Senin, 30 April 2012

Pak Wid dan Subsidi BBM





Masih tentang alm Pak Wid. Dalam postingan saya sebelum ini, ada yang komen, ‘kan pak Wid pendukung pencabutan subsidi BBM?!’
Nah, saya pun berusaha mencari ‘jawabannya’.
Begini, faktanya , cadangan minyak Indonesia itu ranking 21 di dunia, dan cadangan gasnya ranking ke 11 di dunia. Padahal, energi Indonesia sangat bertumpu pada minyak. Seharusnya, dilakukan diversifikasi sumber-sumber energi lain, misalnya: sinar matahari, geothermal, tenaga air (hydropower), bio-energy, atau tenaga angin. Indonesia pun kaya uranium, sehingga punya potensi besar untuk memiliki energi nuklir.
Masalahnya, visi pemerintah kita tidak ‘jauh ke depan’ (atau, memang sengaja dikondisikan demikian oleh para mafia minyak). Kebijakan energi Indonesia sejak tahun 1966 sampai 2010 sangat bertumpu pada minyak. Indonesia (=para elitnya, tentu) pada zaman 1970 hingga pertengahan 1990-an itu bergelimang uang dari minyak. Setelah Pak Harto turun, mulai disadari bahwa minyak dan gas Indonesia sudah menipis. Tapi, tetap saja, kebijakan energi terus bertumpu ke minyak. Bahkan ketika minyak dalam negeri tidak mencukupi pun, kita harus impor dengan harga mahal karena lewat broker. Iran padahal sudah menawarkan minyak murah, asal tidak lewat Singapura. Tetapi, Indonesia tetap tidak bisa beli. Karena, ada pihak-pihak elit yang mewajibkan pembelian lewat broker, yaitu via Singapura. Siapa brokernya? Ternyata anak perusahaan Pertamina sendiri, yaitu PETRAL, dan kantor pusatnya di Singapura (info ini saya dapatkan dari twitternya triomacan2000).
Sekarang, mari belajar pada Iran. Perlu dicatat: Iran pun MENCABUT subsidi BBM-nya. Lho, kok gitu? Sebentar, ada penjelasannya. Begini, Iran itu negara dengan cadangan minyak no 3 di dunia, dan dengan cadangan gas no 2 di dunia. Top kan? Saya sempat merasakan sendiri, bahwa harga bensin di Iran memang murah. Tapi, saya juga menyaksikan sendiri, betapa borosnya rakyat Iran. Mereka mengisi tanki mobil sendiri (pom bensin di sana ga pake pelayan), dan sering bensin itu berceceran (tumpah) saat pengisian. Cuek aja, murah ini! Walhasil, pemakaian bensin di Iran sangat tinggi. Bahkan, Iran terpaksa mengirim minyak mentahnya ke negara-negara lain untuk direfinery, karena hasil refinery di dalam negeri tidak cukup, saking borosnya. Ketika harus direfinery di luar negeri, jelas memakan biaya besar. Dan ketika dijual di dalam negeri, pemerintah harus subsidi supaya tetap murah. Artinya, membebani pemerintah kan? Saya ingat sekali, proses sosialisasi pencabutan subsidi itu dilakukan bahkan sejak saya masih di Iran (1999-2007), padahal, pencabutan subsidinya baru sekitar 15 bulan yll. Di komedi lawak Powarchin, yang bikin kota Teheran lengang, saking semua orang duduk di rumah nonton film serial tersebut, sering diselipkan propaganda (dengan cara yang mengundang tawa) betapa subsidi minyak itu membebani pemerintah. Bayangkan bila uang untuk subsidi itu dialihkan membuat rumah sakit, sekolah, bla...bla..(demikian’iklan’ di film lucu tersebut).
Nah, bagusnya, Iran itu mencabut subsidi dengan cara yang sangat elegan. Sebelum mencabut subsidi, pemerintah membangun pompa pengisian BBG (bahan bakar gas) di berbagai tempat, sehingga sangat mudah diakses. Pemerintah memberikan subsidi juga kepada rakyat yang ingin mengganti sistem mobilnya dengan BBG. Selanjutnya, pembatasan subsidi dilakukan dengan menggunakan semacam kartu subsidi (e-smart card). Setiap mobil itu cuma berhak membeli 60 liter/bulan bensin yang disubsidi 50%. Harga bensin super 5.000 riyal Iran dan bensin biasa 4.000 riyal Iran perliter. Kartu subsidi ini harus cocok antara nomor mobil, nama pemilik mobil & ada PIN-nya. Satu mobil tidak bisa memakai jatah mobil lain saat membeli bensin. Jika pemakaian bensin mobil tsb lebih dari 60 liter/bulan, pemilik mobil tsb harus membeli bensin dengan harga pasar Iran (yang sebenarnya masih juga disubsidi 20 %), yaitu 8.000 riyal Iran/ liter (bensin super) dan 7.000 riyal Iran/ liter (bensin biasa).
Artinya, masalah utama bukan pada ‘subsidi dicabut atau tidak’. Artinya juga, kalau ada yang mendukung pencabutan subsidi tidak serta-merta harus dihujat tanpa melihat konteks. Kalau untuk Indonesia, kasusnya jelas sangat kompleks. Kalau kita baca/dengar penjelasan Pak Kwik Kian Gie soal hakikat subsidi di Indonesia, bisa dipelajari bahwa kata-kata ‘subsidi’ untuk konteks pemerintah Indonesia adalah sebuah kebohongan. Silahkan browsing sendiri soal ini.
Balik lagi ke pak Wid, saya menyimpulkan, sebenarnya yang beliau suarakan adalah ‘jangan lagi Indonesia bertumpu pada minyak’! Anggaplah benar pemerintah mensubsidi dan subsidi itu memberatkan negara, oke silahkan dicabut, tapi pada saat yang sama, kembangkan energi alternatif. Ketika ada sumber energi yang lebih murah, konsumen pasti beralih ke yang murah kan? Silahkan saja harga bensin mau naik berapapun, konsumen akan lebih membeli memakai yang murah. Pertanyaannya: mengapa pemerintah enggan mengembangkan energi alternatif itu? Mengapa tetap berkeras membeli minyak impor dengan harga yang sudah dimark-up? Mengapa tidak dicari sumber-sumber pembiayaan lain, bila memang tetap harus mensubsidi? Dst (lengkapnya apa pendapat pak Wid, bisa dibaca di postingan saya sebelumnya). Jawaban dari pertanyaan ini sudah banyak yang tahu: kalau ada energi alternatif, ya pastilah itu pom bensin asing yang bertebaran di Indonesia rugi besar! Pastilah mafia-mafia minyak itu rugi besar! Makanya mereka menekan pemerintah supaya tidak mengembangkan energi alternatif.
Kembali, belajar kepada Iran. Meskipun Iran itu cadangan minyak dan gasnya sangat kaya, namun karena pemerintahnya bervisi, mereka tidak berfoya-foya dengan minyak dan gas itu. Pembatasan subsidi tetap dilakukan sehingga diharapkan sikap hidup masyarakat Iran yang boros energi secara perlahan berubah; dan uang subsidi bisa dialihkan untuk pembangunan di sektor lain. Dan ketika konsumsi minyak di dalam negeri rendah, kan minyaknya bisa dijual dengan keuntungan yang lebih besar. Di saat yang sama, Iran terus mengembangkan sumber-sumber energi alternatif, misalnya energi nuklir (meski untuk itu, Iran habis-habisan ditekan Barat). Bahkan, untuk pengembangan energi matahari dan energi angin, Iran paling top di kawasan negara-negara Timur Tengah.
Demikian sekilas info. Mudah-mudahan kita bisa belajar dari sini. Dan yang kunci utamanya memang di pemerintahan yang jujur, amanah, dan bervisi. Mudah-mudahan kelak kita memiliki pemerintah yang seperti ini. Amin.
Dina Y. Sulaeman, Pemerhati Masalah Internasional

Tidak ada komentar:

Posting Komentar