indonesia tahun 1976 sebagai provinsi ke-27 setelah gubernur jendral Timor Portugis terakhir Mario Lemos Pires melarikan diri dari Dili setelah tidak mampu menguasai keadaan pada saat terjadi perang saudara. Portugal juga gagal dalam proses dekolonisasi di Timor Portugis dan selalu mengklaim Timor Portugis sebagai wilayahnya walaupun meninggalkannya dan tidak pernah diurus dengan baik.
Amerika Serikat dan Australia "merestui" tindakan Indonesia karena takut Timor Leste menjadi kantong komunisme terutama karena kekuatan utama di perang saudara Timor Leste adalah Fretilin yang beraliran Marxis-Komunis. AS dan Australia khawatir akan efek domino meluasnya pengaruh komunisme di Asia Tenggara setelah AS lari terbirit-birit dari Vietnam dengan jatuhnya Saigon atau Ho Chi Minh City.
Namun PBB tidak menyetujui tindakan Indonesia. Setelah referendum yang diadakan pada tanggal 30 Agustus 1999, di bawah perjanjian yang disponsori oleh PBB antara Indonesia dan Portugal, mayoritas penduduk Timor Leste memilih merdeka dari Indonesia. Antara waktu referendum sampai kedatangan pasukan perdamaian PBB pada akhir September 1999, kaum anti-kemerdekaan yang konon didukung Indonesia mengadakan pembantaian balasan besar-besaran, di mana sekitar 1.400 jiwa tewas dan 300.000 dipaksa mengungsi ke Timor barat. Sebagian besar infrastruktur seperti rumah, sistem irigasi, air, sekolah dan listrik hancur.
Pada 20 September 1999 pasukan penjaga perdamaian International Force for East Timor (INTERFET) tiba dan mengakhiri hal ini. Pada 20 Mei 2002, Timor Timur diakui secara internasional sebagai negara merdeka dengan nama Timor Leste dengan sokongan luar biasa dari PBB. Ekonomi berubah total setelah PBB mengurangi misinya secara drastis.
Semenjak hari kemerdekaan itu, pemerintah Timor Leste berusaha memutuskan segala hubungan dengan Indonesia antara lain dengan mengadopsi Bahasa Portugis sebagai bahasa resmi dan mendatangkan bahan-bahan kebutuhan pokok dari Australia sebagai "balas budi" atas campur tangan Australia menjelang dan pada saat referendum. Selain itu pemerintah Timor Leste mengubah nama resminya dari Timor Leste menjadi Republica Democratica de Timor Leste dan mengadopsi mata uang dolar AS sebagai mata uang resmi yang mengakibatkan rakyat Timor Leste menjadi lebih krisis lagi dalam hal ekonomi.


Sumber :Info Dunia Militer

Dampak Negatif Kontrak Karya Freeport Yang Merugikan Negara 10.000 Triliun Per Triwulan



Freeport masuk ke Indonesia dengan fasilitas Presiden Soeharto. Penguasa orde baru itu membuat kontrak karya atau persetujuan pada tahun 1967 dengan perusahaan Amerika Serikat untuk menggarap tambang emas yang berada di Irian Jaya (sekarang Papua). Kontrak karya dengan Freeport pada tahun 1967 yang ditandatangani pemerintah di bawah kekuasaan Presiden Suharto itu bisa dipertanyakan keabsahannya, mengingat antara tahun 1963 sampai 1969, Irian Barat (ketika itu) sedang menjadi daerah perselisihan internasional (international dispute region).


Apa yang telah dikerjakan oleh pemerintahan Orde Baru dan diteruskan oleh pemerintahan sesudahnya, hingga pemerintahan SBY, nyata-nyata bertentangan dengan tujuan Trikora Presiden Soekarno, yakni untuk membebaskan Papua dari penjajahan dan menyatukannya dengan RI. Selama 44 tahun, PT Freeport menggarap tambang emas di tanah Papua dengan hanya memberikan secuil saham ke pihak Indonesia. Tentu saja, ini tidak sebanding dengan keuntungan yang diraup Freeport.
Gencarnya perlawanan masyarakat Papua dan tajamnya kritik berbagai kalangan di Indonesia mengenai Freeport mengharuskan pemerintah SBY mengambil tindakan yang mendasar. Tentu saja untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang sudah dilakukan sejak puluhan tahun oleh Orde Baru. Perlakuan yang lebih adil bagi kepentingan masyarakat Papua adalah kunci penyelesaian masalah yang semakin rumit ini. Untuk itu, pemerintah SBY harus berani memaksakan peninjauan kembali kontrak karya dengan Freeport, sehingga kehadirannya di Papua betul-betul ikut mendatangkan keadilan dan kemakmuran bagi masyarakat Papua dan juga bagi negara dan rakyat Indonesia lainnya.
Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies Marwan Batubara mengatakan, potensi kerugian negara dari kontrak karya pertambangan dengan PT Freeport diperkirakan mencapai Rp 10.000 triliun. Marwan mengklaim, PT Freeport selama ini hanya membayar royalti sebesar 1 persen. Padahal, sesuai aturan, PT Freeport harus membayar royalti kepada pemerintah sebesar 3 persen. Selain itu, ada dugaan pajak yang dibayarkan kepada pemerintah terlalu kecil dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh perusahaan tambang Amerika itu.
“Jadi, kita tidak bicara royalti saja, yang paling penting adalah pajaknya, benar tidak? Karena pajak itu kan dihitung dari laba. Pajak itu dari keuntungan, bukan pendapatan, kalau keuntungan artinya sudah dipotong biaya operasional. Kalau biaya operasionalnya mereka tinggi-tinggikan, gaji direktur orang Amerika misalnya 1 juta dolar per tahun, kita tidak bisa apa-apa. Nah itulah yang kita dapat selama ini,” ujarnya di Jakarta.
Marwan Batubara menambahkan, kontrak karya pertambangan dengan PT Freeport merupakan salah satu kontrak karya yang merugikan Indonesia. Karena itu, penerintah harus bernegosiasi ulang kontrak karya tersebut. Salah satu poin penting yang harus dimasukkan dalam negosiasi ulang adalah penempatan wakil dari pemerintah Indonesia sebagai salah satu direktur. Posisi ini penting agar Indonesia tidak selalu dirugikan dalam setiap kebijakan yang diambil PT Freeport.
Sementara itu, Anggota Komisi VII DPR Chandra Tirta Wijaya mengatakan penerimaan PT Freeport Indonesia yang mengoperasikan tambangnya di Tembagapura, Papua masih tiga kali lipat lebih besar daripada penerimaan pemerintah melalui pajak, royalti, dan dividen yang diberikan PT Freeport selama ini. “Penerimaan pemerintah dari pajak, royalti, dan dividen PT Freeport jauh lebih rendah dari yang diperoleh PT Freeport,” kata Chandra di gedung DPR. Menurutnya, sejak tahun 1996 pemerintah Indonesia hanya menerima 479 juta dolar AS, sedangkan Freeport menerima 1,5 miliar dolar AS. Kemudian, di tahun 2005, pemerintah hanya menerima 1,1 miliar dolar AS. Sedangkan pendapatan Freeport (sebelum pajak) sudah mencapai 4,1 miliar dolar AS. Chandra menjelaskan, PT Freeport sejauh ini hanya memberikan royalti bagi pemerintah senilai 1 persen untuk emas, dan 1,5 persen-3,5 persen untuk tembaga. Royalti ini jelas jauh lebih rendah dari negara lain yang biasanya memberlakukan 6 persen untuk tembaga dan 5 persen untuk emas dan perak.
Kisruh Papua yang berkepanjangan, diduga sangat terkait dengan penolakan PT Freeport Indonesia terhadap proposal renegosiasi kontrak karya pertambangan. Intinya, Berdasarkan rumor yang berkembang belakangan ini ada sekitar tiga perusahaan tambang yang tidak setuju renegosiasi kontrak karya, diantaranya PT Freeport Indonesia. Seperti diketahui, saat ini PT Freeport Indonesia hanya menyetor royalti 1% saja kepada pemerintah Indonesia. Padahal berdasarkan aturan dan ketentuan yang berlaku adalah 3,75%. Tentu saja pemerintah mengusulkan renegosiasi. Dan sebab itu kepentingan Freeport merasa terganggu.
Yang jelas perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS), Freeport-McMoran, sudah mengumumkan kondisi force majeure untuk pengapalan produk pertambangan dari tambang emas dan tembaga di Indonesia. Pengumuman kondisi force majeure itu, berarti Freeport bisa menghindari denda biasanya karena gagal memenuhi kewajiban sesuai kontrak. Masalah kerusuhan di Freeport sangat dimungkinkan juga tidak jauh dari modus untuk memenangkan renegosiasi oleh Freeport.
Pola-pola kisruh di Papua selalu berulang dan memiliki modus. Beberapa periode ini, terjadi upaya melakukan perbaikan renegosiasi kontrak dengan Freeport. Tapi pada saat yang bersamaan muncul huru-hara seperti sekarang. Ada penembakan-penembakan. Munculnya masalah-masalah di Papua tak bisa dilepaskan begitu saja. Apalagi ketika terkait renegosiasi seperti sekarang ini, peristiwa kisruh muncul. Ini jelas berpola. Kasus seperti ini sudah terjadi tiga atau empat tahun lalu, dan terus berulang.
Pemerintah AS sangat berkepentingan dengan Freeport dan tambang lainnya. Dulu soal Blok Cepu, Presiden Bush terus melobi SBY. Bahkan, untuk memastikan keberhasilan untuk mendapatkan Blok Cepu, Condoliza Rice diutus secara khusus untuk melindungi dan mendapatkan kepentingan AS di Cepu. Soal force majeure itu bisa saja dilakukan. Tapi masalahnya, yang paling penting adalah pemerintah harus bisa mendapatkan royati yang lebih tinggi. Karena royalti yang sekarang ini jelas-jelas merugikan negara.
Hal yang sama juga dikatakan Ketua Presidium Masyarakat Pertambangan Indonesia, Herman Afif Kusumo, masyarakat sekarang ini tidak mudah ditipu oleh kebohongan AS. “Bohong kalau pemerintah AS atau bisnis AS tak terlibat. Sekarang masyarakat makin tahu, royalti yang diterima sangat kecil,” terangnya. Herman juga tak mempercayai renegosiasi bisa selesai hanya pada tingkat manajemen Freeport dan Dirjen Pertambangan. “Omong kosong kalau renegosiasi akan ketemu dengan pertemuan dua pihak (pemerintah dan Freeport). Harus menteri dan presiden kedua negara yang turun tangan. Masalahnya kita kecewa banyak tokoh kita yang justru melindungi asing,” ungkapnya.
Anggota Komisi I DPR F-PKB, Effendy Choirie mengakui kemungkinan kisruh Papuan ini, bisa saja terkait dengan penolakan renegosiasi kontrak karya PT Freeport dan masalah pelaksanaan otonomi khusus Papua. “Saya juga menduga ke arah itu, bisa saja ada kaitanya denga renegosiasi kontrak karya. Apalagi renegosiasi kontrak ini dengan Freeport paling alot,” jelasnya. Lebih jauh kata Gus Choi, dengan adanya renegosiasi ini memang kepentingan AS secara jangka panjang akan terganggu. Apalagi saat ini AS sedang mengalami krisis. Sehingga membutuhkan “energi” untuk mendorong pertumbuhan ekonominya. Konflik Papua yang terus memanas ini tanggung jawab SBY. Ditambah lagi, rakyat Papua menolak Gunung Nabire yang mengandung tambang emas itu dikelola oleh Freeport. “Kenapa penolakan ini terus dibiarkan,”terangnya.
Sebelumnya, Juru bicara Freeport Indonesia, Ramdani Sirait mengakui adanya status force majeure. Alasannya, aksi mogok kerja oleh Serikat Pekerja PT Freeport Indonesia telah berdampak terhadap produksi dan pengapalan konsentrat. Pihaknya telah bekerja sama secara kooperatif dengan para pembeli kami berdasarkan perubahan jadwal produksi dan pengapalan konsentrat Freeport. “Produksi konsentrat yang lebih rendah tersebut berdampak terhadap kemampuan kinerja kami untuk memenuhi komitmen-komitmen penjualan kami secara optimal, dan sebagai akibatnya kami terpaksa menyatakan force majeure terhadap perjanjian-perjanjian penjualan konsentrat yang terkena dampak tersebut,” ujarnya
Diperkirakan ada 8.000 dari total 23.000 pekerja Freeport telah melakukan pemogokan kerja selama lebih dari 1 bulan di tambang yang berlokasi di Papua. Produksi emas dan tembaga Freeport dari tambang Grasberg di Papua mengalami penurunan sepanjang kuartal III-2011. Produksi tembaga di Papua sepanjang kuartal III-2011 mencapai 233 juta pounds. Turun 34% dibanding periode yang sama di2010 yang mencapai 358 juta pounds.
Sebelumnya pemerintah melalui Wakil Menteri ESDM, Widjajono Partowidagdo menyampaikan, renegosiasi Kontrak Karya Pertambangan dan PKP2B memang harus mengikuti peraturan baru yang ditetapkan pemerintah. Jika tidak mau, maka pemerintah menuntut perusahaan tambang blak-blakan soal pendapatanya. “Jangan mau kalah sama orang asing, yang pegang keputusan di kita harus mengerti permasalahan,” cetus Guru Besar ITB itu. “Kan sudah ada peraturannya. Kita juga punya alasan untuk membuat peraturan itu. Renegosiasi itu kan amanat UU 4/2009 kan diamanatkan dalam ketentuan yang sebelumnya harus disesuaikan dengan UU. Jadi kalau tadi pertambangan ada yang royalti 1% itu ya harus ikuti ketentuan sekarang,” ungkapnya
Sumber :Info Dunia Militer