Minggu, 04 Maret 2012

Titik Rahasia Sejarah di Balik Dukungan Aktif Inggris Kepada Pemberontak Suriah




pemberontak suriah


Semakin jelas sudah, bahwa Inggris memang punya pertaruhan besar di kawasan Timur Tengah. Inggris dan salah satu negara satelitnya, Qatar, dilaporkan telah melancarkan operasi khusus guna membantu para pemberontak Suriah di Kota Homs, 162 kilometer dari Damaskus. Ada dugaan kedua negara itu mempersenjatai Pemberontak Suriah.

Seperti dilaporkan DEBKAfile dan sumber-sumber intelijen, pasukan khusus ini tidak terlibat dalam pertempuran langsung dengan pasukan Suriah. Namun mereka berperan sebagai penasihat strategi, mengatur serangan serta komunikasi bagi para pemberontak serta memberikan bantuan terkait senjata, amunisi serta memasok kebutuhan logistik.
Penulis jadi ingat ketika di masa lalu, Thomas Edward Lawrance, perwira intelijen Inggris yang sekaligus juga arkeolog, dari belakang layar membantu suku-suku arab untuk menggalang kekuatan melawan Pemerintahan Turki Usmani dalam Perang Dunia I. Dan bukan itu saja, sekaligus juga membangun negara-negara bangsa Arab yang sekarang kita kenal seperti Saudi Arabia, Kuwait, Qatar, Bahrain, Uni Emirat Arab dan Yordania.  
Berita sumber-sumber yang berhasil dirangkum oleh DEBKAfile, jadi bukti nyata betapa kedua pasukan militer asing dari Inggris dan Qatar tersebut telah menyiapkan empat titik yang akan menjadi target operasi mereka. Keempat titik penting itu berada di bagian utara distrik Homs Khaldiya, bagian timur Bab Amro, dan di utara Bab Derib dan Rastan. 
Menariknya lagi, Informasi terkait kehadiran pasukan militer asing di Suriah itu  disampaikan oleh Perdana Menteri Turki Tayyip Erdogan di hadapan anggota parlemen Turki di Ankara pada Selasa (7/2/2012). Sebagaimana dilansir oleh PanArmenian Kamis, (9/2/2012). 
Ini tentu saja sebuah kebetulan yang menarik mengingat di masa lalu Inggris dan negara-negara arab bonekanya seperti Saudi Arabia dan Qatar ini lah yang secara bersama-sama bersekutu dan bersekongkol untuk menghancurkan Turki yang waktu itu merupakan musuh dari Pasukan Sekutu yang dimotori oleh Inggris dan Amerika Serikat.
Jika benar fakta ini, maka praktis Inggris dan Qatar, dan tentu saja juga atas dukungan sepenuhnya dari negara negara yang tergabung dalam Dewan Kerjasama Teluk, maka tak pelak ini merupakan bagian dari Operasi militer secara terbuka.  Karena sejauh ini Inggris dan Qatar memang secara resmi diketahui merupakan dua negara yang sangat mendukung dilakukannya tindakan militer terhadap Suriah. 
Berarti, Suriah praktis terkepung dari segala penjuru, karena Turki pun setahap-demi setahap semakin memperjelas sikapnya yang anti Pemerintahan Presiden Bashar Assad. 
Sepertinya, Suriah sebagaimana juga negara-negara arab di Timur Tengah, merupakan sasaran strategis Amerika-Inggris untuk menguasai ladang minyak di kawasan tersebut. 
Skema ini disponsori oleh dua konglomerat besar Rockefeller dan Rothschild melalui Dewan Kerjasama Teluk (GCC), yang  melibatkan setidaknya enam negara yaitu Arab Saudi, Kuwait, Bahrain, Uni Emirat Arab, Oman dan Qatar. Dan sumbu dari persekutuan Amerika-Inggris dengan Dewan Kerjasama Teluk, adalah Saudi Arabia. 
Skema kerjasama strategis yang dirancang dua konglomerat Amerika-Inggris Rockefeller dan Rothschild itu bermula sejak 1979, menyusul runtuhnya kerajaan Iran di bawah kepemimpinan Shah Reza Pahlevi. Sebagai buntut dari diberlakukannya nasionalisasi perusahaan-perusahaan minyak asing di Iran, beberapa pengusaha minyak Amerika dan Eropa dipaksa untuk mencari basis kekuatan dan pengaruh baru di Timur Tengah.
Maka, beberapa perusahaan besar seperti Exxon Mobil, Texaco, BP Amoco dan Royal Dutch/Shell, yang berada dalam kepemilikan Rockefeller dan Rothschild, mulai merancang sistem pengamanan menyeluruh untuk mengamankan penguasaan mereka akan minyak mentah di kawasan teluk. Maka, Arab Saudi yang dikuasai dinasti Ibnu Saud dijadikan sebagai basis dan markas operasi politik-ekonomi-intelijen-militer dari kekuatan-kekuatan korporasi tersebut.
Konsesi yang diberikan Arab Saudi dengan adanya perlindungan militer dari persekutuan negara-negara yang kemudian tergabung dalam Dewan Kerjasama Teluk tersebut adalah, negara-negara barat mendapatkan pasokan minyak mentah dengan harga semurah mungkin. 
Sebagai konsekwensi dari kerjasama itu, muncullah beberapa perusahaan kontraktor pertahanan negara-negara barat memberi pelatihan militer terhadap angkatan bersenjata Arab Saudi. Beberapa perusahaan tersebut antara lain SAIC, Booz Hamilton, TRW dan Vinnel Corp.
Menariknya lagi, beberap pilot Mesir dan Pakistan kemudian dilatih untuk menerbangkan pesawat tempur AS jenis F-15 untuk melindungi kerajaan Arab Saudi. Sebagai imbalannya, Arab Saudi menjadi sumber penyandang dana bagi operasi-operasi siluman yang dilancarkan oleh badan intelijen Amerika CIA dan badan intelijen Inggris MI-6 maupun badan intelijen Israel Mossad.
Inggris-AS memang mempertaruhkan segalanya di Timur Tengah, karena 66,5 persen cadangan minyak mentahnya memang berada di kawasan tersebut. Dan 42 persen di antaranya, berada di keenam negara Arab di kawasan teluk tersebut. Sementara di Arab Saudi sendiri, terdapat 60 ladang minyak dan gas bumi yang menghasilkan 10 juta barel per hari. Inilah yang kemudian dibentuk Dewan Kerjasama Teluk dengan pilar 6 negera Arab tersebut. Dari keenam negara tersebut, kecuali Oman, merupakan negara OPEC (Negara-Negara Pengekspor Minyak).
Bisa dimaklumi jika negara-negara arab tersebut semuanya merupakan negara monarki sehingga para pengusaha minyak yang berada di belakang pemerintah Amerika dan Inggris dengan mudah bisa mengendalikan dan mengaturnya melaui uang suap dan segala bentuk praktek korupsi lainnya sebagai modus operandi.
Terciptanya Dewan Kerjasama Teluk yang disponsori Amerika-Inggris tersebut, pada perkembanganya telah melemahkan negara-negara arab berhaluan nasionalis seperti Lebanon dan Syria. Sementara negara-negara monarki Arab boneka Amerika-Inggris ini justru kian menguat.
Skema ekonomi liberal seperti Foreign Direct Investment lewat perbankan dan perusahaan-perusahaan barat, kemudian menciptakan zona perdagangan bebas di wilayah kedaulatan negara-negara yang tergabung dalam Dewan Kerjasama Teluk. Bahkan ada pelabuhan bebas arus masuk barang di Dubai, Uni Emirat Arab.
Dan Bahrain, menjadi basis dan pusat perbankan dari kongsi bisnis negara-negara Arab tersebut. Buruh-buruh murah dari Filipina dan Bangladesh, dengan sengaja didorong ke negara-negara Dewan Kerjasama Teluk tersebut. Singkat cerita, terbentuklah kemudian pasar bersama dan harmonisasi kebijakan perminyakan keenam negara Arab.
Skema persekutuan strategis Amerika-Inggris dengan keenam negara arab tersebut harus ditelusur melalui skema model penjajahan ala Inggris sejak 1776. Melalui apa yang disebut sebagai British East India Company, Kuwait dijadikan basis dan markas kekuasaan Kerajaan Inggris dalam mengendalikan seluruh kawasan Timur Tengah.
Berarti sejak abad ke-16 Kuwait sudah dipandang Inggris sebagai wilayah yang cukup strategis. Sejak 1917, Inggris mulai memindahkan dukungannya kepada dinasti Ibnu Saud dari Arab Saudi melalui momentum persekutuan untuk mengalahkan dinasti Ottoman dari Turki.
Di sinilah bermula campur tangan pengusaha Inggris Rothschild dengan mendorong pemerintah Inggris mengeluarkan Deklarasi Balfour yang mendukung berdirinya tanah air bagi Yahudi di tanah Palestina. Bagi Rothschild, tujuan utamanya bukan mendukung Yahudi, melainkan penguasaannya atas kawasan minyak di Timur Tengah.
Menyusul kekalahan Imperium Ottoman Turki, beberapa negara arab kemudian jatuh ke tangan Inggris seperti Irak, Jordan dan Arab Saudi lewat dinasti Ibnu Saud.
Pada 1922, Arab Saudi mendapatkan kemerdekaan penuh dari Kerajaan Inggris melalui The Treaty of Jeddah. Sejak itu, praktis Arab Saudi menguasai beberapa kawasan di Timur Tengah dengan dukungan sepenuhnya Inggris. Setelah menganeksasi Riyadh, kemudian mencaplok Madina dan Mekkah yang sebelumnya dikuasai dinasti Hashemite.
Melalui perjanjian yang dikenal The San Remo Agreement, kawasan minyak Timur Tengah dibagi antara kedua negara Eropa . Beberapa pengusaha minyak besar Amerika yang berada dalam kepemilikan Rockefeller mulai merajalela seperti Exxon Mobil, Chevron, dan Texaco kemudian bergabung dengan British Petroleum, Royal Dutch/Shell yang berada dalam kepemilikan keluarga Rothschild dan keluarga kerajaan Belanda.
Sementara itu, Iraqi Petroleum Company dan The Iranian Consortium didominasi oleh beberapa perusahaan minyak Eropa, sedangkan Arab Saudi berada dalam cengkeraman beberapa konglomerat minyak Amerika.
Singkat cerita, keenam negara Teluk yang mulai dilepas sepenuhnya sebagai negara merdeka antara 1961 dan 1971, sejatinya merupakan alat monopoli dari dua pengusaha minyak Amerika-Inggris Rockefeller dan Rothschild.
Dan apa yang sedang terjadi di Timur Tengah saat ini, termasuk yang sedang bergolak di Libya dan Bahrain beberapa waktu lalu, maupun yang sedang bergolak di Suriah seperti sekarang ini, sejatinya merupakan bagian dari operasi siluman yang merupakan hajatan kedua pengusaha minyak tersebut.Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute

Tidak ada komentar:

Posting Komentar