Minggu, 29 Juli 2012

Tiga Tahun Pemerintah Cuek terhadap Tumpahan Minyak Laut Timor



Masyarakat di pesisir Nusa Tenggara Timur (NTT) hingga kini belum mendapatkan perhatian dari pemerintah pusat. Mereka frustrasi terhadap tumpahan minyak di Laut Timor yang terjadi tiga tahun lalu. 


"Tidak ada perhatian dari pemerintah pusat terhadap masyarakat pesisir NTT. Yang kami minta bukan uang, tapi minta perhatian dari Jakarta, dan kompensasi yang setimpal," kata Feri Tanoni, Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB), dalam seminar tentang tumpahan minyak di Laut Timor, Rabu (25/7).
Feri menegaskan dirinya bahkan sakit hati karena persoalan tumpahan minyak dari anjungan sumur minyak Montara ini tidak menjadi perhatian pemerintah. Ia mengaku ironis ketika pemerintah bersedia menyumbang dana bagi korban banjir di Thailand namun kejadian di NTT tidak dilihat. 
Tak hanya itu, sakit hatinya bertambah ketika pemerintah disebut akan meminjamkan uang kepada Dana Moneter Internasional (IMF) sebesar US$1 juta.
"Kami sakit hati, bahkan Presiden mau beri sumbangan ke IMF, di sisi lain masyarakat NTT berteriak namun tidak didengar," katanya. 
Lebih jauh, Feri mengkhawatirkan masyarakat pesisir dan nelayan di NTT akan menjadi orang gila karena teriakannya tidak didengar pemerintah. "Kami tidak mau 20 tahun ke depan orang pesisir jalan seperti orang gila yang bicara sendiri. Ini karena penderitaan mereka tidak didengar." 
Bahkan, Feri menerangkan saat ini sudah banyak muncul penyakit yang terjadi pada masyarakat pesisir. Ia khawatir akan muncul lebih banyak penyakit yang muncul tahun-tahun ke depan. 
"Sekarang sudah banyak penyakit yang muncul di sana. Saat di terjadi tumpahan minyak di Alaska, lima tahun setelah tumpahan muncul penyakit-penyakit," ucap Feri. 
Dalam seminar itu, Feri menampilkan foto-foto peristiwa tumpahan minyak dan penyakit yang menyerang masyarakat. Ia menyebutkan penyakit yang muncul terjadi di Kupang Barat dan Rote. Penyakit tersebut yakni gatal-gatal, iritasi, dan keluar nanah. 
"Ini terjadi setelah satu tahun pencemaran. Ada juga yang gatal-gatal setelah makan ikan, digaruk kemudian berdarah," terang Feri sembari menunjukkan gambar foto. 
Sebagai informasi, pada 21 Agustus 2009 atau tiga tahun lalu terjadi bencana tumpahan minyak Montara di laut timor. Bencana ini merupakan hasil ledakan anjungan sumur Montara. Minyak dan gas bocor selama 74 hari sampai 3 November 2009. 
Diketahui, setidaknya 5.000 sampai 10 ribu barel minyak telah bocor ke Laut Timor dan 95 persen dari wilayah tercemar ada di perairan Indonesia sementara di wilayah provinsi Nusa Tenggara Timur dan pesisirnya sudah tercemar berat. 
Ribuan keluarga, terutama nelayan dan petani rumput laut di wilayah Timor Barat, Rote Ndao, Sabu, Lembata, Flores Timur, Alor dan Sumba telah sangat terpengaruh dan menderita karena pencemaran laut akibat tumpahan minyak Montara. Pengeboran Minyak Atlas Barat di Laut Timor dioperasikan oleh perusahaan PTTEP wilayah Australasia yang dimiliki Thailand. 
Selama ini PTTEP Australasia yang seharusnya bertanggung jawab tidak berupaya memberikan ganti rugi yang setimpal. Penelitian Profesor Mukhtasor yang juga anggota Dewan Energi Nasional memperkirakan kerugian tahunan akibat tumpahan minyak itu mencapai US$1,7 miliar. 
Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) bekerjasama dengan masyarakat NTT dan beberapa organisasi di Indonesia telah membentuk tim kerja yang terdiri dari para ahli terkenal. Mereka mendesak pemerintah Indonesia, Australia dan perusahaan untuk bertanggungjawab dalam bencana ini untuk membayar kompensasi yang wajar untuk kerusakan dan dampak pencemaran laut yang disebabkan tumpahan minyak Montara. 
Saat ini YPTB dibantu oleh tim pengacara sedang mempersiapkan class action di pengadilan Federal Australia. Gugatan ini diharapkan akan diajukan setidaknya pada Oktober 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar