Selasa, 06 Maret 2012

Ketika Premis Wahyu Diabaikan



Tulisan berikut ini sekilas tak ada kaitan dgn Studi Hubungan Internasional  (HI), tapi sebenarnya berkaitan juga . Penstudi ( HI )pasti mempelajari ideologi liberalisme, neolib, dll. Masalah ideologi ini dalam HI sering dibicarakan dalam kerangka hubungan antar-negara, padahal sebenarnya sangat bersentuhan juga dgn kondisi masyarakat di sebuah negara.

Demi perkuliahan filsafat ilmu, saya membaca buku karya Prof. Herman Soewardi (alm): Roda Berputar, Bumi Bergulir. Buku ini ternyata hebat: berhasil menjawab pertanyaan besar saya ‘bisakah ilmu bersintesis dengan agama (Islam)?’ Oya, tentu sebagai muslim saya selama ini menerima saja doktrin bahwa ilmu dan agama itu bisa sejalan, tapi saya pun butuh jawaban yang ‘ilmiah’, bukan sekedar doktrin. Saya menemukannya di buku itu.
Intinya, menurut Prof Herman, pengetahuan dibangun dari premis yang kemudian dideduksi oleh akal. Jika premisnya empiris, maka premis itu akan terikat ruang dan waktu, sehingga hasil deduksi (pengetahuan) juga akan terikat ruang dan waktu. Sebaliknya, jika premis sudah punya kebenaran mutlak, universal, dan transendental, pengetahuan yang dihasilkan pun akan universal dan tidak terikat ruang dan waktu.

Premis yang mutlak benar ini adalah wahyu Allah (Al Quran). Ketika premis yang dipakai oleh manusia bertentangan dengan Al Quran, maka pengetahuan yang dihasilkan pun akan mengakibatkan kerusakan bagi manusia dan bumi.

Saya menemukan tulisan yang sangat bagus dari jurnalis Dandhy D Laksono di milis jurnalisme yang bisa menjadi salah satu bukti dari apa yang dikatakan oleh Prof Herman. Berikut ini saya kutip bagian yang bersesuaian dengan topik tulisan saya ini:
———————–
“Label-label besar itu apakah ada gunanya bagi rakyat?” kata Boediono suatu ketika. “Menurut saya, yang penting mana yang memberikan manfaat dan kesejahteraan terbesar. Kalau kita terikat dengan ideologi-ideologi, ya repot. Tuntutan rakyat itu cuma dua hal: harga-harga kebutuhan yang stabil dan pendapatan yang bisa diandalkan. Itu artinya stabilitas dan pertumbuhan ekonomi.” (Tempo, 12 Desember 2005)

Itu pernyataan Boediono tiga tahun setengah sebelum menang pemilu. Pada kesempatan lain, di masa kampanye, Boediono juga berujar, “Neolib istilah keren, tapi label ini tidak pas apalagi dikenakan pada sistem ekonomi. Kalau kita pegang terus, bisa jadi debat yang tidak berujung.” (okezone.com, 26 Mei 2009)
Boediono benar belaka. Ujung dari semua (debat) ideologi adalah kesejahteraan. Ideologi yang tidak menjanjikan kesejahteraan, adalah omong kosong intelektual. Onani gagasan. Bekas jurubicara Presiden Gus Dur, Wimar Witoelar lantas “menimpali” di halaman facebook-nya: “neolib” atau “kerakyatan” , yang bikin negara miskin adalah korupsi. Korupsi lebih jahat dari neolib yang orang nggak tahu artinya. Pembunuhan, penculikan jelas jahat, tapi ada orang yang nggak mau tahu, asal denger istilah ‘kerakyatan’ aja udah seneng.”
Wimar juga benar. Korupsi di relung-relung yang gelap atau terang, adalah hambatan menuju lorong di mana kesejahteraan menanti, apa pun ideologinya.
Ini persis prinsip pemimpin (komunis) China, Deng Xiao Ping (1904-1997) yang menyatakan: mau kucing hitam atau putih, yang penting bisa menangkap tikus. Konteks pernyataan ini bukan urusan menangkap koruptor, melainkan mazhab ekonom apa saja yang bisa membawa kesejahteraan bagi rakyat China, layak didengar, meski negeri itu mengadopsi gagasan-gagasan komunisme ala Mao Zedong.
Kini soalnya adalah, apakah kesejahteraan itu? Dalam skala 0 untuk gelandangan dan 10 untuk konglomerat, di mana titik kesejahteraan yang ideal bagi rakyat sebuah bangsa? Apakah kesejahteraan sama dengan penghasilan besar, rumah nyaman, mobil terbaru, blackberry, dan masa depan anak-anak yang terjamin? Katakanlah di angka 8. Atau yang disebut sejahtera cukup dua tingkat di bawah itu semua, tapi dengan jumlah penikmat yang lebih besar, dan unsur kemandirian?
Bila Ho Chi Minh di Vietnam mau nurut saja pada Paman Sam, barangkali nasibnya bisa seperti Korea Selatan, bukan Korea Utara. Dan bila Castro memilih jalan “kesejahteraan” bersama Washington, mungkin dia bisa menjadi negara bagian ke-51 seperti Hawaii. Toh hanya selemparan batu dari pantai Florida.
Tapi benarkah itu makna kesejahteraan yang kita inginkan? Asal kenyang dan tidur nyenyak? Kalau ingin politik yang stabil dan pertumbuhan ekonomi tinggi, mengapa kita repot-repot menurunkan Soeharto?
Ketika gagasan liberalisme muncul di Eropa di abad ke-18 (sebagai antitesa dari feodalisme), banyak orang bertanya-tanya, manakah sesungguhnya yang kita inginkan: kehendak raja yang bijak dan mensejahterakan tapi dalam sistem monarki; atau pilihan rakyat yang ternyata buruk dan berujung bencana di alam demokrasi? Sejarah membuktikan bahwa pilihan jatuh pada nomor dua, seiring dengan tergusurnya monarki dan aristokrasi. Bila Inggris kini masih bertahan dengan Istana Buckingham-nya, itu tak lebih untuk urusan pariwisata dan memorabilia para priyayi.
Jadi masyarakat juga perlu terlibat dalam obrolan besar tentang mazhab ekonomi, seberapa pun awamnya. Di sinilah peran media massa. Bahwa obrolan tentang sebuah sistem ekonomi tak lebih penting dari usaha memerangi korupsi (seperti kata Wimar), itu juga benar, meski agak menyesatkan. Sebab, korupsi, kolusi, atau nepotisme pada kenyataannya adalah definisi hukum (belaka). Bila sebuah kebijakan yang koruptif, kolutif, atau nepotis dilegalkan dengan payung hukum, maka selesailah persoalan.
Dus, untuk kasus Bank Century, tak ada yang perlu dikhawatirkan dengan kita membicarakan ideologi kebijakan, selain menelisik persoalan teknis perbankan, aturan hukum, bahkan membedah unsur pidananya. Dan tentang apakah sebuah kebijakan tak bisa diadili, itu persoalan berikutnya.
Di masa Soeharto, betapa banyak Undang-undang, Inpres, atau Keppres yang ujung-ujungnya adalah desain kejahatan ekonomi terhadap publik. Dus, secara hukum tak ada yang dilanggar. Rezim Soeharto sendiri bahkan tak bisa diadili hanya karena, “setiap lima tahun pertanggungjawabannya toh sudah diterima MPR.”
Proyek mobil Timor, monopoli cengkeh, kolusi bisnis air PAM di Jakarta, listrik swasta, atau setoran laba BUMN untuk yayasan Cendana, semua ada payung hukumnya. Jadi Wimar Witoelar harus berhenti di sini. Sebab tak ada yang salah. Bila ada kontrak-kontrak pertambangan yang menyebut bahwa bagian pemerintah hanya 1 persen, dan kontrak itu sah secara hukum, maka tak ada yang perlu dikhawatirkan. Wimar harus berhenti, sebab tak ada isu korupsi. Dan bila privatisasi atas sektor-sektor strategis dilakukan untuk menutup defisit anggaran, atau aset negara dijual murah begitu saja, tapi DPR sudah setuju, maka republik ini sesungguhnya baik-baik saja.
Bila hanya korupsi yang menjadi sumber kemelaratan rakyat, dalam perspektif Wimar (ini bukan nama acara televisi), maka menumpuk utang luar negeri bukanlah kejahatan. Yang jahat itu bila mengorupsi duit hasil utangannya. Sehingga bila ada perusahaan tambang asing yang menggaji tenaga kerja ekspatriat-nya jauh lebih tinggi dari insinyur lokal (padahal kemampuannya sebelas-duabelas), lalu biaya gaji itu dibebankan pada pemerintah dalam bentuk cost recovery, maka ini bukanlah kasus hukum. Toh, tak ada delik korupsi yang dilanggar. Yang jahat itu bila me-mark up angka gaji dari yang sebenarnya.
Menggelapkan pajak adalah pelanggaran serius, dan karenanya harus dihukum berat. Tapi ketentuan perpajakan yang justru menguntungkan kelompok ekonomi tertentu dan membebani potensi kelompok ekonomi yang lain, tak ada yang perlu dipersoalkan sebab tak ada kerugian negara.
Benarkah cara pandang seperti ini yang sedang kita anut?
—————-

Tulisan Dandhy –ini kontemplasi saya pribadi—mengajak kita berpikir sampai ke akar, sampai ke ‘premis mana yang seharusnya kita pakai’. Ketika para pejabat negara mengabaikan premis yang benar, maka kebijakan publik yang diambilnya pun akan berdampak buruk bagi sebagian besar rakyat (tentu saja, ada segelintir kelompok yang sangat diuntungkan, berhasil meraup kekayaan yang takkan habis sampai 7 turunan). Ketika premisnya: yang penting disetujui DPR (=demokrasi liberal), maka beginilah Indonesia hari ini. Ketika premisnya adalah premis neo-lib (meski tanpa label neolib sekalipun) yang dipakai, beginilah hasilnya yang kita lihat hari ini.
Lalu premis ekonomi apa yang harus dipakai yang tidak akan membawa dampak buruk bagi manusia? Al Quran sudah menjawab: “janganlah kamu memakan riba” (3:130). Riba adalah sendi ekonomi kapitalis. Riba akan membawa keuntungan bagi segelintir pemilik modal, tapi, kita hari menyaksikan betapa meluasnya kemiskinan di seluruh dunia akibat premis riba yang dipakai oleh umat manusia.
Tentu, menentukan ‘premis mana yang paling benar’ akan membawa perdebatan, karena tidak semua orang mau percaya pada premis Al Quran (termasuk muslim sekalipun). Tapi justru perdebatan ilmiah tetap harus dilakukan supaya bangsa ini bisa menemukan premis mana yang terbaik dipakai untuk menetapkan kebijakan ekonomi Indonesia.
Menutup pintu perdebatan atas masalah premis dengan kalimat ala Budiono, “Sudahlah, gak usah mikir macem2.. yang penting harga terkontrol, rakyat tenang..” seolah-olah mengobati keluhan sakit kepala dengan panadol belaka. Sumber pusing itulah yang harus dicari dan disembuhkan, bukan sekedar meredakan pusingnya!
©Dina Y. Sulaeman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar