Sabtu, 12 Mei 2012

Melawan Bumerang Sanksi dengan “No”



Belum genap lima bulan berlalu sejak AS yang diamini Uni Eropa menjatuhkan sanksi baru terhadap industri minyak Iran. Alasan klise yang belum terbukti mengenai kekhawatiran penyimpangan program nuklir Iran dari tujuan sipil menjadi militer, digunakan Washington dan sekutunya untuk menekan Tehran supaya bertekuk lutut. Alih-alih menyerah, Iran hingga kini tetap tegar dengan keputusan sulit yang dipilihnya itu. Terpental di Tehran, bumerang itu mulai melesat pelan menghantam tuannya sendiri.


Di tengah pusaran krisis finansial Eropa yang semakin meradang, sejumlah perusahaan raksasa energi kawasan itu mengkhawatirkan nasib kilang minyak mereka ketika pasokan minyak dari Iran dihentikan total. Para pengamat ekonomi menilai perubahan pasokan minyak pengganti Iran akan menelan biaya yang sangat besar.
"Perubahan dan perbaikan instalasi minyak Eropa yang dibangun untuk menyuling minyak mentah Iran menelan dana jutaan dolar. Tentu saja besarnya dana tersebut akan menimbulkan kesulitan lebih besar bagi Eropa, terutama negara-negara yang dilanda krisis ekonomi, " kata Hani al-Khalil kepada CNN.
CNN memberitakan, Eropa akan lebih merasakan dampak buruk dari sanksi itu ketimbang Iran. Analis ekonomi memandang negara-negara Eropa akan kesulitan menghadapi resiko ekonomi akibat sanksi minyak terhadap Iran di tengah memburuknya perekonomian di benua itu.
Di tengah kondisi tersebut, kekhawatiran korporasi energi raksasa Eropa semakin menjadi-jadi. Pasalnya, perusahaan asuransi Eropa baru-baru ini menyatakan tidak akan menanggung kerugian kilang minyak yang mengolah minyak Iran.
Kepanikan serupa juga melanda sejumlah negara Asia yang membeli minyaknya dari Iran. Empat pembeli terbesar minyak Iran, Cina, India, Jepang dan Korea Selatan hingga kini belum menemukan pengganti perusahaan asuransi Inggris yang sebelumnya memberikan layanan asuransi untuk kilang minyak yang mengolah minyak Iran. Kini mereka mendesak pemerintah masing-masing untuk turun tangan.
Cina sendiri hingga kini terang-terangan menyatakan akan tetap melanjutkan impor minyak dari Iran. India juga demikian. Jepang dan Korea Selatan meski mengungkapkan komitmen untuk mengurangi pasokan minyaknya dari Iran, tapi hingga kini masih melanjutkan pasokannya dari Republik Islam itu.
"Kami tidak bisa melanjutkan pekerjaan tanpa pasokan minyak Iran. Untuk itu harus diambil tindakan serius," kata salah seorang pejabat teras Tokyo, mengutip koran ekonomi dan bisnis Jepang, Nikkei.
Di Eropa, Krisis ekonomi yang memburuk saat ini diperparah dengan gejolak politik yang berimbas langsung pada sektor-sektor strategis. Kini, pasar global sedang bergolak pekan ini menyusul ketidakstabilan politik di Eropa. Kondisi Yunani yang tidak memiliki pemerintah sejak pemilu Ahad lalu (6/5) semakin memperluas radius kecemasan memburuknya kondisi ekonomi.
Tampaknya, eskalasi sanksi yang dipaksakan AS terhadap sekutunya untuk menjauhi Iran justru merugikan negara-negara itu. Mungkin, mereka perlu berani mengatakan "No" terhadap dikte Washington, sebelum terlambat. Dan itu keputusan sulit dengan konsekuensi terjal dan berliku. Tapi, inilah yang ditunggu-tunggu rakyat negara-negara Eropa dari para pemimpin baru semacam Hollande. Mampukah pemimpin Sosialis itu mendahulukan kepentingan nasional rakyatnya sendiri dari pada bisikan dikte Washington. (IRIB Indonesia/PH)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar