Rabu, 11 April 2012

Bung Hatta Membedah Dampak Kolonialisme Modal



Apakah kita harus bangga sebagai negara tujuan modal asing? Konon, Indonesia masuk 20 besar tujuan investasi asing. Lalu, modal asing sudah menguasai 60% asset perbankan Indonesia, menguasai 60% aset BUMN, dan mengusai sekitar 70-90% eksplorasi tambang di Indonesia.
Kenyataan itu tidak lepas dari andil pemerintah. Sejak orde baru hingga sekarang, pintu ekonomi kita memang dibuka sangat “liberal”. Bahkan, sejak pemberlakuan UU PMA tahun 2007, modal asing tidak lagi dibatasi alias bisa 100%.
Pemerintah menganggap hal itu positif. Gita Wirjawan, salah seorang jubir rezim neoliberal di Indonesia, mengatakan, investasi asing itu bisa menciptakan lapangan pekerjaan baru, meningkatkan pendapatan pajak, standar hidup, memberikan transfer teknologi dan pengetahuan, serta mendorong perkembangan sektor turunan lainnya.
Argumentasi Gita Wirjawan itu sudah usang. 80-an tahun yang lalu, tepatnya tahun 1930-an, Bung Hatta sudah mematahkan argumentasi semacam itu. Dulu, argumentasi semacam itu sangat kuat disuarakan oleh kolonialis Belanda.
Pada tahun 1931, Gubernur Jenderal Belanda yang baru, De Jonge, menyampaikan pidato di depan Volksraad. Isi pidato De Jonge persis dengan argumentasi Gita Wirjawan: perusahaan barat di Indonesia memberi pekerjaan kepada buruh Indonesia, menambah pajak untuk kas negara, dan menghasilkan barang-barang yang bisa dijual ke luar negeri.
Pendek kata, bagi De Jonge, kalau perusahaan barat itu diganggu, maka rumah-tangga negeri dan kehidupan rakyat akan kocar-kacir. Karena itu, perusahaan barat itu jangan diganggu, jangan ditimpai dengan belasting (pajak) yang berat, dan janganlah ada gerakan kemerdekaan.
Saat itu, kata Hatta, goncangan terhadap perusahaan barat itu memang sangat berpengaruh pada penghidupan rakyat. Sebab, pemerintah kolonial Belanda—seperti juga pemerintahan SBY sekarang—suka melemparkan beban krisis ekonomi ke pundak massa rakyat. Bung Hatta mencontohkan, ketika perusahaan asing itu terkena imbas krisis, sehingga setoran pajak ke kas negara berkurang, maka pemerintah kolonial melakukan penghematan. Akan tetapi, ironisnya, yang menjadi sasaran penghematan bukan belanja militer, gaji tentara atau polisi, melainkan belanja atau anggaran untuk kesejahteraan rakyat.
Saat itu, kira-kira tahun 1930-an, dunia memang sedang dilanda krisis malaise. Orang-orang Indonesia menyebutnya “jaman meleset”. Akibat merosotnya permintaan di pasar internasional, banyak perusahaan asing di dalam negeri turut merugi. Ekspor dan impor menyusut. Akibatnya, pemasukan kas negara kolonial dari pajak dan cukai merosot drastis.
Lantas apa dampak modal kolonial di Indonesia?
Bung Hatta memulai penggeledahannya dari pra-masuknya kolonialisme. Sebelum masuknya kolonialisme, kata Bung Hatta, rakyat Indonesia hidup sederhana: konsumsinya seimbang dengan kemampuan berproduksi. Bangsa kita punya penghasilan yang cukup buat dimakan, punya perniagaan sendiri dengan bangsa asing, dan punya kapal sendiri yang melayari lautan besar dan menyinggahi pelabuhan dari Jepang hingga Persia.
Begitu kolonialisme masuk, perdagangan dan pelayaran dimusnahkan; pertanian rakyat dipaksa menghasilkan barang yang dikehendaki kolonialis. Sampai-sampai, untuk mencegah persaingan perdagangan, penguasa kolonial memusnahkan penduduk Pulau Banda. Belum lagi, bangsa Indonesia makin dirusak kehidupannya oleh praktek cultuurstelsel.
Seusai era cultuuralstelsel datanglah era politik etis. Di sini terjadilah apa yang disebut Bung Hatta sebagai peralihan dari staatexploitatie menjadi particulierexploitatie. Di sini, rakyat Indonesia berhadapan dengan penindas baru, yaitu kapitalis swasta.
Bung Hatta berusaha merinci perbedaan pendapatan antara majikan (pemodal asing) dengan rakyat pekerja Indonesia. Yang pertama, kaum majikan, sanggup mengeluarkan dividen sampai berpuluh-puluh persen, memberi royalti kepada administrator kolonial sampai beratus ribu rupiah setahun, sanggup memberi royalti kepada personil rendah kolonial belanda lebih dari separuh gaji setahun. Sedangkan yang kedua, pekerja Indonesia—yang menghasilkan untung beratus juta kepada majikan—harus bersabar untuk mendapatkan hanya 40 sampai 50 sen sehari. Nasib kaum tani yang dipaksa menyewakan tanahnya tak kurang menderitanya.
Lebih jauh, Bung Hatta menjelaskan, situasi itu diperburuk oleh kenyataan bahwa sebagian besar modal asing itu bergerak di industri pertanian. Maklum, modal asing itu masuk dengan memilih jenis atau sektor usaha yang diminatinya. Asalkan bisa memberi keuntungan.
Bagi Bung Hatta, seperti juga dinyatakan Bung Karno, industri kolonial belanda yang sebagian besar pertanian itu tidak memerlukan tenaga kerja banyak. Ini berbeda, tentu saja, dengan keadaan industri di eropa. Tipikal kapital pertanian ini, kata Bung Hatta, bisa digambarkan sebagai berikut: memerlukan ruang (tanah) yang luas, tetapi hanya membutuhkan sedikit tenaga.
Akibat perkembangan industri itu, banyak petani kehilangan sawah dan tanah-tanahnya. Seharusnya, jika mengikuti perkembangan industri di Eropa, para petani yang kehilangan tanah ini terserap atau beralih ke industri di kota-kota. Akan tetapi, industri kolonial saat itu hanya memerlukan tenaga kurang lebih 2 juta orang—sebab, kebanyakan industri pertanian.
Dengan demikian, industri kolonial itu hanya menyerap sebagaian kecil dari rakyat Indonesia. Namun, dampaknya yang ditimbulkannya sangat dahsyat. Kenapa bisa demikian? Hatta menjelaskan alasannya: (1) karena barisan penganggur sangat banyak, maka upah buruh Indonesia yang diterima bekerja pun bisa ditekan hingga serendah mungkin. (2) kehancuran pertanian dan perampasan tanah rakyat memicu kesengsaraan pada mayoritas luas penduduk.
Dalam banyak kasus, supaya petani tetap untung maka berasnya pun dijual ke luar negeri yang membeli lebih mahal. Akan tetapi, situasi itu memicu kekurangan beras di dalam negeri. Akibatnya, rakyat pekerja yang sudah berkurang upahnya pun terpaksa membeli harga beras yang mahal. Pendek kata, rakyat secara keseluruhan menjadi susah.
Dengan demikian, Bung Hatta menyimpulkan, kerusakan yang ditimbulkan oleh perusahaan-perusahaan besar itu berpuluh-puluh kali lipat lebih besar dibanding “jasa” yang dihasilkannya. Ia pun menggunakan ungkapan sederhana: “manisnya dimakan oleh kaum kapitalis barat; sampahnya menimpa rakyat kita.”
Pendapat Bung Hatta tentang dampak negatif modal asing itu terus dipertahankannya. Bahkan, dalam salah satu tulisannya di buku “Beberapa Fasal Ekonomi, Hatta malah menulis lebih tajam seperti ini:
“Soal kapital menjadi halangan besar untuk memajukan industrialisasi di Indonesia. Rakyat sendiri tidak mempunyai kapital. Kalau industrialisasi mau berarti sebagai jalan untuk mencapai kemakmuran rakyat (cetak miring sesuai aslinya), mestilah kapitalnya datang dari pihak rakyat atau pemerintah. Karena, kalau kapital harus didatangkan dari luar, tampuk produksi terpegang oleh orang luaran.
Pedoman bagi mereka untuk melekatkan kapital mereka di Indonesia ialah keuntungan. Keuntungan yang diharapkan mestilah lebih dari pada yang biasa, barulah berani mereka melekatkan kapitalnya itu. Supaya keuntungan itu dapat tertanggung, maka dikehendakinya supaya dipilih macam industri yang bakal diadakan, dan jumlahnya tidak boleh banyak. Berhubung dengan keadaan, industri agraria dan tambang yang paling menarik hati kaum kapitalis asing itu.
Dan, dengan jalan itu, tidak tercapai industrialisasi bagi Indonesia, melainkan hanya mengadakan pabrik-pabrik baru menurut keperluan kapitalis luar negeri itu saja. Sebab itu, Industrialisasi Indonesia dengan kapital asing tidak dapat diharapkan. Apalagi mengingat besarnya resiko yang akan menimpa kapital yang akan dipakai itu. Industrialisasi dengan bantuan kapital asing hanya mungkin, apabila pemerintah ikut serta dengan aktif, dengan mengadakan rencana yang dapat menjamin keselamatan modal asing itu.”
KUSNO

Tidak ada komentar:

Posting Komentar