Kamis, 13 September 2012

Maraknya Permasalahan Sosial di Indonesia, Salah Siapa?


Ada beberapa permasalahan krusial di bidang sosial budaya yang berdimensi luas ke depan yang dapat dimanfaatkan oleh “kekuatan asing” untuk melakukan infiltrasi di Indonesia. Beberapa permasalahan tersebut antara lain permasalahan yang terjadi di dunia pendidikan di Indonesia, antara lain tuntutan dari guru berstatus honorer untuk diangkat menjadi CPNS dan dugaan terjadinya komersialisasi pendidikan.


Aksi unjuk rasa kalangan guru honorer menuntut pengangkatan sebagai CPNS terjadi di beberapa daerah. Di depan Kantor Badan Kepegawaian Negara (BKN), Jakarta, sekitar 75 orang dari Komite Guru Bekasi (KGB) dipimpin Muhlis Setia Budi melakukan unjuk rasa pada akhir tahun 2011 dengan tuntutan pengangkatan 80 ribu guru honorer menjadi PNS. Sebelum membubarkan diri, massa sempat melakukan aksi blokir jalan dan melemparkan telur busuk ke depan Kantor BKN. 
Sebelumnya, di depan Kantor BKN, Jakarta, aksi serupa juga dilakukan KGB dengan tuntutan antara lain Presiden harus hati-hati dan cermat untuk menandatangani PP Tenaga Honorer yang baru, karena masih banyak permasalahan serta tuntutan agar segera diangkat menjadi PNS. Di Bandung, Jabar, Federasi Guru Honorer Jabar yang beranggotakan 300 guru honorer akan memboikot setiap Pemilu sebagai ekspresi kekecewaan terhadap pemerintah yang hanya bisa berjanji akan mengangkat mereka menjadi PNS. Aksi unjuk rasa dengan tuntutan serupa juga terjadi di beberapa Provinsi antara lain, Jateng, Yogyakarta, Jatim, NTB, Sulsel, Sultra, Sumsel, Sumbar, Kalsel, Kaltim, Kalbar, Papua dan Papua Barat.
Aksi unjuk rasa dalam rangka menolak komersialisasi pendidikan terjadi di beberapa daerah.  Pada Agustus 2011, di Bundaran SIB, Kota Medan, Sumut, sekitar 20 orang dari Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) dipimpin Ronald melakukan aksi unjuk rasa dalam rangka menyampaikan pernyataan sikap antara lain, menolak kapitalisasi/komersialisasi pendidikan, pemungutan liar di sektor pendidikan dan menilai rezim SBY-Boediono gagal mewujudkan pendidikan gratis, ilmiah dan bervisi kerakyatan.
Sebelumnya, di pertigaan UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, sekitar 20 orang aktivis PMII UIN Sunan Kalijaga dipimpin Romel melakukan aksi unjuk rasa menuntut antara lain, penghapusan komersialisasi pendidikan, pertegas Pancasila sebagai falsafah bangsa dan menilai rezim SBY-Boediono telah gagal mewujudkan pendidikan gratis. Sebelum membubarkan diri, pengunjuk rasa melakukan aksi membakar foto SBY-Boediono. Aksi unjuk rasa dengan tuntutan serupa juga terjadi di Samarinda, Kaltim dan Mataram, NTB. 
Disamping itu, permasalahan rendahnya mutu kesehatan masyarakat yang diindikasikan dengan banyaknya penderita penyakit, adanya penyakit berbahaya serta gizi buruk di beberapa daerah.
Kemudian, permasalahan krusial yang belum tertangani adalah di bidang kesehatan dimana sampai saat ini perbaikan mutu kesehatan bagi masyarakat, serta kurangnya akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dll. 
Sementara itu, rendahnya mutu kesehatan masyarakat yang ditandai dengan banyaknya penderita dan maraknya penyakit berbahaya masih terjadi di beberapa daerah. Di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau, Kepala Dinas Kesehatan Indragiri Hulu, Zainal Arifin SKM Mkes menyatakan, hingga September 2011, penderita DBD di Indragiri Hulu mencapai 81 orang atau meningkat dibanding tahun 2011 yang hanya mencapai 25 orang. Sebelumnya, tanggal 21 Oktober 2011 di Bengkulu, Direktur Yayasan Kipas Bengkulu Merly Yuanda menyatakan, jumlah penderita HIV/AIDS di Bengkulu saat ini mencapai 467 orang, dimana sebagianbesar merupakan pekerja seks, kalangan gay dan waria serta pelanggan. Dari data tersebut menunjukan terjadi peningkatan jumlah penderita HIV/Aids di Bengkulu mencapai 24,6 persen per  tahun.
Plt Kadis Kesehatan Kabupaten Labuhanbatu, Alwi Mujahit Hasibuan menyatakan, sejak tahun 2009 hingga bulan September 2011 jumlah orang yang terjangkit virus Human Immunodeficiency Virus-Acqured Immunao Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) positif mencapai 40 orang dan beberapa orang diantaranya sudah meninggal dunia. Sedangkan, tanggal 18 Oktober 2011 di Kota Malang, dr. Enny Sekar Rengganingati, Kepala Dinas Kesehatan Kota Malang mengatakan, selama kurun waktu Januari hingga September 2011, tercatat ada 48 kasus difteri yang terjadi Kota Malang.
Permasalahan mutu kesehatan yang rendah di tengah masyarakat juga ditandai dengan adanya gizi buruk di beberapa daerah. Di Mamuju, Sulbar, Kepala Bidang Bina Kesehatan Keluarga Dinas Kesehatan Mamuju dr. I Ketut Sidiarsa mengatakan, jumlah balita penderita gizi buruk di Mamuju hingga bulan Agustus tahun 2011, sebanyak 62 balita, serta kasus ibu hamil kurang energi kronis yang mencapai angka 3,1%. Sementara itu, di Kota Pontianak, Henri Hadad (Kepala Seksi Gizi Dinas Kesehatan Kalbar) mengatakan, hingga Oktober 2011 ditemukan 180 kasus gizi buruk yang menimpa anak usia 0-5 tahun di wilayah Kalimantan Barat.
Persoalan krusial lainnya adalah maraknya aksi perlawanan massa sebagai ekses perselisihan industrial semakin marak terjadi di beberapa daerah, serta sebagai bentuk awal sudah mulai meluasnya "ketidakpatuhan sosial atau social disobeydience" kepada pemerintah. Kondisi ini berpotensi menghambat masuknya investasi, mengganggu perekonomian, tidak mengurangi pengangguran serta menimbulkan gangguan kamtibmas. 
Sementara itu, fakta terkait dengan aksi “perlawanan” massa sebagai dampak perselisihan industrial terjadi di beberapa daerah. Pada 9 Oktober  2011 di  PT Bapitri/PT Sokolancar, Kelurahan Cibeureum Kec. Leuwi Gajah Kota Cimahi, sekitar 50 orang melakukan aksi unjuk rasa dipimpin Dadan Supardan, Sekretaris Karang Taruna RW 08, disebabkan karena perusahaan tidak mempekerjakan warga sekitar. Disamping itu, perusahaan tersebut juga tidak menyalurkan limbah padat hasil produksi berupa benang dan majun kepada warga sekitar. Pada hari yang sama,  Di Desa Batupanga Daala, Kecamatan Luyo, Kabupaten Polewali Mandar (Polman), Sulawesi Barat, sekitar 150 orang warga Desa Batupanga Daala Kecamatan Luyo dipimpin Darmadi melakukan unjuk rasa dengan menutup jalan yang dilalui kendaraan tambang galian C, karena dinilai merusak lingkungan dan jalan di sepanjang desa tersebut.    
Masalah penting lainnya adalah adanya aksi penolakan terhadap keberadaan dan pembangunan rumah ibadah masih terjadi di beberapa daerah, bahkan diantaranya disertai dengan aksi anarkis. Aksi terhadap keberadaan tempat ibadah ini pada umumnya dipicu oleh beberapa faktor antara lain, faktor rencana pembangunan tempat ibadah tersebut tidak mendapatkan rekomendasi dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), tidak mendapatkan izin dari masyarakat, kalaupun mendapatkan izin ternyata  salah peruntukkan, penggunaan rumah tinggal sebagai tempat ibadah dan yang paling krusial karena berpotensi menimbulkan potensi konflik SARA biasanya pembangunan tempat ibadah tersebut dilakukan di daerah yang mayoritas penduduknya tidak beragama sama dengan pemeluk agama yang membangun tempat ibadah tersebut.            
Aksi penolakan terhadap keberadaan dan pembangunan rumah ibadah (Gereja dan Vihara) dalam bentuk unjuk rasa terjadi di beberapa daerah. Pada 5 Desember 2011  di Jakarta, Theopillus Bela, Ketua umum Forum Komunikasi Kristiani Jakarta menyatakan, beberapa kelompok di Desa Ngulu Wetan, Kecamatan Pracimantoro, Kabupaten Wonogori, Jateng, melakukan aksi unjuk rasa menuntut pembongkaran 5 gereja di Kecamatan
Pracimantoro (Gereja Pantekosta di Indonesia, Gereja Segala Bangsa, Gereja Kristen Jawa, Gereja Bethel Tabernakel dan Gereja Kristen Nazarene). Sebelumnya, tanggal 27 November 2011, di Kota Pekanbaru, Riau, berlangsung aksi unjuk rasa menolak keberadaan rumah tinggal yang dijadikan tempat ibadah jemaat HKBP. Penolakan serupa juga terjadi diKabupaten Toli-Toli, Sulteng (Gereja Bethany), Samarinda, Kaltim (Gereja Bethel Injil), Klaten, Jateng (Gereja Pantekosta Pusat Surabaya), Bekasi, Jabar (Gereja Advent, Gereja HKBP, Gereja Pantekosta, dan Gereja Bethel Indonesia), Bogor, Jabar (GKI Taman Yasmin), dan Majalengka, Jabar (Kapel Santa Maria, Advent Tsabat Hari Ketujuh dan Sekolah Alkitab Penyebaran Injil) serta penolakan pembangunan Vihara di Kel. Simpang III Ipin, Kota Jambi. 
Sementara itu, aksi penolakan yang dilakukan dengan anarkis juga terjadi di beberapa daerah. Di Kecamatan Kalapa Nunggal, Kabupaten Sukabumi, Jabar, pada awal November 2011, sekitar 200 orang dari Forum Komunikasi Jamaah Muslim Kalapa Nunggal melakukan pembakaran Pura milik Yayasan Paramayuga. Sedangkan, Gereja Methodis Indonesia di Kecamatan Pangean, Kabupaten Kuansing, Riau dibakar massa. Pada 1 November 2011, juga terjadi pembakaran terhadap Gereja HKBP Logas dan Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) di Logas Tanah Darat, Kabupaten Kuansing. 
Berbagai permasalahan yang masih terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia, khususnya persoalan guru honorer yang meminta diangkat sebagai CPNS dan dugaan terjadinya komersialisasi pendidikan, berpotensi untuk mengganggu proses kegiatan belajar mengajar di Indonesia dan dipolitisasi kelompok tertentu dengan mengajak memboikot Pemilu/Pilkada, bahkan mendiskreditkan pemerintah dengan menilainya telah gagal mewujudkan pendidikan yang murah dan berkualitas. 
Kegiatan politisasi dalam rangka memanfaatkan berbagai permasalahan dalam dunia pendidikan di Indonesia diperkirakan masih akan terus terjadi. Penyelesaian terhadap pengangkatan guru honorer menjadi CPNS hendaklah tetap diprioritaskan, terutama mereka yang memenuhi syarat berdasarkan hasil verifikasi dan validasi data tenaga honorer serta sesuai Surat Edaran Menpan No 5 tahun 2010. Disamping itu, perlu ada transparansi dalam pengelolaan dana pendidikan. 
Rendahnya mutu kesehatan di masyarakat yang terjadi di berbagai daerah disebabkan karena pola hidup yang tidak bersih, lingkungan yang kotor, kurang perhatian keluarga terhadap kebutuhan gizi serta kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang masih memprihatinkan membuat warga sulit mencukupi gizi yang baik bagi keluarganya. Meskipun demikian, kondisi sosial seperti ini bisa dimanfaatkan atau dipolitisir oleh kelompok kepentingan tertentu untuk mendiskreditkan pemerintah bahwa baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah melanggar Bab IV tentang Tanggung Jawab Pemerintah UU No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan mulai dari pasal 14 sampai pasal 20. Di tengah suhu politik yang semakin memanas, pelanggaran terhadap UU ini rentan menimbulkan ancaman bagi kelangsungan dan stabilitas pemerintahan ke depan. 
Permasalahan rendahnya mutu kesehatan masyarakat berpotensi menjadi “pintu masuk” bagi terciptanya instabilitas politik dan pemerintahan. Dalam rangka menjawab tanggung jawabnya, langkah-langkah yang perlu dilakukan pemerintah antara lain perbaikan mutu kesehatan masyarakat harus segera direalisasikan dengan ketersediaan lingkungan, tatanan, fasilitas kesehatan baik fisik maupun sosial bagi masyarakat, ketersediaan sumber daya di bidang kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh masyarakat, ketersediaan akses terhadap informasi, edukasi, dan fasilitas pelayanan kesehatan, memberdayakan dan mendorong peran aktif masyarakat dalam segala bentuk upaya kesehatan, ketersediaan segala bentuk upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien, dan terjangkau serta adanya pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui sistem jaminan sosial nasional bagi upaya kesehatan perorangan. 
Aksi-aksi yang dilakukan massa seperti melakukan pemblokiran jalan, menyegel dan melakukan pembakaran terhadap aset-aset perusahaan ataupun fasilitas umum dan fasilitas lainnya berpotensi menimbulkan sejumlah ancaman antara lain menimbulkan persepsi terhadap kerentanan berinvestasi di Indonesia, mengganggu perekonomian dan menciptakan gangguan kamtibmas.
Maraknya aksi “perlawanan massa” akibat hubungan industrial yang tidak sehat, melemahkan daya saing ekonomi nasional serta rentan politisasi. Perlu adanya perhatian dan kebijakan pemerintah daerah terhadap permasalahan yang dihadapi masyarakat. Disamping itu, aparat terkait perlu mengembangkan dialog dan penyelesaian konflik secara damai di tengah masyarakat dengan memanfaatkan lembaga formal dan informal yang ada di daerah. Sementara itu, ada kecenderungan bahwa aksi-aksi penolakan terhadap keberadaan dan pembangunan tempat ibadah di beberapa daerah akan terus berlanjut. Perkembangan situasi dan kondisi ini rawan memicu konflik bernuansa SARA, selain itu berpotensi merusak kerukunan hidup umat beragama serta berdampak pada terciptanya instabilitas keamanan. 
Potensi ancaman terjadinya gangguan keamanan di beberapa daerah sebagai ekses penolakan terhadap keberadaan dan pembangunan tempat ibadah masih cukup besar. Sebagai langkah saran dapat disampaikan antara lain, mendorong aparat keamanan untuk melakukan tindakan tegas terhadap pelaku anarkis. Perlu mengoptimalkan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) serta pendekatan terhadap tokoh masyarakat dan tokoh agama agar permasalahan ini tidak berkembang ke arah konflik SARA. Disamping itu, menyarankan kepada Pemerintah Daerah untuk lebih selektif dalam mengeluarkan surat izin mendirikan rumah ibadah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar