Senin, 05 Maret 2012

Kebohongan Israel [by Henry Siegman]




LRB Cover 


Salah satu hikmah atau blessing in disguise dari serangan brutal Israel ke Gaza adalah terbukanya mata hati dunia. Meski para pemimpin dunia masih munafik, tapi opini publik menjadi semakin sadar, apa yang sesungguhnya tengah terjadi di Gaza. Bahkan media-media Barat pun sudah menyediakan ruang untuk suara yang ‘berbeda’, yaitu suara yang mengkritik Israel. Contohnya tulisan di bawah ini, dimuat di London Book Review vol. 31 (29 Januari 2009). Tentu saja, ada beberapa bagian yang layak dikritisi, tapi secara umum, pengakuan atas kesalahan dan kebohongan Israel dari seorang cendikiawan Yahudi Amerika, patut untuk disimak. Diterjemahkan ke dalam bhs Indonesia oleh Dina Y. Sulaeman.

Israel’s lies
HENRY SIEGMAN
(London Book Review, 29 Jan 09)

Pemerintahan Barat dan sebagian besar media Barat telah menerima sejumlah klaim Israel yang menjustifikasi serangan militer ke Gaza: bahwa Hamas secara konsisten melanggar gencatan senjata yang dipatuhi Israel dan [karena itu] Israel menolak untuk memperpanjangnya; dan karena itu pula, Israel tidak punya pilihan selain menghancurkan kapasitas Hamas dalam meluncurkan roket-roket ke kota Israel; bahwa Hamas adalah organisasi teroris, bagian dari jaringan jihad global, dan Israel beraksi tidak saja dalam rangka membela diri, tapi juga atas nama perjuangan internasional yang dilancarkan oleh demokrasi Barat melawan jaringan jihad ini.
Saya tidak mendapati satu pun koran AS, stasiun radio, atau channel TV dalam liputan mereka atas kekerasan di Gaza mempertanyakan klaim ini. Kritik kepada aksi Israel, kalaupun ada (dan tidak ada satupun kritikan yang datang dari pemerintahan Bush), telah memfokuskan pada apakah pembantaian missal yang dilakukan IDF [militer Israel] adalah proporsional dalam menghandapi ancaman yang ada, atau apakah IDF melakukan langkah yang cukup dalam menghindari kekerasan terhadap warga sipil.
Upaya perdamaian di Timur Tengah telah ditenggelamkan dalam sebuah eufemisme yang menipu, karena itu, izinkan saya mengungkapkan secara blak-blakan bahwa semua klaim Israel di atas adalah kebohongan. Israel, bukan Hamas, yang melanggar gencatan senjata: Hamas telah menghentikan serangan roketnya ke Israel, sebaliknya, Israel ingin melancarkan pengepungannya terhadap Gaza. Bahkan, sepanjang masa gencatan senjata itu, pengepungan Gaza semakin diperketat. Hal ini dikonfirmasi tidak hanya oleh semua pengamat internasional dan LSM yang datang ke wilayah itu, tetapi juga oleh Brigjen Shmuel Zakai, mantan komandan militer Israel di Divisi Gaza. Dalam sebuah interview di Haaretz pada tanggal 22 Desember, Zakai menuduh pemerintah Israel membuat ‘kesalahan terpusat’selama masa tahdiyeh (gencatan senjata) karena telah gagal memanfaatkan ketenangan yang tercipta untuk memperbaiki kondisi ekonomi di Jalur Gaza. “Ketika Anda menciptakan tahdiyeh dan tekanan ekonomi di Jalur Gaza tetap diteruskan, tentu saja Hamas akan berusaha untuk mencapai tahdiyeh yang lebih baik lagi [gencatan senjata dengan aturan main yang lebih jelas lagi—pent.]; dan cara yang dipakai Hamas adalah dengan melanjutkan serangan Qassam. Anda tidak bisa mendaratkan pukulan, meninggalkan warga Palestina di Gaza dalam tekanan ekonomi, lalu berharap Hamas akan duduk-duduk saja dan tidak melakukan apapun,” kata Jend. Zakai.
Gencatan senjata yang dimulai Juni tahun lalu dan direncanakan akan diperbaharui Desember 08, butuh dua pihak yang menahan diri dari aksi kekerasan terhadap satu sama lain. Hamas harus menghentikan serangan roketnya dan mencegah peluncuran roket dari kelompok lain seperti Jihad Islam (bahkan agen intelijen Israel mengakui bahwa pelaksanaan aturan gencatan senjata ini dari pihak Hamas sangat efektif), dan Israel harus menghentikan pembunuhan dan serangan militernya. Kesepahaman ini secara serius dilanggar pada 4 November ketika IDF memasuki Gaza dan membunuh enam anggota Hamas. Hamas mereaksinya dengan melancarkan roket Qassam dan Grad (peluru kendali). Bahkan, Hamas menawarkan perpanjangan gencatan senjata dengan syarat Israel menghentikan blokadenya. Israel menolak. Israel bisa melaksakan kewajibannya untuk melindungi warganya dengan menyetujui diakhirnya blokade, tapi Israel sama sekali tidak mencoba opsi ini. Kita tidak bisa mengatakan ‘Israel melancarkan aksi kekerasan untuk melindungi warganya dari serangan roket.’ Israel melakukannya untuk melindungi ‘hak’-nya dalam melanjutkan tekanannya terhadap warga Gaza.
Semua orang sepertinya telah melupakan bahwa Hamas mendeklarasikan diakhirinya bom bunuh diri dan serangan roket ketika Hamas memutuskan bergabung dalam proses politik di Palestina dan secara luas bertahan pada deklarasi ini selama lebih dari setahun.
Bush secara terbuka menyambut deklarasi Hamas itu dan menyebutnya sebagai salah satu contoh keberhasilannya dalam upaya demokratisasi di Timur Tengah (dan dia tidak punya kesuksesan lainnya yang bisa disebutkan). Ketika Hamas tanpa diduga berhasil memenangkan pemilu, Israel dan AS segera berusaha untuk mendelegitimasi hasil pemilu dan merangkul Mahmud Abbas, ketua Fatah, yang sebelumnya telah ditolak oleh para pemimpin Israel dan mereka sebut ‘ayam tanpa bulu’. Mereka mempersenjatai dan melatih pasukan keamanan Abbas untuk menggulingkan Hamas. Dan ketika Hamas-secara brutal tentu saja- secara preemptive mencegah upaya kekerasan ini untuk mengembalikan situasi pada hasil pemilu demokratis-jujur-pertama di Timur Tengah modern, Israel dan pemerintah Bush memaksakan blokade.
Israel berusaha menutupi fakta-fakta tak terbantahkan ini dengan mempertahankan [klaim] bahwa saat Israel menarik pasukannya dari Gazatahun 2005, Ariel Sharon memberikan Hamas kesempatan untukmempersiapkan jalan bagi pembentukan negara bagian; dan kesempatan itu ditolak Hamas, bahkan Hamas malah mengubah Gaza menjadi landasan bagi peluru kendali yang ditembakkan ke warga Israel.
Klaim Sharon ini mengandung dua kebohongan. Pertama, di samping segala kekurangannya, Hamas berhasil membawa hukum dan keteraturan di Gaza selama beberapa tahun terakhir, dan Hamas melakukannya tanpa bantuan dana besar yang [pada saat yang sama] dikucurkan negara-negara donor kepada Fatah. Hamas berhasil menumpas geng dan preman yang meneror Gaza selama di bawah kekuasaan Fatah. Kaum muslim abangan, Kristen, dan minoritas lain telah memiliki lebih banyak kebebasan relijius dibawah Hamas dibanding yang mereka bisa dapatkan di Saudi Arab, contohnya,a tau di bawah rejim Arab lain.
Kebohongan yang lebih besar adalah [klaim Sharon yang menyatakan bahwa] penarikan mundur dari Gaza dimaksudkan sebagai permulaan bagi penarikan yang lebih besar lagi dan menuju pada perjanjian damai. [Sebagai bukti] inilah deskripsi penarikan Gaza yang dilakukan Dov Weisglass, penasehat senior Sharon dan ketua negosiator Israel-Amerika, dalam interview dengan Haaretz Agustus 2004:
“Hal yang saya dan pihak AS setujui adalah bahwa masalah permukiman [yaitu blok permukiman besar di Tepi Barat] tidak akan diutak-atik sama sekali, dan permukiman yang lain juga tidak akan dibicarakan sampai orang Palestina berubah jadi orang Finlandia [artinya: selamanya tak akan terjadi—pent.] .. Kepentingan [dari perjanjian dengan AS] adalah pembekuan dari proses politik. Dan ketika Anda membekukan proses itu, Anda akan mencegah berdirinya negara Palestina dan mencegah diskusi tentang pengungsi, perbatasan, dan Jerusalem. Secara efektif, semua paket yang disebut sebagai ‘negara Palestina’ dengan semua detilnya, telah dihapus dari agenda kami. Dan semua ini dilakukan dengan izin dan otoritas dari pemerintah Bush, serta ratifikasi dari Kongres AS.”
Apakah Israel dan AS berpikir bahwa orang-orang Palestina tidak membaca koran Israel atau apakah saat mereka melihat apa yang terjadi di Tepi Barat, mereka tidak bisa menyimpulkan sendiri apa yang sedang dituju oleh Sharon?
Pemerintah Israel ingin membuat dunia percaya bahwa Hamas meluncurkan roket Qassam karena itulah yang dilakukan teroris dan Hamas adalah sebuah kelompok teroris. Pada kenyataannya, Hamas tidak lebih teroris daripada gerakan Zionis sendiri dalam era perjuangan mendirikan tanah air kaum Yahudi. Pada akhir 1930-an dan 1940-an, partai-partai dalam gerakan Zionis telah melakukan aktivitas terorisme dengan alasan-alasan strategis.
Menurut Benny Morris, Irgun-lah yang pertama kali menjadikan warga sipil sebagai target. Dia menulis dalam [buku] Righteous Victims bahwa kebangkitan terorisme Arab tahun 1937 memicu gelombang baru [aksi] pemboman yang dilakukan Irgun terhadap kerumunan warga Arab, [dan aksi ini] memperkenalkan dimensi baru dalam konflik Arab-Israel. Dalam wawancara dengan Haaretz, Benny Morris juga mencatat kekejaman yang dilakukan pada perang 1948-49. Mengomentari data yang dirilis Kementrian Perang Israel, Morris mengatakan, “Pembunuhan massal yang dilakukan Israel jauh lebih banyak daripada yang saya kira.” Dalam bulan April-Mei 1948, Haganah diberi perintah operasional yang menyatakan secara eksplisit bahwa mereka harus mengenyahkan penduduk desa, mengusir mereka, dan menghancurkan desa-desa. Di sejumlah desa dan kota Palestina, pembasmian warga sipil itu dilakukan langsung oleh militer.
[note: Irgun dan Haganah adalah organisasi warga sipil Yahudi, namun dipersenjatai dan diberi wewenang melakukan aksi bersenjata—pent.]
Ketika ditanya oleh Haaretz apakah dia mengecam pembasmian etnik itu, Morris menjawab, “Sebuah negara Yahudi tidak akan terwujud tanpa mengusir 700.000 warga Palestina. Karena itu, pengusiran terhadap mereka memang perlu dilakukan. Tidak ada pilihan selain mengusir mereka. Pembersihan daerah pedalaman, kawasan perbatasan, dan jalan-jalan utama perlu dilakukan. Pembersihan desa-desa perlu dilakukan untuk penyediaan tempat bagi konvoy dan permukiman kami.”
Dengan kata lain, ketika Yahudi menjadikan warga sipil sebagai target pembunuhan untuk melanjutkan perjuangan nasional, mereka adalah patriot. Tapi bila lawan mereka melakukan hal yang sama, lawan mereka itu adalah teroris.
Adalah terlalu mudah untuk mendeskripsikan Hamas sebagai sebuah organisasi teror. Hamas adalah gerakan relijius dan nasionalis yang terpaksa melakukan terorisme—sebagaimana yang dilakukan gerakan Zionis dalam perjuangan mereka mendirikan Israel—dalam kepercayaan yang salah bahwa inilah satu-satunya cara untuk menghentikan penjajahan dan mendirikan negara Palestina. Meskipun ideologi Hamas secara formal menyatakan bahwa negara Palestina akan didirikan di puing-puing negara Israel, hal ini tidak menjadi dasar kebijakan politik Hamas hari ini, sebagaimana juga deklarasi PLO tidak menjadi dasar aksi-aksi Fatah hari ini.
Kalimat di atas bukanlah apologi buat Hamas, tapi merupakan opini dari mantan direktur Mossad dan penasehat keamanan nasional Ariel Sharon, Ephraim Halevy. Halevy menulis di harian Yedioth Ahronoth, bahwa kepemimpinan Hamas telah mengalami perubahan ‘tepat di bawah hidung kita’, yaitu telah menyadari bahwa tujuan ideologi mereka tidak mungkin diwujudkan dan tidak akan bisa dicapai dalam waktu dekat. Hamas kini telah siap dan bersedia untuk melihat pendirian negara Palestina di dalam wilayah perbatasan sementara thn 1967 [wilayah yang dikuasai Israel pasca perang 1967—pent.].
Halevy mencatat bahwa meskipun Hamas belum menyatakan seperti apa ‘perbatasan sementara’ itu, tapi Hamas mengetahui bahwa ketika negara Palestina berdiri dengan kerjasama mereka, mereka harus mengubah aturan main: mereka harus mengadopsi jalur yang akan membawa mereka jauh dari tujuan ideologis mereka.
Dalam artikelnya yang lain, Halevy juga menyatakan bahwa mengaitkan Hamas dengan Al Qaida adalah sebuah keabsurdan. Halevy menulis, “Di mata Al Qaida, anggota Hamas dianggap sesat karena mereka (Hamas) menyatakan bersedia berpartisipasi, meskipun secara tidak langsung, dalam proses kesepahaman atau perjanjian dengan Israel. Deklarasi yang dilakukan ketua bidang politik Hamas, Khaled Mashal sangat kontradiktif dengan cara pendekatan Al Qaida dan hal ini menyediakan kesempatan bagi Israel untuk mencari jalan yang lebih baik.”
Lalu, mengapa para pemimpin Israel sangat ingin menghancurkan Hamas? Karena mereka percaya bahwa kepemimpinan Hamas, tidak seperti Fatah, tidakbisa diintimidasi untuk menerima perjanjian damai yang mendirikan negara Palestina dalam wilayah yang terpisah-pisah sehingga memungkinkan Israel mempertahankan kontrol permanen atas Palestina. Tidak diragukan lagi, kontrol terhadap Tepi Barat adalah agenda utama militer, intelijen, dan elit politik Israel sejak Perang Enam Hari. Mereka percaya bahwa Hamas tidak akan menerima penyekatan wilayah Palestina semacam itu, tidak peduli seberapa lama penjajahan akan berlanjut. Israel mungkin salah dalam menilai Abbas dan para purnawirawan pengikutnya, tapi penilaian mereka tentang Hamas, sangat benar.
[note: lihat peta; wilayah Palestina disekat dua, sbgn di Jalur Gaza, sbgn di Tepi Barat, itupun di Tepi Barat hanya wilayah-wilayah tertentu saja yg dikuasai Otoritas Palestina, sisanya dibawah kontrol Israel—pent.]
Para pengamat Timur Tengah bertanya-tanya, apakah kekerasan Israel terhadap Hamas akan berhasil menghancurkan organisasi itu atau mengusirnya dari Gaza. Ini adalah pertanyaan yang tidak relevan. Jika Israel berencana untuk tetap mengontrol Palestina, Israel tak akan mendapatkan partner dari pihak Palestina. Jikapun Hamas bisa digulingkan, gerakan perjuangannya akan segera digantikan oleh oposan Palestina yang jauh lebih radikal.
Jika Barack Obama memilih utusan Timur Tengah yang berpegang teguh pada ide bahwa orang luar tak boleh memberikan proposal damai dan lebih suka menekan partai-partai untuk menerima ide itu daripada membiarkan mereka bekerja sendiri untuk menyelesaikan perbedaan di antara mereka, maka dia (Obama) bisa memastikan bahwa masa depan perlawanan Palestina akan jauh lebih ekstrem daripada Hamas; dan [bentuk baru perlawanan itu] akan berkerjasama dengan Al Qaida.
Bagi AS, Eropa, dan sebagian besar dunia, hal ini akan menjadi kemungkinan terburuk. Mungkin sebagian orang Israel, termasuk pemimpinnya, percaya bahwa hal ini [perlawanan yang lebih keras dari Palestina—pent.] akan menguntungkan kepentingan mereka, karena akan memberi peluang bagi terbentuknya pemerintahan Israel yang akan memaksakan penguasaan atas seluruh Palestina. Tapi khayalan seperti inilah yang akan membawa kehancuran bagi Israel sebagai sebuah negara Yahudi dan negara demokratis.
Anthony Cordesman, salah satu analis militer Timur Tengah yang paling bisa diandalkan, dan seorang teman Israel, berargumen dalam laporan CSIS tgl 9 Januari, bahwa dilanjutkannya operasi di Gaza hanya memberikan keuntungan taktis yang tidak lebih besar daripada hasil yang dicapai pada awal perang saat Israel melakukan serangan selektif pada fasilitas-fasilitas kunci Hamas. “Apakah Israel telah melakukan kesalahan dengan meningkatkan eskalasi perang tanpa tujuan strategis yang jelas atau [tanpa penentuan] minimalnya satu tujuan yangbisa dicapai?” tulis Cordesman.
Cordesman lebih lanjut menulis, “Akankah [aksi] Israel berujung pada semakin kuatnya musuh secara politis [meskipun] telah dikalahkan secara militer? Secara blak-blakan, jawaban dari pertanyaan ini adalah ‘ya’” Cordesman menyimpulkan, “Semua pemimpin bisa bersikap keras dan mengklaim bahwa kemenangan taktis (militer) adalah kemenangan yang bermakna. Tapi, bila inilah yang diinginkan oleh Olmert, Livni, dan Barak, maka mereka telah mempermalukan diri sendiri, serta menghancurkan negara dan teman-teman mereka.”
Ditulis 15 Januari oleh Henry Siegman, Direktur US Middle East Project in New York, professor di SOAS, University of London. Dia mantan Direktur Nasional dari Kongres Amerika Yahudi dan Dewan Sinagog Amerika. Diterjemahkan oleh Dina Y. Sulaeman
Sumber asli: http://www.lrb.co.uk/v31/n02/sieg01_.html
peta wilayah Israel_Palestina by Dina Y. Sulaeman
Wilayah berwarna merah tua adalah wilayah Palestina, perhatikan bhw wilayah itu terpisah-pisah, sbgn di Jalur Gaza, sbgn lagi di titik2 merah di kawasan Tepi Barat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar