Jumat, 02 Maret 2012

The Power of Oil: Skema Keramat Elit AS dan Sekutu






Isyarat Guilford dalam buku Energy Policy (1973) berintikan, apabila menyangkut minyak maka lebih kental nuansa politik (90%) dan 10% sisanya perihal teknis minyak itu sendiri. When it comes to oil is 90% all about politics and 10% its about oil it self. 
Dijelaskan oleh Dirgo D. Purbo, konsultan dan pakar perminyakan Indonesia, bahwa 10% teknis itu meliputi data produksi, production ratereservoir pressuredrillingdan lainnya. Semua hal teknis cuma sekedar aspek pada tataran subsurface, sedang masalah politik berada di surface (permukaan). Jelas sudah, bahwa aspek minyak senantiasa mewarnai kebijakan pemerintahan dimanapun baik luar maupun dalam negeri, terutama kebijakan kelompok negara penghasil minyak, apalagi bagi negara-negara yang memiliki tingkat ketergantungan tinggi terhadap minyak (negara industri). 
Tulisan dibawah ini adalah kajian sederhana dalam rangka mencermati dinamikapower of oil sebagai penyebab “panas”-nya suhu politik global.
Tak bisa dipungkiri, gejolak yang melanda Jalur Sutra (Timur Tengah dan Afrika Utara) oleh media-media mainstream milik Barat dipotret sebagai “Musim Semi Arab” atau Arab Spring. Musimnya demokrasi. Kelahirannya mirip ketika media Barat dulu menamai gejolak massa era 2000-an di Eropa Timur (Pakta Warsawa) dengan sebutan “Revolusi Warna”. 
Dalam perspektif politik global, Arab Spring ataupun Revolusi Warna hanyalah TEMA guna mengelabuhi publik serta semacam legitimasi bagi aksi-aksi kolonialisme yang hendak dijalankan oleh suatu negara. 
Ya. Ada hidden agenda dibalik open agenda. Sebagai contoh tatkala Arab Springmerambah ke Iran, seketika tema pun berganti. Temanya berbeda sewaktu aksi massa menggoyang Tunisia, Yaman dan Mesir. Pergantian tema di Iran tampak mencolok dari sebelumnya soal korupsi, menegakkan demokrasi dan melawan pemimpin tirani berubah total menjadi “isue nuklir”.
Pada akhirnya, hidden agenda melalui gerakan massa dapat diungkap para peneliti dari Central for Research on Globalization (CRG), Kanada, bahwa sesungguhnya telah tergambar sebelumnya tentang roadmap dari Desain Militer Global di Pentagon bertajuk “Penaklukan Dunia”. Roadmap tersebut dimulai dari Irak, Suriah, Lebanon, Libya, Iran, Somalia dan Sudan. 
Sedang menurut dokumen Sentral Komando 1995 yang dideklasifikasikan AS, target pertama memang Irak. Tampaknya “target pertama” telah dikerjakan oleh Bush Jr tahun 2003 di Negeri 1001 Malam. 
Penelitian Tony Cartalucci dari CRG mengungkap, ternyata National Endowment for Democracy (NED) berada dibalik semua gerakan massa bertitel Revolusi Warna di Eropa Timur dan Musim Semi di Jalur Sutra yang kini terjadi. 
Ia adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menerima kucuran dana sekitar 100 juta USD dari Kongres AS, termasuk Freedom House (FH) mendapat bagian uang dari pemerintah terutama dari Departemen Luar Negeri. Selain NED dan FH tadi, juga terdapat LSM lain mengoperatori gerakan seperti International Republican Institute(IRI) dan National Democratic Institute (NDI) dan lain-lain. 
Singkat kata, penelitian Cartalucci menyebut bahwa LSM Otpor-lah yang dulu bermain di Eropa Timur berkedok LSM pelatihan gerakan tanpa kekerasan, sedangkan di Jalur Sutra adalah Central Applied Non Violent Action and Strategic (CANVAS). Keduanya anak organisasi dari NED, sang LSM spesial ganti rezim. Lambang dan simbol gerakan pun sama yakni Tangan Mengepal atau Kepalan Tinju. 
Ditambahkan oleh Cartalucci, bahwa Otpor  membubarkan diri setelah berhasil memporak-porandakan Eropa Timur, akan tetapi satu dekade kemudian ia muncul kembali dengan nama CANVAS dan sekarang menjadi operator gejolak massa di Jalur Sutra. Hebat! Methode non kekerasan yang ia mainkan mampu membuat lengser Ben Ali di Tunisia, Mobarak di Mesir dan Saleh di Yaman.
Ada hal-hal yang layak dicermati di Jalur Sutra, yaitu perubahan dari smart powermenjadi hard power dalam skala terbatas. Misalnya di Syria. Manakala smart powergagal membuat jatuh Bashar al Assad ala gerakan massa, pola pun ditingkatkan menjadi “perang sipil”. Luar biasa! Syria dikepung dari negara-negara yang berbatasan teritori dengannya. Misalnya dari Libanon berasal di kota Ersal, dari Turki bersumber di Hakkari dan dari Al Mafraq, sebuah daerah yang dijuluki sebagai “kota konspirasi” di Jordania. Para pemberontak telah dilatih sebelumnya oleh CIA, MI-6 dan Mossad, agen-agen intelijen milik AS, Inggris dan Israel. 
Kisah ini bukan rekaan atau khayalan belaka. Februari lalu, kami dari Global Future Institute mengangkat satu artikel terkait bantuan diam-diam Inggris terhadap para pemberontak Syiria. Inggris dan salah satu negara satelitnya, Qatar, dilaporkan telah melancarkan operasi khusus guna membantu para pemberontak Suriah di Kota Homs, 162 kilometer dari Damaskus. Ada dugaan kedua negara itu mempersenjatai Pemberontak Suriah.
Seperti dilaporkan DEBKAfile dan sumber-sumber intelijen, pasukan khusus ini tidak terlibat dalam pertempuran langsung dengan pasukan Suriah. Namun mereka berperan sebagai penasihat strategi, mengatur serangan serta komunikasi bagi para pemberontak serta memberikan bantuan terkait senjata, amunisi serta memasok kebutuhan logistik. Sebagaimana berita yang dilansir oleh DEBKA, kedua pasukan militer asing dari Inggris dan Qatar tersebut telah menyiapkan empat titik yang akan menjadi target operasi mereka. Keempat titik penting itu berada di bagian utara distrik Homs Khaldiya, bagian timur Bab Amro, dan di utara Bab Derib dan Rastan. 
Dari fakta tersebut di atas, maka praktis Inggris dan Qatar, dan tentu saja juga atas dukungan sepenuhnya dari negara negara yang tergabung dalam Dewan Kerjasama Teluk, maka tak pelak ini merupakan bagian dari Operasi militer secara terbuka.  Karena sejauh ini Inggris dan Qatar memang secara resmi diketahui merupakan dua negara yang sangat mendukung dilakukannya tindakan militer terhadap Suriah. 
Kuasa Minyak di Balik Skema Strategis AS-Inggris
Manuver Inggris dan Qatar membantu para pemberontak Syiria melawan Pemerintahan Bashar al Assaad, memang harus ditelusur melalui skema strategis AS-Inggris dalam menguasai ladang minyak di kawasan Timur Tengah. Skema kerjasama strategis tersebut dirancang dua konglomerat Amerika-Inggris Rockefeller dan Rothschild sejak 1979, menyusul runtuhnya kerajaan Iran di bawah kepemimpinan Shah Reza Pahlevi. Sebagai buntut dari diberlakukannya nasionalisasi perusahaan-perusahaan minyak asing di Iran, beberapa pengusaha minyak Amerika dan Eropa dipaksa untuk mencari basis kekuatan dan pengaruh baru di Timur Tengah.
Maka, beberapa perusahaan besar seperti Exxon Mobil, Texaco, BP Amoco dan Royal Dutch/Shell, yang berada dalam kepemilikan Rockefeller dan Rothschild, mulai merancang sistem pengamanan menyeluruh untuk mengamankan penguasaan mereka akan minyak mentah di kawasan teluk. Maka, Arab Saudi yang dikuasai dinasti Ibnu Saud dijadikan sebagai basis dan markas operasi politik-ekonomi-intelijen-militer dari kekuatan-kekuatan korporasi tersebut.
Dan Arab Saudi, menjadi aktor sentral diterapkannya skema strategis AS-Inggris di Timur Tengah tersebut. Konsesi yang diberikan Arab Saudi dengan adanya perlindungan militer dari persekutuan negara-negara yang kemudian tergabung dalam Dewan Kerjasama Teluk tersebut adalah, negara-negara barat mendapatkan pasokan minyak mentah dengan harga semurah mungkin. 
Sebagai konsekuensi dari kerjasama itu, muncullah beberapa perusahaan kontraktor pertahanan negara-negara barat memberi pelatihan militer terhadap angkatan bersenjata Arab Saudi. Beberapa perusahaan tersebut antara lain Inggris-AS memang mempertaruhkan segalanya di Timur Tengah, karena 66,5 persen cadangan minyak mentahnya memang berada di kawasan tersebut. Beberapa perusahaan tersebut antara lain SAIC, Booz Hamilton, TRW dan Vinnel Corp.
Dan 42 persen di antaranya, berada di keenam negara Arab di kawasan teluk tersebut. Sementara di Arab Saudi sendiri, terdapat 60 ladang minyak dan gas bumi yang menghasilkan 10 juta barel per hari. Inilah yang kemudian dibentuk Dewan Kerjasama Teluk dengan pilar 6 negara Arab : Arab Saudi, Kuwait, Qatar, Bahrain, Uni Emirat Arab dan Oman. Dari keenam negara tersebut, kecuali Oman, merupakan negara OPEC (Negara-Negara Pengekspor Minyak). 
Itulah sebabnya ketika Presiden Libya Moammar Ghadaffi mulai memperlihatkan perlawanannya terhadap skema strategis AS-Inggris di Timur Tengah, maka dilancarkanlah “Perang Sipil” di Libya, dengan dukungan diam diam dari AS, Inggris dan Italia. Karena tiga perusahaan besar minyak yang merasa secara langsung kepentingan strategisnya terancam di Libya adalah British Petroleum (Inggris) France Oil Company (Perancis), dan Eny (Italia). Tak heran, jika Perang Sipil di Libya secara langsung dimotori oleh Inggris, Perancis dan Italia melalui NATO.   
Tema Bisa Berobah, Skema Tetap
Berbeda dengan “keroyokan” NATO terhadap Libya yang berbekal resolusi PBB nomor 1973, untuk draft resolusi terhadap Syria dan Iran selalu gagal terjegal veto Cina dan Rusia. Perlu digaris bawahi disini bahwa sukses terbitnya resolusi di Libya karena peran dari LSM lokal (komprador) sekitar 70-an LSM yang berafilisasi dengan NED membuat “laporan palsu” atau rekayasa laporan kepada PBB. 
Tak kurang Prof Michel Chossudovsky, Pendiri dan Direktur CRG dan Finian Cunningham, peneliti CRG mengingatkan, jika kelak perang nuklir diluncurkan, seluruh Timur Tengah/ Asia Tengah akan masuk ke dalam suatu kebakaran besar! (The Globalizaton of War: The “Military Roadmap” to World War III, www.globalresearch.ca).
Merujuk hal di atas, sesungguhnya “sebuah tema” apapun istilah ---bisa berubah--- tergantung situasi lapangan, baik melalui modus-modus, stigmaisasi maupun operatornya. Di Irak misalnya, stigma pertama ialah senjata pemusnah massal, kemudian berubah melawan pemimpin tirani dan sebagainya. Ketika Saddam digantung, stigma pun berubah menjadi menjaga stabilitas. Ya, “stigma begerak” memang bagian dari methode kolonial AS di muka bumi.
Gambaran lain tentang betapa the power oil begitu vital bagi suatu negara adalah membandel atau (durhaka)-nya Jepang atas ajakan AS untuk mengembargo Iran. Jepang membangkang kepada AS karena yakin kepentingan (minyak)-nya bakal terganggu jika menghentikan impor minyak. Apa tidak terhenti industri-industri di Jepang, kendati ia telah mampu menciptakan energi alternatif selain minyak? Demikian juga Kamboja, dan esok entah negeri mana lagi menyusul. Korea merupakan contoh nyata, ketika ia ikut-ikutan mengembargo Iran, justru kini “mengemis” ke Saudi Arabia untuk pasokan minyak guna menjalankan industrinya.
Mungkin berita teraktual ialah memanasnya kembali suhu politik antara Inggris dan Argentina soal ---kasus lama--- kepulauan. Inggris menyebutnya Fakland, sementara Argentina menamai Malvinas. Penyebabnya jelas, gara-gara perusahaan Inggris menemukan ladang minyak baru di pulau sengketa tersebut. What lies beneath the surface of Malvinas or Fakland. Inilah yang kini terjadi. Kalau orang Rusia bilangdemocracy but look for oil.  Sungguh ejekan Beruang Merah kepada AS sangat pas, tepat sasaran! 
Maka entah melalui pola hard power (invasi militer), soft (diplomasi) atau smart power (gerakan massa) yang “dimainkan” oleh AS di banyak negara, muaranya sudah dapat ditebak yakni minyak, minyak dan minyak sebagai tujuan. 
Siapapun Presiden di AS sandinya tetap “the power of oil”. Ya. The power of oilmerupakan doktrin bahkan telah menjadi “skema keramat” yang tidak akan berubah sampai kapanpun pada kedua partai (Republik dan Demokrat).
Selanjutnya masih menurut Dirgo, rincian doktrin sakti yang mutlak diterima tanpa kritik oleh kedua partai adalah sebagai berikut: 
(1) Oil fuels more than automobiles and airplane. Oil fuels military power, national treasuries and international politics; (2) No longer a commodity to be bought and sold within the confines of traditional energy supply and demand balances; (3) A determinant of well-being, of national security and international power for those who possess this vital resource and the converse for those do not.
Dengan demikian, segala macam pola, model dan geliat apapun yang dikembangkan oleh AS di belahan bumi, rujukannya selalu minyak, minyak dan minyak yang ditekankan dalam doktrin nasional serta dihembuskan kuat-kuat sebagai “kepentingan nasional”. Wajar ketika Pepe Escobar, wartawan senior Asia Times berasumsi bahwa politik praktis memang bukan apa yang tersurat, melainkan apa yang tersirat. Jika Bush berbicara soal hak azasi manusia (HAM), maka yang ia dimaksud adalah minyak dan gas alam (Asia Times, 27/9, 2007).  
Maka bersiaplah bagi negara yang dituding oleh AS ada pelanggaran HAM, atau dituduh dengan stigma-stigma lain (korupsi, demokrasi dan lainnya) secara tersirat bermakna, bahwa terdapat sumberdaya alam (tambang) yang tengah dan hendak diincarnya!


Catatan Redaksi: Artikel di atas merupakan hasil diskusi terbatas tiga peneliti senior Global Future Institute  Hendrajit, M Arief Pranoto, dan Ferdiansyah Ali, Jumat 2 Maret 2012. Dengan merujuk dan mengolah berbagai fakta dan data terkait politik minyak sejagat Amerika dan para sekutunya.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar