Jumat, 16 Maret 2012

Menurut Bung Karno, Papua Sudah menjadi NKRI walaupun Tanpa PEPERA.



Salah satu pemicu konflik di Tanah Papua adalah pemahaman tentang SEJARAH integrasi Papua. Selama ini, masalah inilah (sejarah integrasi Papua) yang menjadi pemicu munculnya sikap saling curiga antara aktivis Papua dengan Pemerintah Indonesia.
Padahal sejarah integrasi dimaksud sudah SANGAT JELAS, tertulis dan terdokumentasikan secara resmi hingga ke badan dunia PBB.
Karenanya, sangat mudah untuk menarik sebuah kesimpulan bahwa suasana saling curiga itu memang sengaja dimuculkan sebagai bagian dari upaya sistematis untuk melepaskan Papua dari NKRI. Oleh siapa? Oleh Belanda. Aktivis Papua hanya operatornya, tetapi aktornya tetap Belanda dengan pola lama: devide et impera. Mengapa Belanda? Inilah alasannya :

 Setelah berbagai upaya yang dilakukan pihak Belanda pada masa lalu, baik melalui operasi intelijen maupun invasi militer (ingat, Belanda pernah mengerahkan kapal induknya Karel Dorman ke wilayah perairan Papua awal 1960-an), juga melalui upaya diplomasi dan negosiasi, hasilnya selalu KALAH. Maka digelarlah REFERENDUM (Pepera 1969) yang hasil akhirnya justeru semakin memastikan Belanda harus angkat kaki dari Tanah Papua.
Maka kini, pihak Belanda hanya bisa mencari-cari dalih untuk mengobati luka sejarahnya yang dipecundangi Indonesia, dengan cara MENGGOYANG SEJARAH integrasi Papua. Para aktivis Papua tanpa sadar telah digiring oleh propaganda Belanda dan sekutunya untuk mengembalikan status politik wilayah Papua ke titik nol. Sasaran yang paling empuk adalah mensuport tokoh gereja seperti Pdt.Socratez Sofyan Yoman, mantan napi Benny Wenda serta Mako dan Buchtar Tabuni, tokoh adat Forkorus Yaboisembut dll, untuk terus-menerus mempersoalkan mekanisme PEPERA yang tidak sesuai mekanisme baku internasional one man one vote.
Pada bagian diatas sudah diuraikan bahwa salah satu pemicu munculnya sikap saling curiga antara Papua dan Jakarta yakni adanya pemahaman yang berbeda tentang SEJARAH INTEGRASI PAPUA ke dalam NKRI. Padahal sejarah integrasi dimaksud sudah SANGAT JELAS, tertulis, dan terdokumentasikan secara resmi hingga ke badan dunia (PBB).
Dan bahwa sikap saling curiga itu memang sengaja diciptakan dan dipelihara oleh kelompok-kelompok kepentingan tertentu baik dari luar maupun dari dalam negeri untuk melepaskan Papua dari NKRI.
Pada bagian kedua ini akan diuraikan beberapa prinsip dasar yang melatari argumen penulis bahwa jauh sebelum Pepera 1969, Papua sudah menjadi bagian yang sah dari NKRI.
1. Azas Uti Possedetis Juris :
Azas ini diakui dalam hukum internasional dan sudah dipraktikan secara luas di berbagai negara. Azas ini pada intinya mengatur bahwa batas wilayah negara bekas jajahan yang kemudian merdeka, mengikuti batas wilayah sebelum negara tersebut merdeka.
Konsekuensi logisnya, Papua Barat (West Papua) otomatis beralih statusnya menjadi bagian wilayah Republik Indonesia sejak saat proklamasi 17 Agustus 1945. Peta di bawah ini memperkuat argumen di atas :
Peta pembagian wilayah jajahan atas Pulau Papua
Sejak tahun 1866 Pulau Papua berada dalam penjajahan 3 (tiga) negera Eropa, yakni : Belanda, Inggris dan Jerman.
Bagian sebelah timur Pulau Papua -yang oleh bangsa Eropa lebih dikenal dengan nama Papua New Guinea dikuasai oleh Jerman dan Inggris. Setelah melalui Trustee PBB /Trust Territory of new Guinea, kedua wilayah tersebut lalu dipercayakan kepada Australia dan Administrasinya dijadikan satu dalam Territory of Papua New Guine.
Sedangkan bagian barat Pulau Papua -yang oleh bangsa Eropa lebih dikenal dengan nama West Papua- dikuasai oleh Belanda dan diberi nama Netherland New Guinea.
Penentuan tapal batas ketiga wilayah kekuasaan itu (antara wilayah Jerman dan Belanda dan antara Jerman dan Inggris di Pulau Papua) dikuatkan melalui Deklarasi Raja Prusia tanggal, 22 Mei 1885. Dengan deklarasi ini dan juga karena tidak ada klaim dari pihak lain maka status Papua bagian barat sah sebagai milik Belanda dan tidak perlu menunggu pengakuan dari siapapun.
Tanggal 17 Maret 1910 Belanda menetapkan Hollandia (sekarang Jayapura) sebagai ibukota Nederland Nieuw Guinea. Nama ibukota itu (Hollandia) diberikan oleh Kapten Sachse. Kota pantai dengan geografinya yang berteluk itu sangat mirip dengan garis pantai utara negeri Belanda. (Hollandia dari kata Hol = lengkung atau teluk, dan Land = tanah). http://www.indotoplist.com/
Pada tanggal 17 Agustus 1945, Hindia Belanda memproklamasikan kemerdekaannya menjadi Negara Indonesia. Indonesia pun menuntut semua wilayah bekas Hindia Belanda sebagai wilayah KEDAULATAN-nya. Artinya, secara de jure, (dengan mengacu pada azas Uti Possedetis Juris tesebut) sejak 17 Agustus 1945 wilayah bagian barat Pulau Papua (West Papua atau Nederland Nieuw Guinea) resmi menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan dengan wilayah Negara Indonesia.
Namun dalam pelaksanaannya (sebagaimana isi pidato Bung Karno di atas), Belanda belum rela melepas Irian Barat. Belanda ingin menjadikan Papua bagian barat sebagai negara terpisah dengan alasan adanya perbedaan etnis. Keengganan Belanda melepaskan Papua juga karena ada pusat pemerintahannya di Hollandia (Jayapura) yang topografinya sangat mirip dengan pantai utara Belanda itu. Ketidak-ikhlasan Belanda melepaskan wilayah Papua inilah yang kemudian membawa status politik wilayah Papua harus melalui perjalanan panjang di berbagai fora, sepert Konferensi Meja Bundar tahun 1949, Perjanjian New York (1962), Pepera (1969), dan finalisasinya dalam Sidang Majelis Umum PBB tanggal 19 November 1969.
2. Daftar Dekolonisasi :
Di kalangan aktivis Papua saat ini berkembang sebuah argumen bahwa kekuasaan Hindia Belanda atas Indonesia secara total berakhir dengan adanya invasi Perang Dunia ke-2 oleh Jepang. Artinya Indonesia merupakan wilayah pendudukan Jepang yang tidak ada hubungan apapun lagi dengan Kerajaan Nederland. Wilayah Papua yang diduduki Jepang, dibebaskan pada tahun 1944 (setahun sebelum Indonesia merdeka), kemudian dikembalikan pengurusannya kepada Belanda (NICA) oleh tentara sekutu, sehingga tidak ada alasan untuk mengklaim wilayah West Papua sebagai bagian wilayah Indonesia.
Argumen itu seakan mendapat dukungan dengan keberadaan Program Dekolonisasi PBB tahun 1946 yang disahkan dengan Resolusi Majelis Umum PBB No. 66, tanggal 14 Desember 1946. Resolusi itu memuat Daftar Dekolonisasi (Daftar Wilayah Jajahan Yang Harus Dimerdekakan). Terdapat 72 (tujuh puluh dua) wilayah koloni yang oleh Majelis Umum PBB dinyatakan sebagai ‘Non Self-Governing Territories’ atau wilayah tak berpemerintahan sendiri yang harus dimerdekakan, termasuk Papua, Malaysia dan Timor Timur.
Argumen di atas tentu saja sangat mudah dipatahkan dengan mengacu pada bukti-bukti sejarah, antara lain :
a. Jika benar kekuasaan Belanda atas Indonesia berakhir dengan adanya invasi Perang Dunia ke-2 oleh Jepang tahun 1942, lantas mengapa harus ada perundingan Linggarjati di Kuningan, Jawa Barat tanggal 11-12 November 1946 serta Perjanjian Renville tanggal 17 Januari 1948 di atas geladak kapal perang Amerika Serikat sebagai tempat netral, yang berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta? Kedua perjanjian itu pada prinsipnya sama, yakni penyerahan kekuasaan dari Belanda ke Republik Indonesia secara bertahap (wilayah Sumatera dan sebagian Jawa). Jika kekuasaan Belanda sudah berakhir tahun 1942, lantas dalam kapasitas apa Belanda hadir sebagai para pihak dalam kedua-perundingan itu?
b. Ketika Konferensi Meja Bundar tengah berproses, Kerajaan Belanda melakukan tindakan hukum yang sangat monumental. Yakni pada tanggal 19 Pebruari 1952, Belanda memasukan Irian Barat sebagai wilayah Kerajaannya dalam Undang-Undang Dasar mereka. Bagaimana dengan program Dekolonisasi PBB yang memasukan West Papua sebagai ‘Non Self-Governing Territories’ atau wilayah tak berpemerintahan sendiri yang harus dimerdekakan?
Inkonsistensi sikap
Sikap-sikap inkonsisten Belanda inilah yang membuat Bung Karno geram. Maka tak heran jika Bung Karno kemudian menggalang kekuatan dari negara-negara Asia-Afrika, dan mengutus Jenderal AH. Nasution ke Moskwa pada Desember 1960 untuk mengadakan perjanjian jual-beli senjata dengan pemerintah Uni Soviet senilai 2,5 miliar dollar dengan persyaratan pembayaran jangka panjang. Setahun kemudian, di alun-alun Utara Yogyakarta Bung Karno mengumandangkan Operasi Trikora (19 Desember 1961).
Perjuangan Bung Karno ini membuahkan hasil. 15 Agustus 1962 Indonesia-Belanda menandatangani New York Agreement yang difasilitasi PBB. Sesuai persetujuan New York itu, Belanda menyerahkan kekuasaan atas Irian Barat kepada PBB. Untuk maksud itu, dibentuklah Badan Pemerintahan Sementara PBB (UNTEA).
Pengambil-alihan pemerintahan di Irian barat oleh UNTEA ini tercatat dalam Resolusi Majelis Umum PBB No. 1752 tanggal 21 September 1962. Maka tanggal 1 Oktober 1962 secara resmi berlangsung penyerahan kekuasaan dari Pemerintahan Belanda kepada UNTEA dibawah pimpinan Administrator Jose Rolz Bennet yang tidak lama kemudian diganti oleh Dr. Djalal Abdoh. Tanggal 31 Desember 1962 bendera Belanda diturunkan dari wilayah Papua Barat dan sebagai gantinya dikibarkanlah bendera Indonesia berdampingan dengan bendera PBB (UNTEA).
31 Desember 1962 bendera Belanda diturunkan, digantikan oleh Bendera Merah Putih mendampingi bendera PBB (UNTEA)
Februari 1963 Sekretaris Jenderal PBB ke Jakarta dan Jayapura untuk memperjelas bahwa PBB akan menjamin kelancaran proses alih kekuasaan dari UNTEA kepada Pemerintah Indonesia. Sekjen PBB kemudian mengirimkan utusan untuk menerima pemerintahan di Irian Barat. Secara berangsur-angsur pegawai bangsa Belanda meniggalkan Irian Barat, dimana hingga Maret 1963 praktis hampir semua jabatan dalam pemerintahan UNTEA telah berada ditangan bangsa Indonesia, kecuali jabatan-jabatan tertentu dan vital yang terus dipegang oleh petugas PBB bangsa lain hingga pada akhir masa tugas UNTEA di Irian Barat, 1 Mei 1963.
Tiga hari kemudian, tepatnya 4 Mei 1963, Bung Karno tiba di Papua. Dan di Kota Baru yang sebelumnya bernama Hollandia, ibukota Nederland Nieuw Guinea (sekarang Jayapura) suara Bung Karno membahana ke seluruh Tanah Papua :
“…Dan apa yang dinamakan tanah air Indonesia? Yang dinamakna tanah air Indonesia ialah segenap wilayah yang dulu dijajah oleh pihak Belanda, yang dulu dinamakan Hindia Belanda, yang dulu dinamakan Nederlands Indië. Itulah wilayah Republik Indonesia. Dengarkan benar kataku, itulah wilayah Republik Indonesia. Itu berarti bahwa sejak 17 Agustus 1945 Irian Barat telah masuk di dalam wilayah Republik Indonesia. Apa yang belum terjadi? Karena penjajah Belanda di Irian Barat sesudah proklamasi itu masih berjalan terus, maka Irian Barat belum kembali termasuk di dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Sehingga kita punya perjuangan yang lalu ialah Saudara-Saudara perhatikan benar-benar, bukan memasukan Irian Barat ke dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Kesalahan ini masih kadang-kadang dibuat. Orang masih berkata, berjuang memasukan Irian Barat kembali ke dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Tidak!
Irian Barat sejak 17 Agustus 1945 sudah masuk dalam wilayah Republik Indonesia. Orang kadang-kadang berkata, memasukan Irian Barat ke dalam wilayah Ibu Pertiwi. Salah! Tidak! Irian Barat sejak daripada dulu sudah masuk ke dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia…”
(Dikutip dari Pidato Bung Karno di Kota Baru, Jayapura, tanggal 4 Mei 1963)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar