Minggu, 04 Maret 2012

Siapa di Balik Perang Melawan Terorisme?







Seseorang bernama Dulmatin dituduh teroris. Dia ditembak, tanpa diberi kesempatan membela diri di hadapan pengadilan. Padahal, menurut wartawan tabloid Media Umat yang menanyai warga sekitar lokasi penembakan, Dulmatin sama sekali tidak bersenjata dan dia sudah mengangkat tangan tanda menyerah. Kita mendapat info bahwa Dulmatin adalah teroris dari polisi (dan kemudian media menyebarluaskan info dari polisi). Kita tak bisa cross-check pada Dulmatin karena dia sudah dibungkam untuk selamanya. Kata jurnalis Farid Gaban (Media Umat edisi 32), info/klaim yang hanya sepihak dan tidak bisa diverifikasi, yang tersisa bagi publik adalah percaya atau meragukannya dengan pertimbangan logika,  bukti tak langsung, dan analisis motif. Menurutnya, melihat latar belakang Densus 88 (yang mengklaim bahwa Dulmatin adalah teroris) yang mendapat dana dari AS, klaim Densus layak untuk diragukan.

Lebih jauh lagi dengan melihat ‘siapa’ di balik Densus 88: dilatih oleh CIA dan dipersenjatai senjata2 made in AS, agaknya, bisa disimpulkan bahwa Indonesia memang larut dalam skenario global terorisme yang dimainkan negara-negara adikuasa.
John Hobson (1902)  menulis bahwa imperialisme klasik adalah upaya negara-negara untuk memperluas kekuasaan dan otoritasnya dengan cara mengontrol wilayah-wilayah yang disebut ‘koloni’. Imperialisme, menurut Hobson, adalah tindakan kaum kapitalis untuk mencari buruh yang murah, bahan mentah dengan harga sangat murah, serta pasar untuk hasil produksi.
Pada era modern ini, imperialisme memperlihatkan bentuk barunya, dengan aktor utama AS. Menyusul teror 9/11 tahun 2001, pada Maret 2002, Bush meluncurkan program pembangunan yang disebut Millennium Challenge Account  (MCA) yang bertujuan untuk memberikan bantuan kepada negara-negara ‘gagal’ (negara-negara yang ekonominya sangat lemah) supaya mereka bisa bangkit kembali secara ekonomi. Namun, menurut Bush, MCA “akan berdasarkan kepada inetransionalisme Amerika’. Bush mengatakan,
[MCA] will be based on a distinctly American internationalism that reflects the union of our values and our national interests. The aim of this strategy is to help make the world not just safer but better. Our goals on the path to progress are clear: political and economic freedom, peaceful relations with other states, and respect for human dignity.
Kebijakan MCA ini kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam American National Security Strategy (NSS), yang menyebutkan:
1. Tidak ada ruang bagi negara-negara dunia untuk bersikap ‘netral’ dalam Perang Melawan Terorisme. Yang ada hanya dua, negara yang bergabung dengan AS, atau melawan AS. Posisi ini berimplikasi pada kepentingan penambahan kekuatan militer AS dan menggunakan kekuatan militer itu untuk mencegah aksi terorisme.
2. Diyakini bahwa cara untuk menciptakan lingkungan internasional yang lebih adil dan damai pasca 9/11 adalah dengan mengkodifikasi nilai dan aturan AS di negara-negara Selatan.
Strategi NSS poin ke-2 ini merupakan paradigma yang juga umumnya dimiliki oleh negara-negara industri maju (Barat). Menurut Paul Rogers dalam jurnalnya, “paradigma keamanan AS, juga dimiliki oleh sebagian besar negara-negara Barat, yaitu berlandaskan keyakinan bahwa untuk mempertahankan kestabilan internasional, jalan yang benar dan mungkin dilakukan adalah dengan menyebarkan norma ekonomi dan politik Barat.”
Susanne Soederberg (2006:164-165)  menulis, kelumpuhan ekonomi dalam negeri AS membuat AS merasa perlu memperluas aktivitas produksi dan keuangannya di luar negeri. Untuk mewujudkan rencana ini, tentu saja dibutuhkan kerjasama dari pemerintah negara-negara Selatan agar mereka mau menerapkan kebijakan yang pro-kapitalis, seperti pendisiplinan tenaga kerja, penurunan standar lingkungan dan pajak, dll. Perang melawan terorisme bisa dilihat dari sudut pandang ini, bahwa AS memaksa dunia agar bergabung dengannya dalam perang, yang berimplikasi pada semakin kokohnya unitalteralisme AS. Bahkan, menurut Soederberg, upaya pengokohan unilateralisme AS dimulai sebelum 9/11, misalnya keluarnya AS dari Protokol Kyoto, pelanggaran perjanjian pertahanan misil (ABM Treaty) dengan Rusia, dan pemaksaan pengubahan aturan dalam Konvensi Senjata Biologi dan Kimia agar sesuai dengan program unilateralisme AS.
Penjelasan lebih lanjut mengenai latar belakang Perang Melawan Terorisme juga ditulis oleh Robert Gilpin dalam jurnalnya.  Menurut Gilpin, Perang Melawan Terorisme diarsiteki oleh kelompok  ‘ultra-nationalists’ atau ‘imperialist elite’ yang mendominasi pemerintahan Bush, termasuk Wapres Richard Cheney, Menhan Donald Rumsfeld, dan John Bolton, pejabat tinggi di Kementrian Dalam Negeri AS. Tujuan utama mereka adalah mempertahankan dominasi AS di dunia dan mencegah munculnya kekuatan lain yang membahayakan supremasi AS. Bahkan sesungguhnya, tujuan untuk mencapai dominasi global AS ini telah dirancang sejak era Ronald Reagan, dan pada era Bush kembali ditegaskan dalam ‘Cheney–Wolfowitz Doctrine’.
Doktrin ini menekankan dua hal:
1.pemakaian kekuatan militer AS untuk mencegah bangkitnya kekuatan lain dunia,
2.penguasaan terhadap cadangan minyak dunia, baik di Timur Tengah, Asia Tengah, atau di tempat-tempat lain, dalam pandangan kelompok ultranasionalis, dua hal di atas sangat diperlukan dalam mencapai tujuan mereka yaitu dominasi global.
Bila kita melihat latar belakang para tokoh ultranasionalis itu, akan semakin jelas terlihat ‘konsep imperialisme’ di balik Perang Melawan Terorisme. Bush, Cheney, Rumsfeld, Wolfowitz, Rice, dan beberapa tokoh lain dalam pemerintahan Bush memiliki saham di berbagai perusahaan minyak. Perang melawan terorisme telah menjatuhkan korban sangat banyak, baik warga sipil di Irak, Afganistan, Pakistan, atau di tempat-tempat lain; namun di saat yang sama memberikan keuntungan raksasa bagi kaum kapitalis. Selain perusahaan-perusahaan minyak yang menangguk untung dari pengontrolan kilang-kilang minyak di Irak, perusahaan-perusahaan senjata, perusahaan keamanan privat (private security company), dan  kontraktor sipil (pembangunan infrastruktur) juga menangguk keuntungan yang luar biasa besar. Ketika perang terus-menerus berlanjut, pabrik-pabrik senjata akan terus berproduksi dan terus mendapatkan pasar; perusahaan keamanan privat terus mendapatkan order, dan perusahaan pembangunan infrastruktur terus mendapat kontrak pembangunan (rekonstruksi) di negara-negara bekas perang. Perusahaan minyak juga mengambil keuntungan besar karena harga minyak yang cenderung naik pesat bila perang di Timur Tengah meletus.
Para kapitalis ‘bisnis’ perang mendirikan perusahaan keamanan privat yang mendapat order dari Pentagon untuk memberikan konsultasi resiko di kawasan konflik, melatih pasukan lokal di kawasan konflik, mengamankan gudang-gudang senjata,  mengawal perpindahan uang, memberikan pelayanan intelijen, mengamankan berbagai gedung-gedung, memenuhi kebutuhan persenjataan bagi perang dan pengamanan, logistik, dan bahkan penyediaan penjara dan investigasi narapidana.
Berikut ini beberapa data dari SourceWatch  terkait keuntungan yang diraup dari bisnis perang:
-Sejak 1994, Kementrian Pertahanan AS telah menandatangani  3.061 kontrak dengan perusahaan-perusahaan keamanan private dengan nilai kontrak lebih dari 300 milyar dollar.  Lebih dari 2.700 dari seluruh kontrak itu diambil oleh dua perusahaan yaitu: Kellogg Brown & Root  (salah satu petinggi perusahaan ini adalah Dick Cheney) dan Booz Allen Hamilton (salah satu petinggi perusahaan ini adalah Mike Mc Connell, yang diangkat Bush sebagai Direktur Intellijen Nasional).
-minimalnya  90 perusahaan keamanan privat melakukan operasinya di 110 negara dunia.
-Pedagang senjata telah mendapatkan keuntungan dari penjualan senjata illegal ke daerah-daerah konflik dan negara ‘gagal’ (failed states).
-Bisnis di bidang keamanan nasional ini menjadi sektor yang paling tinggi pertumbuhannya di AS, diprediksikan tumbuh dari 5 milyar dollar tahun 2000 menjadi 130 milyar pada tahun 2010.
Oke, itu zaman Bush. Lalu, bagaimana sekarang, era Obama yang konon ingin melakukan perubahan? Hm, naga-naganya sih, setali tiga uang. Perang terus berlanjut. Pasukan di Irak ditarik (sebagian) dan perang dialihkan ke Afghanistan dan perbatasan Pakistan. 80.000 personil Black Water (perusahaan keamanan privat) beroperasi di Pakistan. Perang Melawan Terorisme tak lain upaya pebisnis perang itu untuk mengeksploitasi negara-negara ‘gagal’. Dua contoh negara ‘gagal’ adalah Irak dan Afganistan; kondisi perekonomian mereka sedemikian parah sehingga AS menyerang dan menduduki wilayah itu agar perang bisa terus-menerus berlangsung dan roda produksi mereka terus berputar.
Pertanyaan terakhir: siapakah sesungguhnya pebisnis perang terbesar; siapa pemilik saham terbesar dari perusahaan-perusahaan minyak, senjata, perusahaan keamanan privat, dll?
Jawab: orang-orang Zionis.
Dina Y. Sulaeman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar