Jumat, 09 Maret 2012

Pemimpin yang Tepat untuk Kondisi yang Tidak Tepat



TV itu dihidupkan untuk dites. Keluarga dari kampung itu tidak memperhatikan. Juga, sewaktu penjual menjelaskan beberapa soal teknis tv tersebut. Ia justru meletakkan sejumlah uang di atas meja, untuk membayar harga tv tersebut. Penjual memintanya agar pembayaran dilakukan di bagian kasir. Apa tidak membeli juga antene luar? Tidak perlu, katanya. Sebab, di kampung warga berlangganan dengan “tv kabel”, layanan yang bisa mengakses banyak sekali jaringan tv dunia.
Keluarga saya itu dengan bangga memboyong tv itu ke kampung. Tentu, kini ia dan keluarga seisi rumah, tidak perlu ke rumah tetangga lagi untuk menonton seluruh dunia dan gaya hidupnya. Dunia dan gaya hidupnya kini bisa disaksikan dari tv sendiri di rumah sendiri. Di kampung, orang-orang dengan tv sendiri menyaksikan dunia dan gayanya lewat “tv kabel”, sudah banyak. Orang-orang di kampung dan pedalaman sudah terbiasa dengan jaringan tv tersebut. TV nasional (dalam negeri) tidak menjadi prioritas untuk ditonton.
Maka, tak mengherankan kalau gadis-gadis di pelosok-pelosok desa sudah pandai berpakaian dengan gaya mode Paris. Setidaknya, yang ditiru dari Paris ialah “kepandaian” membuka bagian tubuh yang dalam tradisi masyarakat dipandang sebagai bagian tubuh yang dihormati dan karena itu, mesti ditutup. Karena dibuka, tak sedikit yang melihatnya dengan pandangan yang tidak terhormat. Pemuda-pemuda desa, meski sebagiannya tampak kampungan, namun gaya rambutnya gaul dan cara berpakaiannya pop. Gaya aneh-aneh yang bisa dilihat di tv dunia, kini bisa pula dilihat di desa-desa negeri ini.
Malas menonton tv nasional, tidak terlalu salah. Bukankah tv-tv negeri ini sudah juga diwarnai, bahkan meniru tv-tv dunia. Tidak mudah menunjuk tv yang warnanya dominan jati diri bangsa ini. Media bukan tv pun setali tiga uang dengan tv. Arus globalisasi gaya hidup melanda dan menjungkir-balikkan jati diri bangsa lewat media.
Dalam keguncangan nilai dan jati diri demikian, seorang tokoh berniat menutup semua agendanya pada bulan Agustus, tidak menunggu Desember 2007. Alasannya, ia capek sudah berkeliling ke seluruh negeri ini, juga keluar negeri, tapi warga bangsa ini tampaknya tidak mau mengubah diri untuk menjadi maju. Mungkin September sampai Desember 2007 ia akan pakai untuk merenungkan kembali, apa yang harus dilakukan lagi agar bangsa ini tidak mengulangi kebiasaannya masuk ke lubang kesalahan yang sama dan mau mengubah dirinya menjadi bangsa yang maju.
Tentu orang boleh setuju atau tidak setuju dengan apa yang diuraikan di atas. Atau, juga bingung dengan keadaan anak negeri sekarang ini. Pusat perbelanjaan (mal) dibangun setiap saat. Mal-mal itu juga ramai dikunjungi. Akan tetapi, dengan amat jelas pula dapat dilihat di mana-mana orang-orang yang susah hidupnya, tempat pemukiman yang kumuh, dan lingkungan hidup yang memendam kemarahan.
Separuh periode pemerintahan nasional pilihan rakyat sudah berjalan. Kenyataannya, bukan hanya soal beras dan minyak tanah (apalagi semburan Lumpur panas Lapindo) yang susah diurus, tapi harga minyak goring pun susah diurus. Tentu, apatah lagi jika diharapkan bisa mengatur pengaruh media yang menggerogoti jati diri bangsa. Masih ada dua tahun lebih ke depan untuk berpikir lebih jernih dan sungguh-sungguh mengenai siapa sesungguhnya pemimpin yang tepat untuk bangsa yang kondisinya tidak tepat (benar) ini. *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar