Senin, 02 Juli 2012

Indonesia Versus Churcill Mining



Kasus ini tidak terlalu mendapatkan perhatian luas media massa di negeri ini. Padahal, kasus ini merupakan pertaruhan harga diri sebuah bangsa di forum internasional. Sebuah korporasi asing telah mengajukan gugatan hukum terhadap Republik Indonesia (RI)  di forum arbitrase investasi internasional, tepatnya di International Centre for Settlement  of Investment Dispute(ICSID) Washington, Amerika Serikat. Nilai gugatannya tidak main-main: 2 Miliar US$.


Korporasi yang menggugat Indonesia itu adalah perusahaan tambang batubara  Inggris, Churcill Mining Plc. Perusahaan ini menggugat 6 pihak di Indonesia, yang kesemuanya adalah aparatur negara, yakni Presiden RI, Kementrian ESDM (Energi dan Sumber Daya mineral), Kementrian Kehutanan (Kemenhut), Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Kementrian Luar Negeri (Kemenlu) serta Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kutai Timur. Perusahaan ini menggugat pemerintah RI setelah izin usaha tambangnya dicabut oleh Bupati Kutai Timur, Isran Noor, beberapa tahun lalu.
Selain menggugat melalui ICSID, Churcill Mining juga telah mengirim surat pada Presiden SBY berisi tuntutan ganti rugi dan perlindungan hukum bagi pihak Churcill bila pemerintah Indonesia tidak ingin gugatan arbitrase Churcill dilanjutkan. Bayangkan, begitu gigihnya perusahaan asing ini membela kepentingannya sampai-sampai mereka berani mengirim surat bernuansa ‘ancaman’ terhadap kepala negara dari sebuah negara yang sejara de jure berdaulat.
Perilaku perusahaan internasional semacam ini memang tidak aneh bagi negara berkembang seperti Indonesia, yang memang sudah puluhan tahun berada dibawah ‘ketiak’ perusahaan-perusahaan multinasional. Lalu, seperti apakah duduk persoalan kasus ini sebenarnya?
Manipulasi Fakta
Kasus ini bermula dari  pencabutan izin kuasa pertambangan (KP)  milik 4 perusahaan tambang batubara yang tergabung dalam  Grup Ridhatama oleh Bupati Kutai Timur ditahun 2008. Keempat perusahaan ini, konon menurut klaim Churcill, mayoritas sahamnya (75%) dimiliki oleh mereka. Karena itulah mereka merasa dirugikan oleh kebijakan Bupati  tersebut.
Namun tidak pernah ada bukti konkret yang menunjukkan kepemilikan Churcill atas mayoritas saham dikeempat perusahaan itu. Bahkan dalam berkas gugatan yang diajukan ke ICSID pun, pihak Churcill tidak menunjukkan bukti tentang hal itu.
Disisi lain, pihak Ridhatama sendiri membantah klaim Churcill tersebut. Dalam suratnya kepada Bupati Kutai Timur tiga tahun lalu, pimpinan grup ini menyatakan bahwa Grup Ridhatama berikut keempat perusahaan tambang yang memiliki KP di Kutai Timur 100% dimiliki oleh pihak lokal. Hal ini juga sesuai dengan undang-undang pertambangan 1967 yang tidak memperbolehkan pihak asing memiliki KP, karena perusahaan asing telah diberi ‘wadah’ sendiri dalam industri tambang nasional, yakni Kontrak Karya/KK (mineral) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara/PKP2B (batubara). Jadi, klaim Churcill bahwa mereka memiliki konsesi di Kutai Timur tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Klaim Churcill itu juga dibantah oleh  Bupati Kutai Timur, Isran Noor. Ia menyatakan bahwa tidak pernah ada  hubungan hukum, kesepakatan maupun korespondensi  antara Pemkab Kutai Timur dengan Chrucill Mining.
Adapun permasalahan antara Churcill Mining dengan  Pemkab Kutai  Timur muncul setelah adanya perselisihan antara  perusahaan tersebut dengan mitra kerjanya, Grup Ridhatama tahun 2009  lalu.  Sejak itulah Churcill Mining  mengklaim memiliki investasi di Kutai Timur  dan melemparkan tuduhan pada pemkab Kutai Timur terkait kegagalan aktivitas bisnisnya di Kutai Timur.
Sementara itu, terkait dengan pencabutan izin KP milik grup Ridhatama, Pemkab Kutai Timur beralasan bahwa hal itu  didasari oleh laporan audit khusus Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengenai  KP-KP yang dikeluarkan pada tahun  2006-2008. Audit BPK ini dilaksanakan sejak September 2008 dan mengeluarkan hasil berupa laporan yang mengindikasikan adanya  lima KP yang palsu di Kabupaten Kutai Timur.
Kesimpulan BPK itu didasari oleh kode penomoran  KP yang terbalik dan  ternyata adalah kode penomoran  surat. Selain itu, KP-KP itu juga tidak terdaftar pada catatan yang ada pada dinas pertambangan maupun planologi Kutai Timur.
Masalah lainnya ialah areal tambang KP-KP  milik Ridhatama Grup itu juga bertumpang tindih dengan wilayah pertambangan yang telah dimiliki oleh perusahaan-perusahaan tambang yang tergabung  dalam Nusantara Grup milik Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto. Fakta ini juga telah dimanfaatkan oleh Churcill dalam penyebaran informasi sepihak demi kepentingan  mereka, bahwasanya pencabutan KP mereka (yang nyatanya milik Ridhatama) disebabkan oleh adanya pengaruh ‘orang kuat’ Indonesia. Yang dimaksud tentulah Prabowo.
Padahal, beberapa tahun sebelumnya pihak Nusantara Grup sendiri pernah melaporkan adanya penyerobotan lahan milik mereka  oleh Ridhatama Grup ke polisi resort Kutai Timur. Namun, laporan mereka di berikan Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP3) oleh kepolisian dengan alasan tidak ada tindak pidana dalam dugaan penyerobotan lahan tersebut.
Jadi hal ini kontradiktif  dengan klaim dari Churcill bahwa Nusantara Grup dimiliki oleh ‘orang kuat’. Karena ternyata ‘orang kuat’ itu tidak bisa mempengaruhi hukum untuk berpihak padanya.
Disamping laporan BPK, menurut  Pemkab Kutai Timur pencabutan KP-KP milik Ridhatama itu juga didasari oleh adanya  surat dari Menhut kepada dirinya yang menyatakan bahwa kegiatan keempat perusahaan Ridatama itu dilakukan diatas kawasan hutan produksi. Sementara menurut peraturan perundangan yang berlaku, aktivitas  pertambangan di hutan produksi hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin pinjam pakai dari Menhut.
Faktanya, Menhut tidak pernah mengeluarkan izin pinjam pakai kepada empat perusahaan itu. Karena itu Menhut meminta Pemkab Kutai Timur untuk membekukan kegiatan pertambangan  tersebut dan mencabut KP-KP dari perusahaan-perusahaan yang telah melakukan kegiatan tanpa izin pinjam pakai dari Menhut.
Oleh karena merasa ‘dilanggar’ hak-haknya, Grup Ridhatama pun  mengajukan gugatan terhadap Bupati Kutai Timur ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, bahkan hingga Mahkamah Agung. Dan gugatan mereka digugurkan pada semua level peradilan tersebut.
Dimana Pemerintah?
Jadi, dalam kasus ini terlihat ada kejanggalan terkait klaim Churcill  bahwa mereka memiliki saham diempat perusahaan Ridatama pemilik KP batubara yang dicabut izinnya oleh Bupati Kutai Timur. Bahkan, mereka pun mengklaim seluruh upaya hukum yang dilakukan Grup Ridatama di peradilan Indonesia dilakukan oleh mereka. Anehnya, kini mereka pun tengah bersengketa dengan pihak Ridatama di peradilan Tangerang.
Sebenarnya,  klaim Chrucill Mining atas kepemilikan 75% saham di keempat perusahaan tambang Ridhatama itu mereka ungkapkan pertama kali di tahun 2008, ketika harga saham  mereka yang tercatat di Alternative Investment Market (AIM)  meningkat dengan sangat tinggi. Peningkatan harga saham itu dipicu oleh pengumuman pihak Churcill bahwa mereka telah menemukan deposit batubara terbesar kedua di Indonesia dan terbesar ketujuh di dunia. Lokasi  deposit batubara itu ialah Kabupaten Kutai Timur.
Hal ini mengingatkan kita pada kasus Busang dahulu, dimana perusahaan tambang Kanada    Bre-X  mengumumkan telah menemukan deposit emas  yang sangat besar di Kutai Timur  sehingga harga saham mereka yang tercatat di bursa Kanada melonjak sangat tinggi.
Lalu,  bagaimanakah relasi sebenarnya  antara Churcill Mining dengan grup Ridhatama? Korelasi antara keduanya berawal ketika Churcill Mining membeli  100% saham PT Indonesia Development Coal (IDC) milik Andreas  Rinaldi yang tiada lain merupakan pemilik dari Grup Ridatama pada tahun 2006.  PT IDC ini menjadi perusahaan penanam modal asing (PMA) yang  mendapatkan surat persetujuan investasi dari  BKPM dengan bidang usaha  jasa penunjang pertambangan umum.
Jadi, IDC bukanlah perusahaan pertambangan, melainkan perusahaan jasa penambang atau kontraktor di area KP milik Grup Ridhatama. Hal ini juga turut membantah klaim Churcill yang menyatakan bahwa mereka memiliki investasi langsung di Kutai Timur. Yang memiliki investasi langsung ialah Grup Ridatama, dan bukannya Churcill.
Berdasarkan berbagai manipulasi fakta yang dilakukan Churcill, pihak Bupati  Kutai Timur pun merasa dalam posisi yang benar dan  siap melawan gugatan Churcill di forum ICSID.
“Saya akan melawan! Tidak ada negosiasi dengan mereka (Churcill), bagi saya haram hukumnya untuk negosiasi,” ujar Bupati Isran Noor dalam kesempatan Press Conference di kantor Asosiasi Pemerintah Kabupaten seluruh Indonesia (Apkasi), Jakarta (15/06/2012).
Sikap Bupati ini cukup berani, mengingat melawan gugatan korporasi multinasional di arbitrase internasional tidaklah mudah. Namun, sayangnya, keberanian yang sama tidak ditunjukkan (atau bahkan tidak dimiliki) oleh pihak pemerintah pusat. Hingga kini, belum pernah terdengar statement atau rencana yang jelas dari Presiden maupun para menteri yang turut menjadi tergugat dalam menghadapi korporasi yang berasal dari bekas negara penjajah dengan koloni terluas dimuka bumi itu.
Padahal, hal ini menyangkut harga diri, martabat bahkan kedaulatan bangsa, yang terus mau digerogoti oleh sebuah perusahaan asing yang berperilaku manipulatif. Bandingkan dengan sikap Presiden Venezuela  atau Presiden Argentina ketika menghadapi gugatan korporasi multinasional di arbitrase. Mereka berani ‘memasang badan’ demi menjaga kedaulatan negerinya masing-masing.
Kita memang hanya bisa malu sendiri bila karakter dan tabiat pemimpin negara kita dibanding-bandingkan dengan pemimpin negara lain yang jauh lebih berani dan progresif dalam menegakan kedaulatan negaranya.

HISKI DARMAYANA, Penulis adalah kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Sumedang dan kini bekerja di media berita tambang dan energi, Petromindo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar