Rabu, 02 Mei 2012

Media Barat dan Rasisme Anti Islam



Garis kebijakan propagandis media massa Barat ternyata jauh berbeda dengan klaim mereka menyuguhkan realita kepada masyarakat sebagai asas keempat demokrasi. Media Barat kerap menampilkan peristiwa tak pantas, kemudian disampaikan sebagai berita biasa serta kejadian yang begitu penting mereka tampilkan sebagai peristiwa luar biasa. Berbagai riset yang digelar menunjukkan bahwa iklan dan propaganda media Barat dalam menyampaikan berita berpengaruh besar dalam membentuk opini publik.
 Contoh nyata adalah peristiwa terbaru yakni proses pengadilan bagi teroris Norwegia, Anders Behring Breivik  yang tahun lalu dengan sadis membantai 77 orang. Sebelum melakukan aksinya, Breivik di blognya menulis, dirinya tengah berperang untuk melindungi warga Eropa dari serangan umat Islam. Teroris Norwegia ini meyakini Perang Salib antara umat Kristen dan Islam serta pendukungnya di Eropa. Meski mengakui aksinya sangat sadis, namun ia mengklaim bahwa ini memang suatu keharusan. Parahnya lagi, saat di pengadilan Breivik menegaskan bahwa dirinya tidak seharusnya diadili bahkan harus dibebaskan serta diberi medali penghargaan atas ulahnya tersebut.
Bagaimanakah sosok Andres Behring Breivik yang dengan sadis membantai warga sipil dan di lingkungan bagaimanakah ia tumbuh besar ? Sedikit pun ia tak merasa menyesal atas perbuatannya dan malah menandaskan bahwa dirinya mampu melakukan semua itu setelah mencontoh sebuah game. Breivik mengaku selama hidup dengan ibunya pada tahun 2006, ia setiap harinya menghabiskan waktu 16 jam untuk bermain game-game sadis dan sejak Januari 2010 ia mengganti gamenya. Ia pun mengaku bahwa kehidupannya terputus dari dunia luar dan kesehariannya hanya dihabiskan di depan komputer.
Ini sekelumit pengakuan pembunuh berdarah dingin tentang masa lalunya. Masa lalu yang ia habiskan di dunia game yang dijejali dengan permainan sadis. Breivik memulai perang sebenarnya dengan permainan game bergenre perang. Tanpa mempertimbangkan dampak dari pembantaian terhadap warga sipil di dunia nyata. Namun yang paling berbahaya adalah ideologinya, khususnya di dunia nyata. Breivik di pengadilan menuntut agar Norwegia dan Eropa diselamatkan dari penjajahan Islam.
Kini pertanyaan yang muncul adalah apakah perkataan Breivik tersebut berlandaskan realita atau apakah ia terpengaruh oleh media yang santer mempropagandakan Islamphobia dan ancaman yang dibawa para imigran muslim ke Eropa ? Menurut para psikiater, dalih utama prilaku seperti ini selain kondisi pribadi sang pasien, ideologi radikal dan nasionalisme tinggi, ketakutan akan agama dan rasisme  sangat berpengaruh pada pribadi seperti ini. Dengan demikian pantas apa yang diakui pembunuh sadis asal Norwegia ini bahwa yang mendorong dirinya melakukan perbuatan kejam ini adalah budaya multi di negaranya, sikap pemerintahannya yang menerima para imigran serta maraknya arus imigran umat Islam ke Eropa.
Dalih lain yang memunculkan ideologi rasisme dan anti Islam adalah propaganda, program dan berita media massa di Eropa. Hasil riset terkait mekanisme peliputan berita soal imigran di media-media Eropa menunjukkan, wacana seperti ras dan nasionalisme di berbagai media sangat ditonjolkan oleh media massa Eropa. Gilroy salah satu analis yang terlibat dalam riset ini meyakini selama 20 tahun terakhir rasisme modern telah jauh dari ruang lingkup ilmu biologi. Rasisme modern menurut Gilroy saat ini lebih condong pada ras dan nasionalisme. Gilroy menambahkan, bentuk rasisme seperti ini dapat ditemui dari definisi sebuah bangsa yang kini santer beredar. Definisi ini menandaskan bahwa sebuah bangsa adalah berkumpulnya sebuah masyarakat berdasarkan warna kulit (kulit putih).
Charies Moore dalam sebuah artikelnya yang dimuat Majalah Times tahun 2005 menyebutkan, di Inggris orang berbicara dengan bahasa Inggris yang kental. Pengikut Kristen dan warga kulit putih adalah warga negara ini dan jika ada pemikiran bahwa umat Islam serta warga kulit berwarna dikategorikan sebagai warga Inggris maka hal ini sangat menakutkan. Pandangan Moore ini mewakili apa yang sebenarnya terjadi di Eropa dan strategi media massa mereka khususnya terkait masalah imigran. Mayoritas media Barat memuat informasi tak benar tentang ras sehingga pengetahuan masyarakat terpecah-pecah. Warga sendiri tidak begitu antusias untuk menyelidiki kembali informasi yang mereka dapatkan serta merasa cukup dengan informasi tersebut. Selain itu, media massa ini lebih banyak menyebut para imigran sebagai beban, bahkan mereka tak segan-segan menyebutnya sebagai swamping (orang-orang yang takut tenggelam di laut).
Riset luas soal ras dan imigran dalam beberapa tahun terakhir semakin besar dan sebagiannya menfokuskan pada peran media dalam menampilkan wajah imigran atau etnis minoritas. Media Barat juga mendiktekan bahwa kekerasan merupakan pembawaan dan budaya imigran asing sehingga hal ini menimbulkan ketakutan di tengah warga pribumi. Bahkan warga muslim pribumi pun mereka cap sebagai manusia-manusia aneh. Hal ini banyak ditemukan di abad-abad lalu dan dalam catatan perjalanan orang-orang terkenal, namun di dekade 80-an dan 90-an kondisi ini semakin memuncak.
Krisis negara Barat yang mereka alami di kawasan Timur Tengah, khususnya Teluk Persia serta berubahkan kasus regional menjadi internasional membuat berita-berita negara Islam ramai memadati halaman media massa. Hal ini dibarengi dengan munculnya istilah baru mengenai rasisme. Disinilah, Islamphobia memasuki arena politik dan media massa Barat. Terlebih setelah peristiwa 11 September, Islamphobia semakin menjadi isu utama media Barat dan para pejabat yang berusaha memanfaatkannya demi kepentingan mereka, khususnya berita santer mengenai al-Qaeda dan Osama bin Laden.
Mereka berusaha menjadikan isu al-Qaeda dan Osama bin Laden sebagai isu umum mengenai umat Islam. Mereka juga berusaha keras menampilkan Islam sebagai agama kekerasan. Untuk mensukseskan ambisinya ini, para petinggi Barat menggunakan berbagai sarana seperi industri perfileman dan permainan game komputer. Seluruh sarana ini mereka manfaatkan guna menampilkan citra buruk Islam di tengah-tengah warga Barat dan Eropa.
Edward Said, penulis asal Palestina terkait hal ini mengatakan, kata Islam dalam pandangan politik masyarakat Barat sama sekali tidak bermuatan agama. Barat memiliki tim pengamat yang terdiri dari wisatawan, analis dan mahasiswa yang dengan gampang berbicara mengenai Islam. Pandangan-pandangan mereka tentang Islam sangat jauh dari apa yang dijelaskan oleh Islam itu sendiri. Langkah-langkah brutal yang mereka lakukan seperti aksi sebuah koran Denmark yang memuat karikatur yang melecehkan Nabi Muhamad Saw. Mereka melandasi pandangannya hanya berdasarkan asumsi pribadi tentang Islam dan bukannya kepribadian Rasulullah serta ajaran Islam murni.
Pasca peristiwa 11 September, kita menyaksikan maraknya media Barat yang menfokuskan pemberitaan dan analisnya tentang Islam serta pengikutnya. Bahkan sempat melonjak sampai 500 persen di sejumlah isu. Eskalasi pemberitaan dan analis ini mayoritasnya dilakukan oleh kubu radikal. Lagi pula di analisa mereka sangat kecil terlihat penjelasan mengenai tipe muslimin dan kondisi kekinian masyarakat muslim. Sementara itu, muslim Eropa bukan hanya menghadapi diskriminasi baik ras maupun mazhab, namun juga pelecehan dan penghinaan.
Salah satu kejahatan terbesar HAM di Eropa dan dunia terjadi di wilayah Balkan, tepatnya di Bosnia Herzegovina sekitar dua puluh tahun silam. Perang berdarah di Bosnia di dekade 90-an tidak memperoleh perhatian dari pihak manapun. Perang yang dikobarkan Serbia dan mengaku sebagai pemeluk Kristen murni di Eropa ini mengambil korban puluhan ribu warga sipil.
Masoud Shajarah, ketua Komisi HAM Islam Inggris mengatakan,"Jika anda memperhatikan aksi teror di Eropa dalam sepuluh tahun lalu baik pelakunya person atau kelompok maka hanya dua persen yang memiliki latar belakang Islam. Namun sangat disayangkan media Barat melalui propaganda Islamphobia terus berusaha mensukseskan ambisinya dan elit politik pun berusaha memenangkan pemilu dengan mengusung slogan anti Islam."
Kini pengadilan Andres Behring Breivik tengah berjalan dan disebutkan bahwa proses pengadilan ini akan memakan waktu hingga sepuluh pekan. Tahun lalu juga digelar pengadilan bagi Geert Wilders, wakil parlemen Belanda yang radikal. Ia melontarkan pernyataan rasis dan memproduksi film anti Islam, Fitnah. Namun apa yang terjadi kemudian membuat umat Islam geram pasalnya ia dinyatakan tidak bersalah dalam kasus ini oleh pengadilan.
Media-media Jerman, Italia, Yunani, Perancis, Inggris dan negara-negara Eropa lainnya gencar mempropagandakan isu rasisme dan radikalisme melalui berbagai partai atau organisasi. Sejumlah tokoh politik mengaku khawatir atas meningkatnya proses ini. Namun demikian yang serius memperingatkan hal ini adalah media-media visual dan gambar pembunuh sadis seperti Breivik. Breivik bukan sekedar sosok pembunuh sadis yang menyesal atas perbuatannya, namun ia adalah pembunuh berdarah dingin yang dengan lantang di depan kamera televisi menegaskan jika bebas maka dirinya akan melanjutkan aksinya tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar