Rabu, 06 Juni 2012

75 Persen Perekonomian RI Tergantung Asing





Kontribusi sektor domestik terhadap ekonomi Indonesia ternyata hanya mencapai 25 persen, sisanya didominasi asing.
Data PT Kustodian Sentral Efek Indonesia menyebutkan, porsi kepemilikan investor asing di pasar saham awal tahun ini pun sudah mencapai 58,37 persen atau menguasai Rp 1,315 triliun. Hal yang sama juga terjadi pada utang pemerintah yang sudah hampir mencapai Rp 2.000 triliun, baik dari utang bilateral maupun Surat Berharga Negara (SBN). Asing menguasai lebih dari 30 persen dari instrumen SBN.
Ekonom dari Indonesia Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Erani Yustika melihat kondisi ini cukup rentan bagi ketahanan ekonomi Indonesia. "Di negara maju itu, sumbangan investasi asing tak lebih dari 25 persen ke perekonomian negara. Tapi di kita, 75 perekonomian dikontribusi asing. Kondisi ini yang harus dibalik, 75 persen perekonomian harus dari kontribusi domestik," kata Erani kepada SH, baru-baru ini.
Ketergantungan ini juga terlihat dalam upaya pemerintah mematuhi dikte internasional dalam pengurangan subsidi. “Subsidi yang membengkak terus itu akan memengaruhi defisit. Intinya investor asing ingin APBN kita itu berkesinambungan, sehingga kewajiban utang bisa dibayar dengan baik dan tepat waktu," ujar Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan Rahmat Waluyanto.
Anggota Komisi XI DPR Harry Azhar Azis menyatakan, utang luar negeri yang besar belum efektif untuk pembangunan. "Kalau untuk investasi infrastruktur atau menambah subsidi, baru hasilnya bisa dirasakan seluruh rakyat. Yang ada, utang luar negeri digunakan untuk gaji pegawai dan membayar utang juga," ujar Harry.
Sementara itu, Erani mengatakan, dari konteks pergaulan internasional, Indonesia memang tak bisa lepas sepenuhnya dari masuknya asing. Misalnya saja di sektor pertambangan, Indonesia masih butuh transfer teknologi dari asing.
Namun, menurut Erani, ada beberapa sektor yang tak seharusnya dibuka lebar untuk asing. "Di sektor pasar keuangan, tak seharusnya kita sangat tergantung asing. Di kawasan Asia Tenggara saja rata-rata, termasuk Singapura, asing hanya maksimal diperbolehkan 40 persen. Kita yang paling liberal dengan memperbolehkan asing sampai 99 persen," tutur Erani.
Ekonom dan mantan Menko Perekonomian Kwik Kian Gie, menyayangkan beragam kebijakan pemerintah yang lebih pro pada investor asing. Pada akhirnya, hal ini mengakibatkan kekuatan ekonomi Indonesia dikuasai asing. Menurutnya, kekuatan ekonomi kita tidak lebih dari 2 persen hingga 8 persen.
Sejak 1967 lalu, negara sebenarnya membatasi ruang gerak korporasi asing masuk Indonesia, dengan hanya bisa terjun dan masuk ke roda perekonomian dengan jumlah sekitar 5 persen. Namun, mulai 1994 asing mulai merangsek pasar dengan pencapaian sekitar 60 persen hingga 80 persen. "Kini hasilnya sudah hampir mencapai 92 persen perusahaan dan aset-aset negara yang didapat melalui alam sudah dikuasai asing," ujarnya.
Padahal, alih-alih memberikan keuntungan lebih, daftar perusahaan asing migas yang menunggak pajak bertambah banyak. Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun lalu mengatakan jumlah perusahaan asing itu mencapai 33, melebihi jumlah perusahaan penunggak pajak yang disebutkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebanyak 16 perusahaan
Data yang diperoleh ICW tersebut berasal dari hasil audit BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) yang di-review kembali BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) sejak 2008 hingga 2010. Sebanyak 33 perusahaan itu menunggak pajak yang jumlahnya selama dua tahun mencapai US$ 583 juta atau sekitar Rp 6 triliun.
Namun, pemerintah optimistis nasionalisasi industri pertambangan pada saatnya nanti sangat memungkinkan untuk diwujudkan. "Itu semua bisa saja. Tergantung kepentingan nasional kita. Artinya, opsi untuk memperpanjang (kontrak) atau tidak kan ada sama kita," kata Menko Perekonomian Hatta Rajasa.
Hatta yakin sumber daya manusia Indonesia mampu mengelola sumber daya tambang untuk kepentingan nasional yang lebih besar. "Saya tidak bicara soal perusahaan A, B, C. Ini secara umum saja. Tapi secara SDM kita yakin sudah mampu mengelola pertambangan. Sudah berapa tahun sih kita merdeka? Masak nggak bisa-bisa juga," ujarnya.
Nasionalisasi
Soal nasionalisasi, Indonesia sebenarnya bisa belajar dari nasionalisasi industri migas di Bolivia dan Venezuela yang hingga hari ini ternyata dapat berjalan relatif aman, lancar, dan berdampak positif bagi kemakmuran rakyatnya. Exxon yang menuntut US$ 12 miliar untuk ganti asetnya di Venezuela, ternyata di Arbitrase Internasional hanya ditaksir US$ 907 juta.
Presiden Bolivia Evo Morales, beberapa waktu lalu juga memutuskan menasionalisasi seluruh perusahaan gas alam dan minyak di negara itu. Perusahaan energi asing harus menyetujui penyaluran seluruh penjualan hasil produksinya melalui negara atau pergi dari Bolivia. "Penjarahan sumber daya alam kita oleh perusahaan-perusahaan asing telah berakhir," ucapnya dengan tegas.
Begitu halnya dengan Arab Saudi yang bisa lepas dari ketergantungan terhadap perusahaan minyak AS: Aramco (Arabian American Oil Company), tatkala Raja Faisal menasionalisasinya pada 1974.
Baru-baru ini, Presiden Argentina Cristina Fernandez pun berani mengatakan perusahaan minyak besar, YPF, milik Repsol (Spanyol) akan diambil alih negara. Pemerintah pusat dan daerah akan mengambil alih 51 persen saham YPF yang saat ini dikuasai Repsol.
Dengan pengambilalihan ini, diharapkan kemandirian energi negara itu dan keuntungan hasil migasnya bisa dinikmati negara, bukan asing. Cristina berang karena tahun lalu negara harus mengeluarkan anggaran US$ 3 miliar untuk impor energi, sementara hasil migas dalam negeri lebih banyak diekspor.

Oleh Faisal Rachman
Sumber :www.shnews

Tidak ada komentar:

Posting Komentar