Rabu, 16 Mei 2012

Melanggar Lampu Merah Berarti “DOSA” !!!



Suatu siang di Utrecht, Belanda. Seorang kawan mengajakku berkunjung ke rumahnya di Horst, daerah di selatan Belanda. Kawanku menghidupkan GPS di handphonenya sebelum mobil kami berangkat. “Kenapa harus menyalakan GPS? Bukankah kamu hafal jalan ke rumahmu?” tanyaku penasaran.
Menurut kawanku, GPS tak hanya sebagai penunjuk arah tapi juga membantunya mengetahui kecepatan maksimal yang boleh ditempuh saat ia berkendara. Ia tak ingin melanggar lalu lintas.
Masyarakat Belanda memang dikenal disiplin. Di negeri Kincir Angin ini, pemerintah punya cara-cara kreatif dan unik untuk mengatur lalu lintas. Misalnya setiap mobil harus mengambil jarak selebar 2 meter dengan kendaraan lainnya guna menghindari tabrakan beruntun. Jika menyalip, harus ada jarak yang cukup untuk mengantisipasi jikalau kendaraan yang akan disalip berbelok tak terduga.
Di daerah perumahan dan perkotaan, klakson hanya boleh dibunyikan untuk memberikan sinyal tanda bahaya atau bila sangat perlu. Mengklakson penyeberang jalan bukan sebagai tanda bahaya, hukumnya haram dan bisa kena tilang.
Di negeri ini, pejalan kaki dan pesepeda sangat diutamakan dengan disediakannya jalur khusus. Jalur sepeda di Belanda dibuat terpisah dari alur jalan raya. Jalur sepeda ini bisa memotong blok bangunan dan gang-gang yang merupakan jalan buntu bagi mobil. Semua jalur memiliki tanda lalu lintas yang seragam dan mudah diikuti, bahkan untuk orang baru sekalipun.
Jalur sepeda menawarkan jalan pintas yang lebih cepat daripada jalur pengendara kendaraan bermotor. Saat di persimpangan jalan, pesepeda dan pejalan kaki pun diprioritaskan. Pengemudi mobil atau pengendara motor akan berhenti untuk memberi kesempatan kepada mereka jika ingin menyeberang. Di jalan sempit, mobil bahkan harus minggir untuk memberikan jalan bagi pesepeda dan pejalan kaki.
Jika dengan prioritas itu masih terjadi kecelakaan, hukum lalu lintas Belanda sepenuhnya melindungi pesepeda. Tidak peduli kesalahan di pihak siapa, mobil atau kendaraan bermotorlah yang bertanggung jawab. Ini mendukung prinsip bahwa di jalan raya yang kuat harus melindungi yang lemah.
Sementara soal kebijakan lampu lalu lintas, Belanda punya lampu lalu lintas khusus pejalan kaki dan kendaraan bermotor. Di Belanda melanggar rambu lampu merah artinya “mati”! Pelanggar langsung kena tilang atau point (jika dilakukan berulang kali). Kalau sudah sampai pada point tertentu maka SIM bisa dicabut.
Di setiap jalan raya utama di Belanda terdapat kamera yang akan merekam kejadian di sekitar lokasi tersebut. Jika terjadi pelanggaran oleh pengguna jalan, seperti melanggar lampu merah atau mengendarai dengan kecepatan melewati batas maksimal, kamera akan otomatis memotret kendaraan yang melanggar. Data nomor polisi akan dikirim dan diolah di pusat data kepolisian. Berdasarkan data tersebut, kepolisian akan menerbitkan surat tilang elektronik yang dikirim via pos ke alamat nama pemilik kendaraan yang melanggar tersebut. Uniknya, jika pelanggar keberatan dengan tilang itu, mereka berhak mengajukan penolakan dengan alasan tepat.
Regulasi lalu lintas di Belanda bisa menjadi salah satu contoh bagi Indonesia guna meningkatkan kenyamanan dan keselamatan berkendara dengan didukung oleh sarana, prasarana dan mekanisme yang jelas. Regulasi yang bertujuan baik akan lebih efisien dan efektif jika pemerintah terlebih dahulu menyediakan fasilitas paling mendasar semisal jalanan rata dengan kualitas aspal yang baik dan minim lubang. Semangat perubahan ke arah lebih baik yang harus ditekankan, bukan hanya sekadar latah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar