Senin, 09 Juli 2012

Perang Dagang Dibalik Program Anti Tembakau



Tembakau sudah dimanfaatkan sebagai obat oleh penduduk Indian di daratan Amerika jauh sebelum para pendatang eropa menduduki dunia baru tersebut. Bahkan, bangsa kulit putih yang menikmati hidup di tanah jajahannya itu, ikut juga memanfaatkan tembakau untuk menangani berbagai penyakit dan keluhan fisik hingga saat ini.


“Tembakau melancarkan pencernaan, meringankan encok, sakit gigi, mencegah infeksi melalui bau-bauan, tembakau menghangatkan yang kedinginan, sekaligus menyejukkan mereka yang berkeringat, menimbulkan rasa kenyang bagi mereka yang kelaparan, memulihkan semangat yang loyo, mencegah nafsu makan, dijadikan asap untuk penyakit tuberkolusis, diuapkan untuk sakit rematik dan semua penyakit hawa dingin dan lembab.” (John Joseslyn 1675, dikutip C.A. Weslager, Magic Medicines of the Indians, 1974)
Namun ketika gerakan anti tembakau memperoleh momentum dan kekuatannya pada tahun 1980-an, baik tembakau maupun nikotin yang dikandungnya, dicerca para pejabat kesehatan publik. Dan pada 1988, laporan Surgeon General AS untuk pertama kalinya menyatakan bahwa nikotin adalah zat yang menyebabkan kecanduan, mendorong kebiasaan (habituating) dan ketagihan (addiction) yang membuat para perokok terikat pada rokok. Dengan demikian perlu ditangani oleh ahli terapi perilaku dan dengan sarana obat-obatan yang membantu berhenti merokok. Laporan Surgeon General, yang disusun Centers for Disease Control (CDC), secara sengaja atau tidak telah menciptakan efek promosi penjualan produk-produk farmasi, dan di sisi lain, mencap buruk produk-produk nikotin industri tembakau atau rokok.
Berbagai kampanye tentang bahaya-bahaya tembakau gencar dilakukan dan melibatkan berbagai pihak, misalnya para ahli farmasi, para dokter, para politisi, para penggiat anti tembakau, bahkan badan-badan nasional dan internasional. Berbagai upaya pun dilakukan, mulai dari lobbying dan upaya menggolkan peraturan-peraturan larangan merokok dan larangan iklan, promosi, dan sponsorship produk tembakau ini, yang pada umumnya semua biaya kampanye ini, baik secara langsung maupun tidak langsung, didukung oleh korporasi-korporasi farmasi internasional. Karena perusahaan farmasi tertarik pada pasar raksasa yang amat potensial untuk produk penghenti merokok.
Industri farmasi yang berperan dalam pembuatan produk penghenti merokok, antara lain: Johnson & Johnson (memasarkan koyok nikotin dan obat hirup nikotin dengan merek Nicotrol), GlaxoSmithKline (hasil merger dua raksasa perusahaan farmasi Glaxo Wellcome yang memasarkan Zyban dan SmithKlineBeecham yang memasarkan koyok nikotin Nicoderm CQ), Pharmacia & Upjohn (memproduksi obat anti merokok Nicorette dan Nicotrol), Advanced Tobacco Products, Inc (menjual hak paten teknologi nikotinnya yang merupakan basis produk Nicorette/Nicotrol Inhaler), Hoechst Marion Roussel (memproduksi permen karet Nicorette dan koyok Nociderm), Novartis (meluncurkan koyok nikotin Habitrol), Pfizer (mengembangkan bahan baru untuk membantu berhenti merokok, yang dikenal dengan nama CP-526-555). Dari semua perusahaan obat itu, tiga diantaranya adalah mitra WHO untuk proyek anti tembakau /program pengendalian tembakau global, yaitu; Johnson & Johnson, Pharmacia & Upjohn dan Novartis.
Semua produk obat terapi pencegahan kecanduan merokok itu berbasis dari nikotin, karena Nikotin diakui sebagai “obat ajaib dan zat kimiawi yang mencengangkan”oleh para ilmuwan. Para ahli farmakologi telah meneliti efek fisiologis nikotin dan menemukan bahwa nikotin punya kemungkinan bermanfaat untuk terapi yang signifikan, baik sebagai sarana bantu berhenti merokok maupun sebagai obat untuk menangani aneka penyakit seperti meringankan nyeri, gelisah dan depresi, meningkatkan konsentrasi dan kinerja pada mereka yang menyandang kelainan hiperaktifitas dan lemah dalam pemusatan perhatian, meringankan beberapa gejala pada skizofrenia akut, sindroma tourette, Parkinson dan alzeheimer.
Pada akhir tahun 2000, penjualan obat “berhenti merokok” berbasis nikotin di Amerika mencapai US$ 700 juta, belum termasuk penjualan Zyban obat berhenti merokok non nikotin. Angka ini tidak termasuk penjualan global di luar Amerika yang terus meningkat, sehingga dapat disimpulkan, bahwa obat berhenti merokok adalah bisnis miliaran dolar. Bahkan masih memiliki potensi laba lebih besar lagi di masa mendatang karena WHO juga telah mendorong program berhenti merokok secara global.
Sementara itu orang-orang yang kritis dengan propaganda anti rokok pun tidak tinggal diam, menurut Robert A. Levy, ilmuwan dan pakar matematika dari National Institut of Standards and Technology Amerika, mengungkapkan bahwa perang terhadap rokok dimulai dari setitik kebenaran, bahwa rokok itu memiliki suatu faktor resiko kanker paru-paru. Setitik kebenaran ini kemudian dikembangkan sedemikian rupa sehingga menjadi suatu monster kebohongan dan ketamakan, serta mengikis kredibilitas pemerintah dan mensubversi Rule of Law.
Hal senada diungkapkan pula oleh Judith Hatton, co-author buku “Murder a Cigarette”. Menurutnya, pernyataan WHO tentang bahaya merokok tidak lebih dari propaganda yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Data, angka, statistik dan estimasi, tidak lebih dari “Lies Damned Lies.”
Begitu juga dengan A. Colby, yang menulis buku “In Defense of Smokers”, dimana pada pengantarnya ia mengatakan, “saya menulis buku ini untuk menyangkal propaganda anti merokok yang liar, tidak bertanggung jawab dan tidak benar, yang mengaburkan kebenaran”.
Kebenaran apa yang dikorbankan? Levy, Marimont, Hatton, Colby dan orang-orang yang kritis dengan propaganda anti merokok ini mengungkapkan bahwa tembakau bukan penyebab utama dan bukan satu-satunya resiko segala macam penyakit yang disebutkan WHO.
Pernyataan WHO
Dalam paper “Tobacco & Health in the Developing World”, yang dipresentasikan dalam “High Level Round Table” di Brussel Februari 2003, WHO memperkirakan 4,9 juta kematian pertahun disebabkan oleh tambakau. Tanpa tindakan lebih lanjut, diperkirakan tahun 2020 angka kematian itu jadi dua kali lipat dan rata-rata kematian terjadi di negara-negara berkembang. Bersama dengan HIV/AIDS, penggunaan tembakau merupakan penyebab kematian yang paling cepat dan jadi penyebab utama dari kematian prematur di tahun 2020-an.
Tembakau disebut sebagai kontributor utama dari perkembangan begitu besar penyakit-penyakit yang dihadapi negara berkembang. Hal ini meningkatkan ancaman penghancuran pembangunan sosial dan ekonomi negara-negara tersebut. Masalah tembakau merupakan bukan hanya tantangan kesehatan, tetapi juga pembangunan ekonomi dan sosial serta kelestarian lingkungan. Karena itu perlu kontrol lebih luas dan harus jadi prioritas pembangunan.
Kebijakan yang Berpihak
Penelitian menunjukkan, bahwa gangguan tembakau bisa dikurangi melalui pendekatan komprehensif termasuk pendidikan, kegiatan berbasis komunitas dan media, penanganan farmakologi atas kecanduan nikotin, regulasi iklan dan promosi, regulasi udara bersih, larangan penjualan tembakau kepada konsumen di bawah umur dan pajak untuk produk-produk tembakau.
Tapi apakah kebijakan-kebijakan itu akan mempengaruhi tingkat merokok, tentu ini masih bisa diperdebatkan, tapi yang tidak bisa diperdebatkan adalah bahwa mereka akan menciptakan keuntungan pasar yang jelas bagi perusahaan-perusahaan farmasi sehingga mengungguli perusahaan-perusahaan tembakau dalam hal biaya, iklan dan promosi, ketersediaan dan kenyamanan produk mereka.
Jadi jika kita memahami latar belakang kepentingan bisnis di balik agenda anti tembakau ini, maka pernyataan-pernyataan tersebut tidak lebih daripada suatu kampanye politik dagang. Profesor Pierre Lemieux (2001) pernah mengutip kata-kata pencetus ide dan pendiri WHO, Dr. Szeming Sze, “my part in the founding of WHO was 90% diplomatic and 10% medical. It was politics all the time.” Jadi jelas urusannya adalah selalu politik, yang dalam hal ini adalah politik dagang diantara dua kepentingan yaitu bisnis farmasi dan tembakau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar