Kamis, 24 Mei 2012

Mea Culpa Indonesia Masih Ditunggu



Di Belanda baru baru ini terjadi sebuah heboh. Negara yang pernah diduduki tentara Nazi Jerman ini bertradisi mengenang para korban Perang Dunia ke-II pada 4 Mei dan merayakan Hari Pembebasan pada 5 Mei. Berbeda dengan di masa lalu, kali ini ada gagasan untuk juga mengenang para serdadu pendudukan Jerman yang menjadi korban perang.


Puncaknya: Pengadilan setempat melarang acara tersebut. Resminya: para serdadu yang juga korban, boleh saja dikenang, tetapi tidak dengan semangat yang sama dengan acara mengenang para korban Nazi.
Sepintas wajar saja keputusan ini, namun ekornya bermakna. Yaitu timbulnya kemarahan sebagian publik yang tak dapat menerima acara mengenang tentara pendudukan sekali pun mereka juga korban Perang Dunia ke-II.
Di lain pihak ada sebagian publik yang juga tidak dapat menerimanya karena acara yang bersifat khusus bagi korban perang ini mengabaikan ulah sejenis dari tentara Belanda di rantau, seperti di Indonesia pada 1940an dan di Srebrenica pada 1995.
Setiap kemarahan moral adalah selektif dan menyisakan emosi yang melekat, yang dapat berkembang menjadi sebuah gumpalan dendam kesumat yang setiap saat dapat membara.
Mea culpa?
Mea culpa atau permohonan maaf secara resmi adalah sebuah sarana untuk mengatasi hal ini. Setiap "maaf" merupakan suatu pengakuan atas kesalahan yang pernah dilakukan.
Kadang maaf tersebut secara normatif diartikan sebagai mengandung suatu niat atau pun upaya untuk tidak mengembangkan dendam dan kebencian yang pernah ada agar tidak membebani diri lagi dalam perjalanan ke depan.
Mea culpa seperti inilah yang sering dikaitkan dengan pernyataan para pemimpin negara tentang masa silam yang kelam.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, melalui staf penasihatnya, belum lama menyatakan akan menyampaikan permintaan maaf atas sejumlah pelanggaran berat hak hak asasi manusia di masa lalu. Sejumlah pelanggaran yang dirinci adalah: Pembunuhan massal 1965-66, Aceh 1976-1989, Tanjung Priok 1984, Papua 1996, Peristiwa 27 Juli 1996, Talangsari 1989 dan seterusnya.
Citra sejarah
Datang dari seorang pemimpin negara pada paruh pertama akhir masa baktinya, mea culpa SBY ditafsirkan sebagai sebuah upaya untuk mewariskan citra sejarah yang baik sepeninggal masa jabatannya kelak.
Sejauh semua ini dimaksud untuk melapangkan jalan ke depan, ke arah suatu rekonsiliasi nasional, wajar saja, namun permintaan maaf ini tidaklah jelas kriteria kasus pilihannya mau pun strateginya ke depan.
Ketika Presiden Abdurrachman Wahid mengungkap permintaan maafnya kepada para korban Peristiwa 1965, hal itu pun diungkapnya tanpa kriteria dan strategi yang jelas. Gus Dur yang tengah belajar di Irak ketika pembantaian massal terjadi pada 1965-66, kembali ke tanah air menemui kenyataan dengan perasaan yang gelisah dan mengakui bahwa para pelakunya adalah ormas di lingkungan Nadhatul Ulama.
Semasa menjabat presiden, mea culpa diungkapnya secara informal pada saat hangatnya tuntutan dan hujatan reformasi terhadap ABRI.
Kapan TNI?
Media massa ketika itu melaporkan "Saya minta maaf atas segala pembunuhan yang terjadi terhadap orang-orang yang dikatakan komunis itu," kata (Gus Dur) pada acara Secangkir Kopi Bersama Gus Dur yang disiarkan langsung TVRI. Ia juga menyambut baik kalau masalah G-30-S/PKI itu dibuka kembali. Alasannya, "selama ini orang menganggap bahwa PKI itu bersalah." (TEMPO, 4 April 2000 )
Sebuah milis (TNI Watch! 15 Maret 2000) malah tampil judul berita "N.U. Sudah Minta Maaf, Kapan Giliran TNI?". Sebuah momentum yang tak pernah dimanfaatkan TNI.
Di sisi lain, Pramoedya Ananta Toer, misalnya, mengabaikan permintaan maaf Gus Dur sebagai suatu pernyataan yang "gampang", padahal sesungguhnya berisiko politik yang besar. Akhirnya, kita tahu, mea culpa Gus Dur berujung pada kontroversi politik yang turut mendorong ke arah kejatuhannya sebagai Kepala Negara.
Hampa
SBY berada pada situasi dan kondisi yang amat berbeda. Risiko yang dihadapinya tidak membahayakan posisinya. Malah sebaliknya. Namun permintaan maaf Negara hanya akan menjadi hampa, tanpa makna, apabila tidak ditindaklanjuti dengan suatu upaya nyata ke arah rekonsiliasi nasional.
Ada kalangan yang pesimis akan prospek semacam itu. Prahara 1965 itu kini diakui sebagai suatu kejahatan (crimes) setelah empat dasawarsa berlalu. Di Jawa Tengah, pernah ada suatu upaya, bahkan suatu gerakan untuk mengawali ini, bukan dari tataran negara dan perangat hukum, melainkan dari tataran pelaku dan korban pada tingkat akar rumput.
Spanyol
Di Spanyol, bahkan, Perang Saudara 1936-1939 – dengan korban puluhan ribu orang tewas, hilang dan ditahan - setelah tujuh dasawarsa berlalu dapat diangkat ke permukaan publik sebagai suatu upaya mobilisasi politik demi hasrat dan upaya untuk mempelajari kembali latar belakang prahara dan mengambil pelajaran.
Di bawah PM Spanyol Jose Luis Rodriguez Zapatero (2004-2011), sepanjang lima tahun yang baru berlalu, sejumlah kuburan massal tersembunyi berhasil dipetakan kembali dan digali, monumen diktator Franco dipindah, dan sejumlah kamp tahanan dipugar.
Semua itu dalam rangka merenungkan perjalanan bangsa dan prospeknya ke depan.
Rekonsiliasi nasional
Presiden Yudhoyono pada 2005 berjanji akan merehabilitasi para korban 1965/66 dan keluarganya – suatu prakarsa yang disambut baik, namun belakangan tidak ditindaklanjuti. Demikian pula dengan penuntasan kasus pembunuhan Munir (2004).
Proposal membangun KKR (Komisi Kebenaran & Rekonsiliasi) gugur di Mahkamah Konstitusi pada 2006 dan upaya baru hingga kini belum menampakkan hasil.
Dengan kata lain, rekonsiliasi nasional - seperti pernah diupayakan di Jawa Tengah dan Spanyol - menuntut suatu gerakan masyarakat bersama kekuatan politik yang ada. Bukan sekedar sebuah mea culpa yang tak berawal dan tak berujung, tapi selayaknya menjadi suatu gerakan popular agar, pada akhirnya, tidak harus bermuara pada victor justice – sekadar keadilan menurut pihak pemenang politik.
Oleh Aboeprijadi Santoso

Tidak ada komentar:

Posting Komentar