Selasa, 24 April 2012

UU Migas Runtuhkan Kedaulatan Negara



Sebanyak 32 tokoh dan 10 organisasi kemasyarkatan keagamaan menyatakan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi telah meruntuhkan kedaulatan negara dan kedaulatan ekonomi bangsa. 
"UU Migas telah meruntuhkan kedaulatan negara dan kedaulatan ekonomi bangsa. UU Migas ini menjadi zalim terhadap bangsa Indonesia sendiri," kata Kuasa Hukum para pemohon, Syaiful Bakhri, saat membacakan permohonan dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (17/4). 
Permohonan UU Migas ini diajukan oleh 32 tokoh agama antara lain Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, mantan Ketua MUI Amidhan, mantan Ketua PB NU A Hasyim Muzadi, mantan Menakertrans Fahmi Idris, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Komaruddin Hidayat.  
Gugatan itu juga didukung mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli dan tokoh NU KH Salahuddin Wahid, 
Sedangkan dari kelompok ormas ada Lajnah Siyasiyah Hizbut Tahrir Indonesia, Persatuan Umat Islam, Al-Irsyad Al-Islamiyah, dan Persaudaraan Muslim Indonesia. 
Para pemohon menguji pasal 1 angka 19 dan 23, pasal 3 huruf b, pasal 4 ayat (3), pasal 6, pasal 9, pasal 10, pasal 11 ayat (2), pasal 13, dan pasal 44 UU Migas.  
Mereka menilai UU Migas berdampak sistemik terhadap kehidupan rakyat dan dapat merugikan keuangan negara. 
Sebab, UU Migas membuka liberalisasi pengelolaan migas yang sangat didominasi pihak asing karena dunia permigasan Indonesia dikuasai oleh perusahaan asing sampai 89%.  
Syaiful mengatakan pembentukan UU Migas terdapat desakan internasional untuk melakukan reformasi dalam sektor energi, khususnya migas.
"Reformasi energi bukan hanya berfokus pada upaya pencabutan subsidi bahan bakar minyak (BBM), tetapi dimaksudkan untuk memberikan peluang besar kepada korporasi internasional untuk merambah bisnis migas di Indonesia," katanya.  
Saiful mencontohkan mekanisme kontrak kerja sama seperti diatur Pasal 1 angka (19) sangat merendahkan martabat negara ini karena kontrak kerja sama yang berkontrak adalah Badan Pelaksana (BP) Migas atas nama negara berkontrak dengan korporasi atau korporasi swasta yang selalu menunjuk arbitrase internasional jika terjadi sengketa. 
"Akibat hukumnya apabila negara kalah dalam sengketa ini berarti juga kekalahan seluruh rakyat Indonesia. Di situlah inti merendahkan martabat negara. Pasal 1 angka (19) itu menimbulkan ketidakpastian hukum khususnya pemaknaan kontrak lainnya," kata Syaiful. 
Pemohon juga menilai konsep BP Migas selaku kuasa pertambangan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) menjadi kabur karena hanya bertugas mewakili negara untuk mengontrol cadangan dan produksi Migas seperti diatur Pasal 44 UU Migas. 
Sidang pemeriksaan panel pemeriksaan pendahuluan ini diketuai Achmad Sodiki beranggotakan Hardjono dan Hamdan Zoelva.      
Dalam sidang perdana ini Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva memberikan peringatan kepada sebagian pemohon memberi tanda tangan dalam permohonan.  
"Ada banyak pemohon yang belum tanda tangan sebagai pemberi kuasa, harap ini dilengkapi. Hizbut Tahrir, Pimpinan Serikat Islam, Marwan Batubara, Laode Ida, Fauziah Silvia, ini harap dilengkapi," kata Hamdan.  
Dalam sidang ini Majelis panel juga memberikan kesempatan kepada para Pemohon untuk memperbaiki permohonannya dalam waktu 14 hari.  
Kepentingan asing
Rizal Ramli yang hadir pada kesempatan itu mengingatkan gugatan UU Migas akan sangat mengganggu kepentingan sejumlah pihak yang selama ini diuntungkan. 
Mereka adalah perusahaan-perusahaan migas asing, domestik, dan para pejabat yang selama ini mengeruk manfaat lewat cara kolusi dan korupsi. 
Sehubungan dengan itu, lanjut Rizal, mereka pasti akan mengerahkan segala cara untuk menggagalkan gugatan ini. 
Mereka akan menggiring opini, seolah-olah akan berbahaya jika UU Migas dibatalkan. Misalnya, anjloknya kepercayaan investor asing, hancurnya kredibilitas Indonesia di mata dunia, melambatnya pertumbuhan ekonomi, dan lainnya.
RUU Migas sebenarnya pernah ditolak DPR saat pertama kali diajukan ketika Menteri Pertambangan dan Energi dijabat Kuntoro Mangkusubroto. Saat itu selaku penasihat ekonomi DPR, Econiy memberi masukan tentang bahayanya RUU Migas sehingga akhirnya ditolak DPR. 
Namun setelah Presiden Abdurrahman Wahid dijatuhkan tahun 2001, RUU itu kembali diajukan. Karena negara sedang disibukkan transisi kekuasaan dari Gus Dur ke Megawati Soekarnoputri, tidak beberapa lama, RUU itu telah disahkan menjadi UU.
"Waktu itu kepada DPR saya jelaskan, RUU ini adalah pesanan asing. Bahkan drafnya pun disusun asing. Mana ada orang asing yang menyusun RUU yang akan menguntungkan rakyat Indonesia. Mereka pasti lebih mengutamakan kepentingdan korporasinya sendiri. Dari sini saja UU Migas memang layak dibatalkan," tukas Rizal Ramli yang juga pendiri Econit.

Sumber :www.beritasatu.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar