Sabtu, 10 Maret 2012

Mengunggat Kembali Kekejaman Militer Jepang di Indonesia Lewat buku "Ditjari Nona-Nona Djawa"






"Sejarah kelam Kekejaman Militer Jepang, kasus Ianfu tidak begitu saja mudah hilang dari ingatan bangsa Indonesia. Perjuangan membela korban-korban Ianfu akan terus kami lakukan sampai kapapun!." Agaknya, inilah kalimat pantas kami ungkapkan setelah membaca nukilan tulisan dari buku ketiga karya Eka Hindra berjudul "Ditjari Nona-Nona Djawa," yang dimuat Majalah More Edisi Maret 2012. 

Eka Hindra bagi kami bukan hanya sekedar mitra kerja. Penelitiannya terkait kasus Ianfu telah dilakukan sejak tahun 1999. Melalui penelitian yang tak kenal lelah, Eka terbilang cukup berhasil mengungkap sekaligus menyadarkan banyak kalangan bahwa begitu kejamnya perbudakan seks (Ianfu) yang dilakukan militer Jepang di Indonesia sepanjang tahun 1942-1945.

Sejarah mencatat, militer Jepang menguasai wilayah Indonesia dalam waktu delapan hari pada 1 Maret 1942, setelah terjadi pertempuran sengit di perairan laut asia pasifik untuk membuat armada sekutu menyerah.

Ketika itu wilayah kepulauan Indonesia dijadikan sebagai wilayah sumber daya manusia oleh militer Jepang guna mendukung kemenangan perang Asia Pasifik. Sejak itu pengerahan tenaga paksa pun dimulai. Dari kota dan desa, militer Jepang mengumpulkan laki-laki berusia antara 16-40 tahun, dan perempuan berusia 16-25 tahun. Tenaga laki-laki ini dijadikan Romusha (budak pekerja), sedangkan perempuan muda dipaksa dijadikan Ianfu.

Sebagian besar perempuan yang direkrut berasal dari pulau Jawa, karena pada waktu itu penduduk yang paling padat berada di pulau Jawa.

Militer Jepang jelas melakukan Human Trafficking, dengan diiming-iming pekerjaan. Untuk kasus Ianfu, militer Jepang membuat iklan sebagai daya tarik memikat para perempuan." Tidak itu saja, kerapkalipemaksaan dan aksi kekerasan fisik dan teror juga dilakukan militer Jepang.

Kesaksian Suharti, asal dari Blitar misalnya. Suhati ditipu oleh militer Jepang, melalui lurah yang datang menemui kedua orang tuanya. Lurah itu berkata, "Anak bapak mau didik dan disekolahkan di Balikpapan, setelah lulus nanti kerja di kantor-kantor." Kenyataannya, Suharti yang ketika itu berusia 15 tahun malah dijadikan Ianfu, dipaksa sebagai pemuas nafsu seksual belasan personil Jepang setiap harinya.

Lain lagi kisah Mardiyem, ketika itu usianya 13 tahun. Mardiyem mendapat penyiksaan berupa pukulan dan tendangan dari Cikada (manajer Ianjo-tempat perempuan penghibur). Peristiwa itu menyebabkan Mardiyem pingsan selama 6 jam. Ini karena gara-gara Mardiyem menolak meladeni nafsu biadab militer Jepang itu.

Perlakuan biadab yang dialami Mardiyem tidak berhenti disitu. Pada usia 15 tahun Mardiyem baru mengalami aborsi paksa diketika usia kandungannya baru berusia lima bulan.

Proses pengguguran kandunganya dilakukan tanpa pembiusan. Kandungan ditekan secara paksa sampai bayi keluar. Akibat penyiksaan fisik bertahun-tahun itu, Mardiyem mengalami cacat fisik serta trauma seksual pasca perang. Pada tahun 2008, pada usia 78 tahun, Mardiyem menutup mata.

Kisah tragis tidak hanya dialami Suharti dan Mardiyem saja. Banyangkan selama 1942-1945, militer Jepang mendirikan rumah perbudakan seks atau Ianjo diseantero wilayah Indonesia. Mulai dari Aceh hingga Papua. Dapat dipastikan dimana ada militer Jepang pasti terdapat Ianjo.

Secara politik, Kejahatan perang Asia Pasifik dianggap selesai oleh pemerintah Indonesia dan Jepang, sejak perjanjian bilateral pampasan perang pada 20 Januari 1958 ditandatangani.

Namun kasus Ianfu kembali muncul kepermukaan setelah Tuminah asal Solo bersaksi. Melalui pembentukan lembaga Filantropi, Asia women's Fund (AWF) ditahun 1995, pemerintah Jepang pun berusaha meredam kasus Ianfu di Indonesia.

AWF sebagai boneka politik pemerintah Jepang pada tahun 1997 memberikan dana sebesar 380 juta yen kepada Pemerintah Indonesia, yang diterima Kementerian Sosial. Dana itu dibayarkan secara diangsur selama 10 tahun. Tahap pertama dana sebesar 2 juta yen, atau sekitar 775 juta rupiah diserahkan kepada pemerintah Indonesia. Dan konon, "suntikan" dana pertama ini akan dipakai untuk membangun Panti wredha di lima propinsi di Indonesia.

Persoalannya adalah, cukupkah hanya sekedar sejumlah dana, sejarah kelam ini dilupakan begitu saja? Tentu saja tidak!

"Kita memiliki kewajiban untuk ikut memulihkan martabat kemanusiaan mereka. Merekalah perempuan yang sosoknya tak terlihat dalam lembar sejarah," kutip Eka. 

Alangkah eloknya, pemerintah Jepang menyatakan permintaan maaf secara resmi kepada setiap penyitas (survivor) Ianfu dan bangsa Indonesia akibat perbuatan keji militer mereka dulu. Dan terpenting pemerintah Jepang harus memperhatikan para korban-korban perbudakan seks di Indonesia ini.

Catatan:

Karya pertama jurnalistik Eka Hindra adalah biografi Mardiyem sebagai survivor Iandfu Indonesia (1999), yang disiarkan di 50 radio di seluruh Indoneisa.

Buku yang pernah ditulis adalah Momoye: Mereka Memanggilku (2007), Japanes Milterism & its War Crimes in Asia Pasfic Region (2011). Saat ini Eka bekerja sebagai freelancer Pustakwan dan mengelola website Ianfu Indonesia (www.ianfuindonesia.org) bersama Jo Cowtre, seniman asal Amerika Serikat. Bersama Jo Cowtre, buku ketiga yang ditulisannya berjudul "Ditjari Nona-Nona Djawa" akan terbit tahun 2012 ini.

Rusman-Direktur Korporat Global Future Institute

Tidak ada komentar:

Posting Komentar