Kamis, 07 Juni 2012

Kebijakan Negara Dikontrol Utang



Perekonomian Indonesia makin tergantung utang. Pemasukan pajak yang tidak optimal dan hasil dari sumber daya alam yang minimal membuat pemerintah masih mengandalkan utang untuk menutupi kekurangan anggaran negara.
Jumlah utang yang saat ini sudah hampir menyentuh Rp 2.000 triliun, dengan tidak adanya kontrol devisa, tidak ayal membuat besaran utang dari asing semakin membengkak. Kekhawatiran pengendalian asing sejalan dengan membengkaknya kepemilikan utang negara oleh asing, semakin membuncah.
Kondisi itu disebabkan pengendalian negara dan kebijakan yang menyertainya bisa tergadai oleh utang. Kolonialisme gaya lama dengan bungkus baru pun menghantui. Hal itu diakui Ketua Koalisi Antiutang, Dani Setiawan, kepada SH di Jakarta, Selasa (5/6) siang.
“Saat ini surat utang negara (SUN) Indonesia dikuasai 29,6 persen asing. Melihat trend capital inflow yang masuk ke emerging market seperti Indonesia, sangat memungkinkan kepemilikan SUN oleh asing makin meningkat dan mendominasi lebih dari 50 persen. Apalagi di kawasan saja, kita yang paling besar memberikan bunga,” katanya.
Jika hal tersebut terjadi, lanjutnya, Indonesia tidak akan berdaya menghadapi kontrol kebijakan dari pihak asing. Setiap kebijakan politik pun hampir dipastikan akan menguntungkan atau melayani modal asing yang masuk. “Ini sudah menjadi hukum baku, jika bisa mengontrol kebijakan negara maka suatu negara bisa dikuasai,” tuturnya.
Tanda-tanda hal tersebut sejatinya mulai terendus saat ini. Demi pandangan dan keinginan asing, secara gradual pemerintah mengurangi beban subsidi dalam APBN. Hal ini merupakan salah satu bukti bersedianya pemerintah didikte lembaga pemeringkat asing demi memperoleh predikat layak investasi (investment grade).
Sejak 1949 silam, Indonesia memang terus dijajah utang. Dalam perjanjian Konferensi Meja Bundar (1949), Belanda mewariskan utang US$ 4 miliar sebagai syarat kemerdekaan Republik. Padahal, utang tersebut digunakan untuk membiayai perang dan menguras kekayaan alam.
Transaksi utang luar negeri, kata Dani, telah lama digunakan pihak kreditur sebagai alat untuk mendesak pelaksanaan agenda-agenda liberalisasi di berbagai bidang seperti pelaksanaan privatisasi BUMN dan pelayanan publik, pembukaan pasar bebas, akses pasar karbon, pencabutan subsidi, dan penguasaan sumber daya alam nasional oleh investor asing.
Keagresivan pelaksanaan agenda liberalisasi dan swastanisasi dalam kurun waktu lima tahun terakhir ditandai semakin meningkatnya realisasi penarikan utang program dari Rp 12,3 triliun pada 2005, menjadi Rp 28.9 triliun pada 2010, atau rata-rata 55,2 persen dibandingkan penarikan utang proyek.
“Kondisi serupa pernah terjadi dalam kurun waktu 1969–1974 atau Pelita I Orde Baru, di mana jumlah penarikan utang program mencapai 59,3 persen dibandingkan penarikan utang proyek yang hanya 40,7 persen,” tuturnya.
Menurut Dani, strategi pengelolaan utang Indonesia memang sangat ramah dengan asing. Bahkan tanpa sadar negara lebih rela menyubsidi asing daripada menyubsidi rakyat sendiri dengan menetapkan bunga besar terhadap SUN. “Di 2008 dulu, kita bahkan sempat memberikan bunga 12 persen untuk obligasi negara. Padahal saat ini Amerika saja hanya memberikan bunga 0,1 persen. Kita mau diprovokasi IMF dan Bank Dunia agar banyak modal asing yang masuk,” tuturnya.
Total utang pemerintah Indonesia hingga April 2012 mencapai Rp 1.903,21 triliun, naik Rp 99,72 triliun dari posisi di akhir 2011 yang nilainya Rp 1.803,49 triliun. Jika dibandingkan Maret 2012 yang jumlahnya Rp 1.859,43 triliun, utang pemerintah naik Rp 43,78 triliun. Jika dilihat sejak lima tahun lalu saja, peningkatan utang pemerintah meningkat cukup signifikan. Pada 2007, total utang pemerintah baru tercatat Rp 1.389,41 triliun.
Khusus di 2012 ini, pemerintah berencana membayar utang Rp 322,709 triliun terdiri dari utang pokok Rp 200,491 triliun dan bunga Rp 122,218 triliun. Sampai dua bulan pertama 2012, utang itu sudah dibayar Rp 44,718 triliun (13,86 persen dari rencana).
Belanja Pegawai
Anggota Komisi XI DPR Harry Azhar Azis mengatakan, utang luar negeri yang besar belum efektif untuk pembangunan. "Kalau untuk investasi infrastruktur atau menambah subsidi, baru hasilnya bisa dirasakan seluruh rakyat. Yang ada, utang luar negeri digunakan untuk gaji pegawai dan membayar utang juga," ujarnya.
Hal senada dilontarkan anggota Komisi XI DPR lainnya, Arif Budimanta. Ia mengatakan, Indonesia harus mengubah kebijakan utang ke arah peningkatan produktivitas ekonomi riil masyarakat. Pasalnya, selama ini utang luar negeri hanya fokus untuk sektor keuangan alih-alih untuk sektor ekonomi riil. "Sebanyak 39,6 persen utang luar negeri Indonesia dipergunakan untuk sektor keuangan dan hanya 9,3 persen yang digunakan untuk upaya perbaikan listrik, gas, dan air bersih," ucapnya.
Padahal, dengan menghitung jumlah penduduk Indonesia sebanyak 250 juta jiwa dan jumlah utang Rp 2.000 triliun saat ini, tiap penduduk Indonesia dari bayi yang baru lahir sampai yang sudah uzur harus menanggung utang Rp 8 juta di pundaknya.

www.shnews

Tidak ada komentar:

Posting Komentar