Senin, 30 Juli 2012

Demokrasi, HAM dan Genosida Muslim Rohingya



Pembantaian luas terhadap Muslim Rohingya sedang berlangsung di Myanmar dan mereka yang mendeklarasikan dirinya sebagai pengusung panji HAM dan demokrasi hanya bungkam menyaksikan kekejaman itu.

Radio Free Europe pada 12 Juli melaporkan bahwa helikopter Burma menyerang tiga kapal yang membawa hampir 50 Muslim Rohingya yang melarikan diri dari kekerasan sektarian di barat Burma. Serangan itu diyakini telah membunuh semua orang di kapal.

Mengapa ada orang yang mengambil risiko fatal seperti itu? Pengungsi sedang berusaha untuk menghindari kematian, penyiksaan atau penangkapan di tangan mayoritas etnis Rakhine Buddha, yang memiliki dukungan penuh dari pemerintah Myanmar.

Tidak semua Muslim di Myanmar dari kelompok etnis Rohingya. Beberapa dari mereka adalah keturunan imigran India, sementara yang lain adalah keturunan Cina, atau memiliki asal-usul Arab dan Persia. Myanmar adalah negara dengan jumlah penduduk yang diperkirakan mencapai 60 juta jiwa, dan hanya 4 persen di antaranya adalah Muslim.

Terlepas dari angka, pelanggaran yang luas terus terjadi terhadap etnis Rohingnya. Mereka menghadapi beberapa kasus diskriminasi terburuk di dunia, tulis Reuters pada 4 Juli, mengutip kelompok hak asasi manusia. Equal Rights Trust yang berbasis di Inggris melaporkan bahwa kekerasan terbaru bukan hanya karena bentrokan etnis, tetapi sebenarnya melibatkan partisipasi aktif pemerintah.

Dari 16 Juni dan seterusnya, militer terlihat lebih aktif dalam melakukan tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap Rohingya, termasuk pembunuhan massa dan penangkapan di negara bagian Rakhine Utara.

Sydney Morning Herald pada tanggal 8 Juli melaporkan, satu kelompok pro-demokrasi di Twitter menyatakan bahwa etnis Rohingya adalah pembohong, sementara pengguna media sosial lainnya mengatakan, "Kita harus membunuh semua Kalar". Kalar adalah sebuah penghinaan rasis yang diterapkan pada orang berkulit gelap dari anak benua India.

Secara politis, Myanmar memiliki reputasi buruk. Sebuah perang saudara berkepanjangan telah melanda negara itu tak lama setelah kemerdekaan dari Inggris pada 1948.

Pemimpin oposisi dan ikon demokrasi Myanmar, Aung San Suu Kyi hanya menyatakan "keprihatinan" atas kekerasan etnis dan pembantaian terhadap warga berkulit gelap dan sepertinya tidak penting bagi partainya yang menguasai parlemen di Myanmar.

Sekjen Organisasi Kerjasama Islam (OKI), Ekmeleddin Ihsanoglu meminta Suu Kyi untuk melakukan sesuatu. Dikatakannya, "Sebagai Penerima Nobel Perdamaian, kami yakin bahwa langkah pertama dari perjalanan Anda untuk memastikan perdamaian di dunia akan dimulai dari depan pintu rumah Anda sendiri dan bahwa Anda akan memainkan peran positif dalam mengakhiri kekerasan yang telah menderita Negara Arakan."

Presiden Myanmar Thein Sein telah melakukan dosa besar, karena ia membuka wacana politik yang mendorong pembunuhan atau bahkan genosida. Dia mengatakan kepada PBB bahwa kamp pengungsi atau deportasi adalah solusi terhadap hampir satu juta Muslim Rohingya. Thein Sein mengusulkan untuk mendeportasi etnis Rohingya jika ada negara ketiga yang siap menerima mereka.

Muslim Rohingya yang sedang menjalani salah satu episode paling keras dari sejarah mereka, adalah salah satu isu yang paling mendesak untuk dibahas di forum-forum internasional. Namun, penderitaan mereka senantiasa absen dari prioritas regional dan internasional. Sementara Muslim Rohingya tanpa negara dan tidak berdaya terus menderita dan mati di dunia yang mendewakan HAM dan demokrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar