Kamis, 23 Februari 2012

Mencermati Ulah AFRICOM: Apa khabar INDOCOM di Indonesia?


Penulis : M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute 

Penelitian Nil Bowie, wartawan lepas sekaligus kontributor tetap Tony Cartalucci dari Central for Research on Globalization (CRG), Kanada tentang US Afrika Command (AFRICOM) menarik untuk disimak bersama. Ia menguak sedikit atas tujuan dan tata cara Amerika Serikat (AS) menerapkan Politik Minyak Sejagat ---meminjam istilah Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)--- di Afrika. Tercatat pada Konferensi AFRICOM, 18 Februari 2008, di Fort McNair, Wakil Laksamana Robert T. Moeller menyatakan: “pedoman prinsip Africom adalah untuk melindungi aliran sumberdaya alam dari Afrika ke pasar global”. Tetapi pada Konferensi Pers berikutnya, 13 Maret 2008, Jenderal William Ward lebih terang lagi, ia menyatakan bahwa ketergantungan AS terhadap minyak Afrika ditindaklanjuti dengan mengoperasikan AFRICOM berdasar prinsip dan tujuan teater “memerangi terorisme”.


Melalui statement kedua pejabat di atas, sebenarnya telah dapat “dibaca” bahwa geliat simetris (militer) superpower selalu diikuti gerak asimetris terutama mengincar ekonomi (sumberdaya alam). Singkatnya adalah bahwa open agenda semacam “memerangi teroris”, paket DHL (demokrasi, HAM dan lingkungan), ataupun tema-tema lainnya, selalu ditumpangi hidden agenda yakni “menguasai sumberdaya alam”. Keduanya saling terkait tak terpisah. Selanjutnya ketika ada pertanyaan, apakah pendirian AFRICOM juga dalam rangka menghambat laju “gerakan asimetris” Cina di Afrika, tidak akan dibahas lagi dalam artikel ini karena sering diulas beberapa penulis di web GFI, Jakarta.

Yang jelas ia tidak sendirian. Menjadi keniscayaan bagi alat-alat kolonialisme senantiasa mengembangkan jaringan dan selalu bersinergi dengan lembaga keuangan internasional, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) baik global maupun lokal, atau organisasi massa lainnya. Pola-polanya mirip di banyak negara. Selalu berujung kebijakan yang bernuansa “penjajahan” bagi negara target. Contoh bagi negara (penerima utang) yang menginduk kepada IMF, atau Bank Dunia, siap-siap saja untuk menerima perintah cabut subsidi, penerapan dan mekanisme pasar bebas, privatisasi aset-aset negara dan banyak lagi.

Pengakuan John Perkins, mantan agen Economic Hit Man  yang bekerja berdasar pesan sponsor dari negara adikuasa guna melakukan penyesatan skema ekonometrik agar hasil forecast-nya memenuhi syarat memperoleh dana bantuan (utang) yang menjerat lagi mencekik negara penerima. Dana pinjaman dalam jumlah besar dikucurkan oleh negara kreditor dengan tujuan sebagai “sarana” mencengkeram negara bersangkutan. Pada gilirannya negara penerima utang menjadi target lunak ketika negara kreditor membutuhkan apa yang dikehendakinya, seperti pangkalan militer, suara di PBB, kemudahan akses guna eksplorasi sumberdaya alam (minyak bumi, gas, emas dll), atau kebijakan negara penerima utang lebih berpihak kepada korporasi-korporasi asing daripada kepentingan rakyatnya sendiri dan lainnya.

Mencermati geliat AFRICOM, tak bisa dilepaskan dari sinergi bersama International Moneter Funding (IMF). Seperti perintah pencabutan subsidi BBM oleh Direktur IMF yang baru, Chirstine terhadap Nigeria, Guinea, Kamerun, Ghana dan Chad merupakan bukti adanya link up kuat antara militer dan ekonomi. Ya, kebijakan cabut subsidi atas saran IMF telah menimbulkan chaos dan kekerasan meluas di jalan-jalan Ibukota Nigeria, Abuja dan Lagos, pusat ekonomi di Nigeria. Jika dibuat analogi, menurut Bowie peristiwa tersebut seperti “krisis keuangan” tahun 1997-an di Asia. Sama saja. Ketidakpuasan rakyat justru disalurkan kepada elit domestik yang tidak kompeten (komprador) karena mengabdi pada kepentingan asing. Tampaknya skenario ini telah dirancang sebelumnya.

Contoh riil lagi yang terbaru untuk kasus-kasus di atas ialah kiprah para aktivis dan LSM di Jalur Sutra (Timur Tengah dan Afrika Utara). Artinya gerakan massa yang tidak puas atas kebijakan pemerintah “disalurkan” dan ditampung para aktivis yang ternyata telah dilatih oleh Central Applied Non Violent Action and Strategies (CANVAS) anak organisasi dari National Endowment for Democracy (NED), LSM-nya Pentagon yang didukung dana $ 100 USD dari Kongres Amerika Serikat (AS). Maka tatkala merebak “Musim Semi Arab” sudah bisa dipastikan itu gerakan massa yang telah dipersiapkan sebelumnya, sebab bahan bakunya memang riil nyata yaitu kemiskinan serta merebaknya korupsi di negara-negera penerima utang IMF, Bank Dunia dan lainnya.

Di Nigeria misalnya, kini muncul kontradiksi-kontradiksi. Betapa cadangan minyaknya terbesar setelah Libya di satu sisi, namun di sisi lain rakyatnya terpaksa membeli minyak dengan harga hampir sama rata-rata biaya bahan bakar orang Amerika. Terutama jika dibanding dengan para tetangga regionalnya, ataupun negara penghasil minyak lain seperti Venezuela, Kuwait dan Arab Saudi yang sekitar $ 0,12 USD per galon. Sungguh tidak logis. Kendati ia memproduksi 2,4 juta barel per hari untuk ekspor, namun setelah beberapa dekade malah gagal mempertahankan kilangnya dan memaksa Nigeria membeli impor dari negara-negara lain. Dicontohkan oleh Bowie, bahwa Lagos merupakan salah satu wilayah yang memiliki konsentrasi tertingi atas para milyader Afrika, sementara tingkat pengangguran mencapai 47 %  serta ribuan kematian per tahun karena penyakit yang tak dapat dicegah.

Rakyat pada umumnya tidak memperoleh manfaat dari kekayaan alam negara, sehingga tidak mengherankan jika ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintahnya relatif tinggi. Lagi-lagi, ini mirip-mirip dengan Indonesia, dimana rakyat menderita (kemiskinan) secara sistematis akibat Kebijakan Penyesuaian Struktural (SAP) dari IMF. Betapa tidak, sebelum pinjaman (utang) bisa diambil dari Bank Dunia atau IMF, maka pemerintah terlebih dahulu harus menerapkan ekonomi ketat, yang meliputi devaluasi mata uang, penghapusan tarif perdagangan, cabut subsidi, pemotongan anggaran pendidikan dan sektor layanan kesehatan dan sebagainya.

Kecenderungan SAP mendorong negara peminjam untuk fokus pada produksi, ekspor komoditas domestik dan sumberdaya guna meningkatkan devisa, dimana tergantung fluktuasi nilai dramatis. Tanpa adanya kontrol mata uang dan perlindungan harga, maka inflasi ekstrim serta kemiskinan hidup bisa meletus menjadi kerusuhan sebagaimana terlihat di banyak negara. Barangkali orang-orang Nigeria bisa menjadi contoh sebagai salah satu “gerakan massa” menolak langkah-langkah IMF. Bahkan pernah protes mahasiswa disambut dengan tindakan represif rezim penguasa sehingga ratusan warga sipil meninggal dunia di jalan-jalan tahun 1986 dan beberapa kali setelahnya.

Adanya pernyataan Wakil Menteri ESDM Widjajono Partowidagdo dalam artikelnya yang dimuat di situs Kementerian ESDM, Selasa (25/10/2011) bahwa Indonesia bukanlah negara yang kaya minyak. Anggapan Indonesi sebagai negeri kaya minyak dianggap persepsi yang keliru, kata Widjajono. Kita lebih banyak memiliki energi lain seperti batubara, gas, coal bed methane, panas bumi, air, bahan bakar babati dan sebagainya. Ia menambahkan, harga BBM harus murah sekali tanpa berpikir hal ini menyebabkan terkurasnya dana Pemerintah untuk subsidi harga BBM. Ketergantungan kita kepada BBM yang berkelanjutan serta kepada impor minyak dan BBM yang makin lama makin besar serta makin sulitnya energi lain berkembang dan seterusnya. Itulah data kuantitatif yang menjadi otoritas pemerintah cq Wakil Menteri ESDM.

Adalah Charlie Illingworth, Bos-nya John Perkins sewaktu berada di Bandung pernah bilang, bahwa Presiden AS Richard Nixon ingin Indonesia diperas sampai kering seperti kain pel habis dipakai melantai. Negeri ini ibarat real estate terbesar di dunia yang tak boleh jatuh ke tangan Uni Soviet atau Cina. Berbicara tentang minyak bumi, kita tahu bagaimana negara kita tergantung darinya. Indonesia bisa menjadi sekutu kuat kita dalam soal itu (John Perkins, 2004). Inilah data kualitatif beberapa tahun lalu.

Membandingkan dua data di atas, mana yang akurat dan valid masih perlu kajian secara mendalam. Saya jadi teringat pengakuan John Perkins yang tugas pokoknya memberi LAPORAN FIKTIF kepada IMF agar negara yang hendak “dibangkrutkan” layak menerima bantuan (utang), kemudian melalui SAP dibuat skenario pencabutan subsidi, privatisasi aset negara dan lainnya sebagaimana dilakukan IMF bersama AFRICOM di Afrika.

Dalam perspektif politik global, apa yang disampaikan oleh Widjajono merupakan “shock and awe” kecil-kecilan menjelang tibanya serangan besar-besaran. Semacam test case, melihat aksi dan reaksi baik sisi sosial maupun politis, sekaligus selain memeta struktur kekuatan juga melemahkan daya juang perlawanan. Inilah asumsi. Apabila merujuk asumsi tadi, maka sudah dipastikan sebentar lagi akan ada kebijakan pencabutan subsidi BBM dan lainnya yang akan diterapkan kepada rakyat sebagaimana terjadi di Nigeria dan negara-negara sekitarnya. Selamat datang INDOCOM di Indonesia!

(Analisa ini disarikan dari berbagai sumber di CRG, GFI, diskusi-diskusi dan lainnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar