Jumat, 09 Maret 2012

Refleksi Kritis





Kenikmatan yang dicari oleh mereka adalah kenikmatan yang sangat ragawi, dan bermain dalam ruang ketidak puasan karena hanya memenuhi perasaan dasar, seperti rasa senang, bangga, nyaman, atau bergairah. Misalnya, dengan bisa membeli barang dan fasilitas mewah, dan dengan kekuasaan ada ditangan memang menimbulkan sensasi khusus, tetapi lama-kelamaan akan hilang kadar senang, nyaman, dan bangganya ketika menjadi terbiasa dengan kondisi itu.
Akhirnya, orang semacam ini memerlukan dosis tambahan terus menerus, agar kenikmatan terasa seperti di awal. Caranya adalah dengan selalu berusaha naik kekuasaannya, dan selalu mencari kenyamanan yang lebih tinggi. Inilah para penikmat yang tak terpuaskan.
Kita juga terheran menemukan fenomena sosial yang paradoksal, yaitu fenomena yang bertentangan tetapi bisa berjalan beriring. Misalnya, pada fenomena makro kita dihadapkan pada pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan BI cukup baik berkisar antara 6,3 %, dengan analisis terjadi peningkatan daya beli masyarakat. Tetapi, secara bersamaan angka kemiskinan juga masih tinggi, saat ini hampir mencapai 18 % jumlah penduduk. Jika konsisten, harusnya peningkatan daya beli masyarakat dan ekonomi baik, berarti berkurangnya kemiskinan. Dalam tataran fenomena mikro, kita dihadapkan pada banyak orang yang berperilaku paradoksal pula.

Misalnya, ia seorang muslim relijius, tetapi secara bersamaan ternyata ia juga rajin melakukan tindakan korupsi, kolupsi serta tindakan manipulasi lainnya.

Kita akan lebih terheran lagi jika melihat segala sesuatu di era kapitalis ini menjadi layak didagangkan. Sampai-sampai agama juga didagangkan, dan produknya yang massal menjadi incaran para konsumen. Produk agama cenderung dibeli untuk meningkatkan kesejahteraan pribadi, untuk menyembuhkan, untuk mendapatkan ketenangan, atau untuk menghilangkan stress oleh mereka yang mengalami krisis hidup.
Misalnya, banyaknya pendidikan dan training dengan pendekatan spiritual yang laris diikuti masyarakat walau harganya mahal. Perjalanan ibadah umrah yang ibaratnya perjalanan wisata ditawarkan secara massal dan tetap laris. Banyak pula rekaman ceramah da’i kondang yang dipasarkan, dan dibeli untuk menjadi pegangan hidup orang-orang. Kalau sudah seperti, maka dunia kapitalis telah mengacaukan pencaharian hubungan esensial antara hamba dengan sang Khalik, yang seharusnya berbasis relasi cinta dan penyerahan, dikikis oleh hubungan yang berdasar pada kebutuhan otonom manusia dengan dunianya.
Kalau sempat terheran dalam fenomena-fenomena ini, tidak berarti kita berpikir rendah dalam skala 180° yang melihat kebenaran itu tunggal dan monotik, misalnya benar-salah atau hitam-putih. Melainkan, kita telah berpikir skala 360°, yang mengakui kebenaran sebagai nuansa yang bergerak, misalnya hitam bisa saja menjadi putih, atau sesuatu yang benar bisa bergerak menjadi yang salah. Dengan kata lain, keheranan tersebut adalah refleksi adanya pertentangan kritis dalam akal budi kita di tengah kehidupan kapitalis ini. Mungkin saja kita juga bagian dari budaya kapitalis ini, bahkan telah menemukan comfort zone (zona kenyamanan) di dalamnya. Tetapi dengan sempat kritis dan sadar maka kita bisa berproses mencari keotentikan diri yang lebih tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar