Kamis, 05 April 2012

Waspadai Dukungan Australia Untuk Papua Merdeka Lewat Diplomasi Kebudayaan




Belum genap dua pekan ketika Australia dikecam sejumlah politisi Indonesia terkait dijadikannya Australia sebagai tuan rumah peluncuran International Parliamentarians for West Papua (IPWP), atau Kaukus Parlemen Internasional untuk Papua merdeka akhir Februari lalu. Kini Australia kembali bikin ulah terkait dukungannya terhadap kampanye Papua Merdeka.


Minggu 11/3/2012, di lapangan Botanical Garden Adelaide, Australia berlangsung Festival Womadelaide. Dalam konser yang juga menghadirkan grup musik terkenal Blue King Brown itu, kampanye Papua merdeka tampak sengaja diberi ‘panggung. Bendera bintang kejora dibentangkan di atas panggung dan yel-yel ‘Papua Merdeka’ dipekikan dengan meriah hampir sepanjang konser berlangsung.
Festival itu khabarnya dihadiri ribuan orang dari mancanegara. Selain konser musik dan tarian daerah dari mancanegara, juga digelar pameran Free West Papua di stand khusus yang dikoordinir oleh Austrlia West Papua Asocciation (AWPA).
Dari event ini, patut diragukan niat baik Australia mendukung kedaulatan NKRI di Papua.
Padahal secara resmi pihak Kedubes Australia sudah bikin pernyataan terkait masalah kedaulatan NKRI di Papua :
“Australia berkomitmen penuh terhadap keutuhan wilayah dan persatuan nasional RI, termasuk kedaulatannya atas provinsi-provinsi di Papua. Ini merupakan kewajiban dasar Traktat Lombok antara Australia dan Indonesia,” jelas atase pers Kedubes Australia, Ray Marcelo, dalam siaran pers, Selasa (28/2/2012). Australia dan Indonesia, lanjut Ray, adalah mitra strategis dan hubungan kita pada saat ini bagus dan erat. Seiring dengan luar biasanya transformasi di Indonesia, Australia berupaya untuk turut berperan serta demi kemajuan bangsa Indonesia.
Namun dengan adanya event di Adelaide, terus-terang kita patut meragukan kesungguhan Pemerintah Australia terkaitnya komitmennya mendukung kedaulatan NKRI.
Betul bahwa lauching IPWP di Canberra dua pekan lalu maupun acara budaya di Adelaide tidak mewakili sikap Pemerintah Australia, tetapi bukankah Australia memiliki perangkat keamanan negara yang luar biasa ketatnya? 
Sampai-sampai nelayan tradisional asal NTT yang baru melewati beberapa derajat saja garis batas laut di areal pulau Pasir (ashmore reef) secepat kilat awaknya ditangkap, disel, diproses pengadilan dan perahunya dibakar? Tetapi mengapa 24 warga Papua yang diselundupkan oleh aktivis Papua merdeka Herman Wanggai tahun 2008 yang lalu hingga sekarang tidak juga dideportasi?
Diplomat Indonesia Tidak Kuasai Total War
Jika kita memang sulit mempercayai sikap Australia, maka langkah darurat yang bisa kita lakukan sekarang adalah seperti himbauan Ketua MPR RI Hajriyanto Thohari. Menurutnya, diplomat-diplomat Indonesia lamban dalam meluruskan berita-berita tentang Papua. Hajriyanto meminta para diplomat Indonesia memiliki inisiatif lebih intensif dan strategis disbanding gerakan separatis dalam memberi penjelasan soal masalah-masalah di Papua. Selama ini para diplomat bersikap reaktif terhadap masalah-masalah separatisme di Indonesia.
Dengan kata lain, ini gambaran nyata betapa para diplomat Deplu kita sama sekali tidak punya gambaran gimana memainkan peran diplomasi sebagai perang total atau setidaknya perang non-militer melalui matra diplomasi. 
“Diplomat-diplomat Indonesia harus memiliki prakarsa aktif dan ofensif. Jangan sampai kalah opini. Para diplomat mengambil kendali opini di negara-negara yang menjadi tempat kerja mereka,” sindir Hajriyanto.
Benar juga ungkapan Mas Hajriyanto tersebut. Kayaknya Mindset para diplomat Deplu memang harus dirubah dan ditata ulang.
Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute

Tidak ada komentar:

Posting Komentar