Selasa, 17 April 2012

Dampak Negatif Kontrak Karya Freeport Yang Merugikan Negara 10.000 Triliun Per Triwulan



Freeport masuk ke Indonesia dengan fasilitas Presiden Soeharto. Penguasa orde baru itu membuat kontrak karya atau persetujuan pada tahun 1967 dengan perusahaan Amerika Serikat untuk menggarap tambang emas yang berada di Irian Jaya (sekarang Papua). Kontrak karya dengan Freeport pada tahun 1967 yang ditandatangani pemerintah di bawah kekuasaan Presiden Suharto itu bisa dipertanyakan keabsahannya, mengingat antara tahun 1963 sampai 1969, Irian Barat (ketika itu) sedang menjadi daerah perselisihan internasional (international dispute region).


Apa yang telah dikerjakan oleh pemerintahan Orde Baru dan diteruskan oleh pemerintahan sesudahnya, hingga pemerintahan SBY, nyata-nyata bertentangan dengan tujuan Trikora Presiden Soekarno, yakni untuk membebaskan Papua dari penjajahan dan menyatukannya dengan RI. Selama 44 tahun, PT Freeport menggarap tambang emas di tanah Papua dengan hanya memberikan secuil saham ke pihak Indonesia. Tentu saja, ini tidak sebanding dengan keuntungan yang diraup Freeport.
Gencarnya perlawanan masyarakat Papua dan tajamnya kritik berbagai kalangan di Indonesia mengenai Freeport mengharuskan pemerintah SBY mengambil tindakan yang mendasar. Tentu saja untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang sudah dilakukan sejak puluhan tahun oleh Orde Baru. Perlakuan yang lebih adil bagi kepentingan masyarakat Papua adalah kunci penyelesaian masalah yang semakin rumit ini. Untuk itu, pemerintah SBY harus berani memaksakan peninjauan kembali kontrak karya dengan Freeport, sehingga kehadirannya di Papua betul-betul ikut mendatangkan keadilan dan kemakmuran bagi masyarakat Papua dan juga bagi negara dan rakyat Indonesia lainnya.
Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies Marwan Batubara mengatakan, potensi kerugian negara dari kontrak karya pertambangan dengan PT Freeport diperkirakan mencapai Rp 10.000 triliun. Marwan mengklaim, PT Freeport selama ini hanya membayar royalti sebesar 1 persen. Padahal, sesuai aturan, PT Freeport harus membayar royalti kepada pemerintah sebesar 3 persen. Selain itu, ada dugaan pajak yang dibayarkan kepada pemerintah terlalu kecil dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh perusahaan tambang Amerika itu.
“Jadi, kita tidak bicara royalti saja, yang paling penting adalah pajaknya, benar tidak? Karena pajak itu kan dihitung dari laba. Pajak itu dari keuntungan, bukan pendapatan, kalau keuntungan artinya sudah dipotong biaya operasional. Kalau biaya operasionalnya mereka tinggi-tinggikan, gaji direktur orang Amerika misalnya 1 juta dolar per tahun, kita tidak bisa apa-apa. Nah itulah yang kita dapat selama ini,” ujarnya di Jakarta.
Marwan Batubara menambahkan, kontrak karya pertambangan dengan PT Freeport merupakan salah satu kontrak karya yang merugikan Indonesia. Karena itu, penerintah harus bernegosiasi ulang kontrak karya tersebut. Salah satu poin penting yang harus dimasukkan dalam negosiasi ulang adalah penempatan wakil dari pemerintah Indonesia sebagai salah satu direktur. Posisi ini penting agar Indonesia tidak selalu dirugikan dalam setiap kebijakan yang diambil PT Freeport.
Sementara itu, Anggota Komisi VII DPR Chandra Tirta Wijaya mengatakan penerimaan PT Freeport Indonesia yang mengoperasikan tambangnya di Tembagapura, Papua masih tiga kali lipat lebih besar daripada penerimaan pemerintah melalui pajak, royalti, dan dividen yang diberikan PT Freeport selama ini. “Penerimaan pemerintah dari pajak, royalti, dan dividen PT Freeport jauh lebih rendah dari yang diperoleh PT Freeport,” kata Chandra di gedung DPR. Menurutnya, sejak tahun 1996 pemerintah Indonesia hanya menerima 479 juta dolar AS, sedangkan Freeport menerima 1,5 miliar dolar AS. Kemudian, di tahun 2005, pemerintah hanya menerima 1,1 miliar dolar AS. Sedangkan pendapatan Freeport (sebelum pajak) sudah mencapai 4,1 miliar dolar AS. Chandra menjelaskan, PT Freeport sejauh ini hanya memberikan royalti bagi pemerintah senilai 1 persen untuk emas, dan 1,5 persen-3,5 persen untuk tembaga. Royalti ini jelas jauh lebih rendah dari negara lain yang biasanya memberlakukan 6 persen untuk tembaga dan 5 persen untuk emas dan perak.
Kisruh Papua yang berkepanjangan, diduga sangat terkait dengan penolakan PT Freeport Indonesia terhadap proposal renegosiasi kontrak karya pertambangan. Intinya, Berdasarkan rumor yang berkembang belakangan ini ada sekitar tiga perusahaan tambang yang tidak setuju renegosiasi kontrak karya, diantaranya PT Freeport Indonesia. Seperti diketahui, saat ini PT Freeport Indonesia hanya menyetor royalti 1% saja kepada pemerintah Indonesia. Padahal berdasarkan aturan dan ketentuan yang berlaku adalah 3,75%. Tentu saja pemerintah mengusulkan renegosiasi. Dan sebab itu kepentingan Freeport merasa terganggu.
Yang jelas perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS), Freeport-McMoran, sudah mengumumkan kondisi force majeure untuk pengapalan produk pertambangan dari tambang emas dan tembaga di Indonesia. Pengumuman kondisi force majeure itu, berarti Freeport bisa menghindari denda biasanya karena gagal memenuhi kewajiban sesuai kontrak. Masalah kerusuhan di Freeport sangat dimungkinkan juga tidak jauh dari modus untuk memenangkan renegosiasi oleh Freeport.
Pola-pola kisruh di Papua selalu berulang dan memiliki modus. Beberapa periode ini, terjadi upaya melakukan perbaikan renegosiasi kontrak dengan Freeport. Tapi pada saat yang bersamaan muncul huru-hara seperti sekarang. Ada penembakan-penembakan. Munculnya masalah-masalah di Papua tak bisa dilepaskan begitu saja. Apalagi ketika terkait renegosiasi seperti sekarang ini, peristiwa kisruh muncul. Ini jelas berpola. Kasus seperti ini sudah terjadi tiga atau empat tahun lalu, dan terus berulang.
Pemerintah AS sangat berkepentingan dengan Freeport dan tambang lainnya. Dulu soal Blok Cepu, Presiden Bush terus melobi SBY. Bahkan, untuk memastikan keberhasilan untuk mendapatkan Blok Cepu, Condoliza Rice diutus secara khusus untuk melindungi dan mendapatkan kepentingan AS di Cepu. Soal force majeure itu bisa saja dilakukan. Tapi masalahnya, yang paling penting adalah pemerintah harus bisa mendapatkan royati yang lebih tinggi. Karena royalti yang sekarang ini jelas-jelas merugikan negara.
Hal yang sama juga dikatakan Ketua Presidium Masyarakat Pertambangan Indonesia, Herman Afif Kusumo, masyarakat sekarang ini tidak mudah ditipu oleh kebohongan AS. “Bohong kalau pemerintah AS atau bisnis AS tak terlibat. Sekarang masyarakat makin tahu, royalti yang diterima sangat kecil,” terangnya. Herman juga tak mempercayai renegosiasi bisa selesai hanya pada tingkat manajemen Freeport dan Dirjen Pertambangan. “Omong kosong kalau renegosiasi akan ketemu dengan pertemuan dua pihak (pemerintah dan Freeport). Harus menteri dan presiden kedua negara yang turun tangan. Masalahnya kita kecewa banyak tokoh kita yang justru melindungi asing,” ungkapnya.
Anggota Komisi I DPR F-PKB, Effendy Choirie mengakui kemungkinan kisruh Papuan ini, bisa saja terkait dengan penolakan renegosiasi kontrak karya PT Freeport dan masalah pelaksanaan otonomi khusus Papua. “Saya juga menduga ke arah itu, bisa saja ada kaitanya denga renegosiasi kontrak karya. Apalagi renegosiasi kontrak ini dengan Freeport paling alot,” jelasnya. Lebih jauh kata Gus Choi, dengan adanya renegosiasi ini memang kepentingan AS secara jangka panjang akan terganggu. Apalagi saat ini AS sedang mengalami krisis. Sehingga membutuhkan “energi” untuk mendorong pertumbuhan ekonominya. Konflik Papua yang terus memanas ini tanggung jawab SBY. Ditambah lagi, rakyat Papua menolak Gunung Nabire yang mengandung tambang emas itu dikelola oleh Freeport. “Kenapa penolakan ini terus dibiarkan,”terangnya.
Sebelumnya, Juru bicara Freeport Indonesia, Ramdani Sirait mengakui adanya status force majeure. Alasannya, aksi mogok kerja oleh Serikat Pekerja PT Freeport Indonesia telah berdampak terhadap produksi dan pengapalan konsentrat. Pihaknya telah bekerja sama secara kooperatif dengan para pembeli kami berdasarkan perubahan jadwal produksi dan pengapalan konsentrat Freeport. “Produksi konsentrat yang lebih rendah tersebut berdampak terhadap kemampuan kinerja kami untuk memenuhi komitmen-komitmen penjualan kami secara optimal, dan sebagai akibatnya kami terpaksa menyatakan force majeure terhadap perjanjian-perjanjian penjualan konsentrat yang terkena dampak tersebut,” ujarnya
Diperkirakan ada 8.000 dari total 23.000 pekerja Freeport telah melakukan pemogokan kerja selama lebih dari 1 bulan di tambang yang berlokasi di Papua. Produksi emas dan tembaga Freeport dari tambang Grasberg di Papua mengalami penurunan sepanjang kuartal III-2011. Produksi tembaga di Papua sepanjang kuartal III-2011 mencapai 233 juta pounds. Turun 34% dibanding periode yang sama di2010 yang mencapai 358 juta pounds.
Sebelumnya pemerintah melalui Wakil Menteri ESDM, Widjajono Partowidagdo menyampaikan, renegosiasi Kontrak Karya Pertambangan dan PKP2B memang harus mengikuti peraturan baru yang ditetapkan pemerintah. Jika tidak mau, maka pemerintah menuntut perusahaan tambang blak-blakan soal pendapatanya. “Jangan mau kalah sama orang asing, yang pegang keputusan di kita harus mengerti permasalahan,” cetus Guru Besar ITB itu. “Kan sudah ada peraturannya. Kita juga punya alasan untuk membuat peraturan itu. Renegosiasi itu kan amanat UU 4/2009 kan diamanatkan dalam ketentuan yang sebelumnya harus disesuaikan dengan UU. Jadi kalau tadi pertambangan ada yang royalti 1% itu ya harus ikuti ketentuan sekarang,” ungkapnya
Sumber :Info Dunia Militer

Tidak ada komentar:

Posting Komentar