Minggu, 20 Mei 2012

Kemurungan Indonesia Pasca Demokrasi



Tidak ada kata lain yang paling tidak disukai dan mungkin dijauhi sekarang ini selain kata politik. Politik, secara intrinsik, memang selalu tidak menyenangkan. Tetapi bagaimana pun, suka atau tidak suka, tidak ada orang yang bisa membebaskan diri dari politik. Anda boleh mengasingkan diri ke suatu pulau. Tetapi di sana Anda tidak mungkin bebas dari sengatan “global warming” yang langsung atau tidak langsung merupakan produk politik dan hanya bisa ditanggulangi secara politik.
Sesungguhnya, di masa lalu politik pernah menduduki tempat terhormat dalam masyarakat. Suatu waktu, politik merupakan istilah dengan sejumlah konotasi positif yang setidaknya dibuhungkan dengan the common good atau kemaslahatan bersama. Di Athena klasik, pada zaman Plato, dan Aristoteles, politik merupakan “ratu” dari ilmu-ilmu yang lain dan merupakan kegiatan manusia yang terpenting. Aristoteles merumuskan politik itu sebagai master science yang hanya dimiliki orang-orang yangexcellent dan telah banyak makan asam garam kehidupan. Di zaman modern ini, sejalan dengan diferensiasi kehidupan masyarakat, the primacy of politics itu tidak lagi berlaku. Meskipun begitu, politik tetap saja penting dan tak dapat tiada dalam kehidupan masyarakat.
Sayang, bahwa politik yang sebenarnya indah dan mulia itu kini banyak dicemari praktek tak bertanggungjawab. Dewasa ini politik semakin merupakan istilah kotor, yang sinonim dengan kemunafikan, korupsi dan barang dagangan yang menjijikan. Pada demokrasi lama orang-orang kian membenci politik dan kehilangan kepercayaan terhadap kinerja institusi-institusi demokrasi. Partisipasi politik kian melemah. Turnout atau kehadiran dalam pemilihan hanya merupakan porsi yang mengecil dari keseluruhan pemilih. Partai-partai politikpun semakin kehilangan partisan sampai pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Kemurungan yang sama berlangsung pula di Indonesia. Dalam beberapa hal, malah lebih intens dan banal. Demoraksi beserta hak-hak yang menyertainya yang telah diperjuangkan dengan darah dan air mata, begitu cepat menampilkan paradoks-paradoks mengerikan. Demonstrasi dan konflik fisik tak hentinya sepanjang tahun. Kelompok vigilante, seperti FPI, bermunculan di beberapa koat. Atas nama agama, modal dan ketertiban umum, dengan menggunakan kekerasan, kelompok itu main hakim sendiri.
Setiap kali menjelang pemilu, kita menyaksikan bagaikan jamur di musim hujan lahirnya partai yang semakin sukar dibedakan satu sama lain – kecuali dalam hal tokoh yang memimpinnya. Kehadiran partai berbanding terbalik dengan tingkat partisipasi politik warga. Belakangan ini, kita tersentak oleh rendahnya turnout dalam pilkada, khususnya Pilkada Jawa Tengah, yang mendekati angka 50 persen.
Suatu paradoks lain dari demokrasi Indonesia, baru-baru ini diangkat sebagai tema seminar di Yogyakarta yang disponsori oleh Komite Indonesia untuk Demokrasi. Paradoks itu dirumuskan sebagai hilangnya voluntarisme dalam perpolitikan di Indonesia. Dikatakan bahwa partisipasi politik, khususnya partispasi dalam kegiatan partai, tidak lagi dilakukan secara sukarela dan tanpa pamrih melainkan telah bergeser menjadi kegiatan transaksional. Apa yang terjadi?
Colin Crouch, seorang profesor sosiologi pada European University Institute, dalam bukunya Post-Democracy, mengetengahkan apa yang disebutnya sebagai the commercialization of citizenship. Yang ia maksudkan adalah komersialisasi hak-hak sosial warga, seperti pendidikan dan kesehatan. Praktek komersialisasi itu juga telah berlangsung di sini. Tetapi yang dihadapi Indonesia jauh lebih dahsyat : hak-hak politik itu sendiri yang diperjualbelikan. Dan itu ditemui tidak hanya di lapisan bawah, melakinkan juga pada tingkat elite di tubuh partai maupun dalam dewan-dewan perwakilan rakyat.
Bagi mereka yang terlibat, politik itu dipandang tidak lebih dari suatu jenis bisnis yang lain. Maka tak pelak lagi, arena politik telah didegradasikan sebagai semacam pasar, tempat bertemunya “pembeli” dan “penjual”. Dan harus segera ditambahkan di sini: pasar itu untuk sebagian besar merupakan pasar gelap, lengkap dengan makelar-makelarnya. Maka tak terelakan, pada akhirnya hanya orang-orang berduit yang bisa bermain di dalamnya. Kita kini berada dalam era pasca-demoraksi yang disinyalir oleh Colin Crouch itu.
Banyak faktor yang bisa disebut sebagai prima causa dari perkembangan buruk ini. Dapat disebutkan diantaranya, pertama, mencairnya semen ideologi, sementara partai tak dapat menawarkan platform sebagai alternatif. Kedua, biaya politik, khususnya biaya kampanye semakin eksesif. Ketiga, dampak negatif dari kemajuan (teknologi) media massa, khsusunya media elektronik. Keempat, dampak negatif dari sistem presidensial dan pemilihan langsung kepala daerah yang pada gilirannya memperlemah cohesiveness atau daya rekat partai. Kelima, personalisasi politik di tengah-tengah masyarakat yang sudah dan kian terkontaminasi atau terindividualisasi. Keenam, pada tingkat massa, kemiskinan sudah sedemikian rupa sehingga tidak ada lagi yang dapat dijual kecuali hak-hak itu. Dan ketujuh, kita terlampau liberal (konvensional) dalam menerapkan demokrasi.
Demikian sejumlah faktor pada dataran sosio-politik yang merupakan penyebab terpuruknya perpolitikan sekarang. Semua faktor, secara sendiri-sendiri maupun bersama ikut berperan. Dan terlampau penting untuk tidak dikemukakan di sini, pada tataran etis, sebagai resultante dari bekerjanya faktor-faktor tadi, bangsa ini menemukan dirinya dalam keadaan kekosongan nilai-nilai civic berupa hilangnya komitmen terhadap kehidupan bersama diantara para warganya. Dirumuskan secara lain, dengan menggunakan idiom republikanisme: The final cause adalah lunturnya patriotisme, lunturnya keutamaan civic dalam masyarakat.
Politik pada dasarnya bersangkut paut dengan bagaimana menghidupi, memelihara atau mempertahankan kehidupan bersama. Oleh karena itu, tantangan yang kita hadapi sekarang adalah memulihkan kembali kedudukan politik seperti itu yang kini dilanda krisis kepercayaan oleh warganya sendiri.
A.Rahman Tolleng


Tidak ada komentar:

Posting Komentar